Khutbah Jumat Edisi 384 | Ramadhan Mewujudkan Ketakwaan Personal dan Sosial
Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…
Perilaku sebagian masyarakat muslim Indonesia masih memperlihatkan wajah-wajah yang paradoks. Ibadah individual yang bergemuruh dengan ratusan ribu tempat ibadahnya yang megah dan di mana-mana serta puluhan ribu lembaga-lembaga pendidikan agama itu ternyata tidak/belum merefleksikan makna ketakwaan sosial, ekonomi, politik dan budaya, dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam kehidupan masyarakat muslim.
Bangsa Indonesia yang besar ini belum bisa membuktikan dirinya sebagai:
“Khair Ummah ukhrijat li al-Nas”.(Bangsa yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia).
Kenyataan yang sungguh memprihatinkan ini memerlukan perhatian dan menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mengubahnya. Praktik-praktik hidup yang buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai dan moralitas agama harus dihentikan.
Ramadhan hadir untuk menjadi lilin yang menerangi hati dan mencerahkan pikiran, bukan bikin hati menjadi gelap dan pikiran jadi beku. Ramadhan bulan yang diberkahi karena menghadirkan pesona keramahan dan kasih, bukan kemarahan dan kebencian. Ramadhan hadir untuk mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia bukan menceraiberaikan dan menciptakan permusuhan.
Takwa kerapkali kita maknai sebagai kesalehan hidup. Kesalehan hidup memiliki dua dimensi. Dimensi kesalehan kita kepada Allah (habluminallah) dan dimensi kesalehan sosial (habluminannas).
Harusnya kesalehan hidup (takwa) kita kepada Allah selaras dengan kesalehan sosial kita. Disinilah nilai kemanfaatan kehidupan manusia dapat terukur. Akan kurang sempurna ketakwaan seseorang manakala hubungannya dengan Allah maksimal namun masih meninggalkan urusan kurang baik dengan sesama manusia.
Berbicara tentang takwa dalam dimensi sosial maka kita dapat menggunakan acuan firman Allah yang terdapat dalam surat Ali ‘Imron ayat 133.
۞ وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,”.
Orang yang bertakwa tentu tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk bersegera menuju ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang bertakwa juga tak pernah jumawah atau sombong dengan menganggap dirinya tak pernah bersalah (dosa). Dia sadar betul bahwa sebagai manusia pasti pernah berbuat salah sekecil apapun kesalahan tersebut.
Orientasi orang bertakwa adalah berharap ampunan dari Allah yang memiliki surga seluas langit dan bumi. Dengan berharap mendapat ampunan-Nya maka mereka berharap juga mendapat jatah kapling di surga yang sejatinya dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang bertakwa.
Allah memiliki kriteria dan ukuran tersendiri terhadap orang-orang yang masuk kategori takwa. Dalam lanjutan ayat tersebut diatas, Allah menerangkan profil orang-orang takwa. Dalam surat Ali ‘Imran Ayat 134 Allah menjelaskan:
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Mengacu pada ayat tersebut diatas, Allah memberikan kriteria takwa dalam dimensi sosial sebagai berikut:
Gemar berinfak. Orang bertakwa adalah mereka yang gemar menafkahkan hartanya, baik ketika dia memiliki kecukupan harta (lapang) maupun kekurangan (sempit). Mereka dalam membelanjakan hartanya semata karena ingin mendapatkan balasan dari Allah.
Mampu menahan marah. Kemampuan menahan marah ini tidak ringan. Jika kita disakiti orang lain tanpa alasan yang jelas biasanya kita langsung balas menyakiti. Jika kita ditempeleng kita balas menempeleng. Meskipun hal tersebut diperbolehkan oleh agama, namun mereka yang memiliki ketakwaan dalam dimensi sosial, maka ia dapat menahan nafsu amarahnya tersebut.
Memberi maaf. Memberi maaf ini adalah jauh lebih sulit dibanding menahan marah. Banyak faktor yang membuat manusia ogah memberikan maafnya. Alasan gengsi, harga diri, menunggu orang lain minta maaf dulu dan seterusnya. Namun bagi orang yang bertakwa memberi maaf adalah perbuatan mulia. Memberi maaf tidak membuat dirinya hina. Memberi maaf justru sebaliknya membuat derajat mereka terangkat dengan sendirinya.
Dalam surat Ali ‘Imron ayat 134 tersebut diatas Allah menutup ayat tersebut dengan kalimat “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Kalimat ini menegaskan bahwa seseorang yang memiliki ketakwaan dalam dimensi sosial tak hanya terhormat dimata manusia namun Allah juga mengaguminya.
Contoh paling sempurna ketakwaan dalam dimensi sosial semuanya terdapat dalam diri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Betapa beliau menjadi sosok yang sangat dermawan, senang membantu kesulitan orang lain meskipun beliau sendiri juga hidup sederhana.
Rasulullah juga sangat mampu menahan marah. Suatu hari ketika istri beliau, Siti Aisyah RA., berbuat salah dan gemetar karena takut Rasulullah marah. Namun justru Rasulullah menyuruh Aisyah memejamkan mata dan Rasulullah memeluknya. Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, memeluk Siti Aisyah membuat amarahnya sirna.
Kemudian dalam hal meminta maaf, Rasulullah adalah tauladan utama. Betapa keji dan kejamnya penduduk Thaif yang melemparinya batu sehingga ia sampai berdarah. Malaikat saja sudah geram dan bermaksud membinasakah penduduk Thaif dengan menimpahkan gunung kepada mereka.
Namun Rasulullah melarang dan justru Rasulullah mendokan orang-orang yang menyakitinya dengan kebaikan. Rasulullah berkata kepada Jibril, mereka berbuat seperti itu karena belum tahu dan semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka agar beriman.
Semoga kita semua mampu menyontoh apa yang dilakukan Rasulullah dalam menerapkan ketakwaan dalam dimensi sosial. Jika hal tersebut dapat kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa damai dan tentramnya dunia ini.
Ketakwaan Personal dan Sosial
Upaya meraih rahmat Allah adalah dengan takwa kepada-Nya. Ramadhan merupakan sarana untuk mengokohkan takwa itu.
Ketakwaan personal harus diraih. Sifat takwa itu tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah.
Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan personal kita. Secara personal, syariah yang pelaksanaannya bisa dilakukan oleh individu dan kelompok—seperti shalat, puasa, zakat, memakai jilbab, berakhlak mulia, berkeluarga secara islami; atau bermuamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa secara syar’i dan sebagainya—bisa dilaksanakan saat ini juga. Begitu ada kemauan, semua itu bisa dilakukan.
Selama bulan Ramadhan ini, kita secara ruhiah memang dilatih untuk meningkatkan ketundukan atau ketaatan pada syariah. Di luar Ramadhan kita boleh makan dan minum atau berhubungan suami-istri siang hari. Namun, dalam bulan Ramadhan semua itu dilarang, dan ternyata kita bisa. Artinya, dengan kemauan yang besar, sesungguhnya kita bisa melaksanakan hukum Allah atau syariah Islam itu. Jika yang halal saja bisa kita tinggalkan, apalagi yang haram. Jika yang sunnah seperti shalat tarawih, sedekah dan sebagainya saja bisa kita lakukan, apalagi yang wajib.
Di sisi lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, Kami pasti melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami pun menyiksa mereka akibat perbuatannya itu (QS al-A’raf [7]: 96).
Ayat ini berbicara tentang ketakwaan penduduk negeri secara kolektif, bukan secara personal. Karena itu ayat ini menggambarkan bahwa masyarakat/negara pun harus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya; harus menjadi masyarakat dan negara yang ‘bertakwa’. Dengan kata lain, masyarakat dan negara harus menerapkan dan menegakkan syariah Islam.
Terkait peradilan/persanksian, misalnya, ada hukum qishâsh, potong tangan bagi pencuri, cambuk seratus kali bagi pezina ghayru muhshân, rajam bagi pezina muhshân, cambuk bagi peminum khamr, hukuman bagi mafia pembakar pasar, dsb.
Dalam ekonomi ada hukum tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, penghapusan riba dari semua transaksi, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, pemberian alternatif tempat tinggal dan tidak sembarang menggusur, tidak boleh menjual pulau kepada pihak asing dengan alasan investasi pariwisata, dsb.
Ringkasnya, bulan Ramadhan adalah bulan untuk menggapai rahmat dengan cara mewujudkan ketakwaan personal maupun kolektif/sosial atau dalam konteks negara.
Ketakwaan ialah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, biasanya berhubungan dengan perihal ibadah.
dalam surah Al-Imran ayat 133 dijelaskan tentang bagiamana bentuk ketakwaan seorang hamba berkaitan dengan ibadah sosialnya. Orang takwa di sini ternyata ketika disebutkan oleh Allah bukan dari meningkatkan ibadah spiritualnya tapi ibadah sosialnya. Dari ayat tersebut, menjelaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan ibadah sosial.
Seperti berbuat baik pada sesama, suka berbagi, bersedekah, saling memaafkan dan lain sebagainya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” QS Al-Baqarah 133-134.
Saling memaafkan merupakan perkara yang sangat disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baik untuk mereka yang memintaa maaf atas kesalahan-kesalahan pada orang lain, maupun mereka yang telah memaafkannya.
Sikap memaafkan dan yang berusaha meminta maaf tinggi sekali di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang lapang mampu memaafkan dan mudah untuk meminta maaf.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ. وَالّلَيْلِ اِذَا يَسْر.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Download file PDF: