oleh Budi Eko Prasetiya, SS
Staf Katibul Aam Markaziyah Jamaah Ansharu Syariah
Keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai kemuliaan islam, mulai dari urusan aqidah, akhlak, ubudiyah dan muamalah. Dari institusi keluarga inilah akan dapat diwujudkan banyak kemaslahatan bagi masyarakat dengan hadirnya generasi penerus yang berakhlak mulia.
Begitu pentingnya peran keluarga ini hingga Allah mengingatkan kaum muslimin melalui firman Nya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang beriman ! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS At Tahrim : 6).
Pendidikan menjadi kata kunci penting yang patut direnungkan dalam ayat ini. Melalui pendidikan yang baik, semua anggota keluarga dapat terjaga dalam ketaatan dan amal sholih serta terhindar dari perkara-perkara yang dimurkai Nya.
Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingnya peranan keluarga ini. Sehingga mereka berupaya melemahkan dan merobohkan tanggung jawab kaum muslimin dalam mendidik keluarga. Mereka mengerahkan segala usaha ntuk mencapai tujuan itu.
Pendidikan di keluarga adalah full time school, yang berlangsung tidak hanya 24 jam, bahkan sepanjang hayat. Dimulai dari tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab kepada pribadi, tanggung jawab sosial hingga tanggung jawab vertikal kepada Sang Khaliq Allahu Subhanahu wa ta’ala.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ.
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bak miniatur sebuah sistem negara, institusi keluarga berkontribusi dalam mengedukasi aspek politik, ekonomi, sosial, hukum dan bahkan kemiliteran. Bagaimana nilai-nilai itu diedukasi dengan baik tentunya bisa kita teladani dari bagaimana generasi terbaik ummat
1. Pendidikan di Keluarga Rasulullah
Kegiatan harian Rasulullah ﷺ tidak jauh dari kegiatan di masjid, rumah, dan sosial. Semua beliau selaraskan dengan sangat baik. Beliau disiplin dalam ibadah, sangat perhatian kepada keluarga, dan begitu peka terhadap problematika sosial.
Dari Al Aswad, dia berkata bahwa dia menanyakan pada ‘Aisyah mengenai apa saja yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya? ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – يَعْنِى فى خِدْمَةَ أَهْلِهِ – فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاةُ خَرَجَ إِلَيها
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya, ketika ada panggilan shalat jama’ah, beliau bergegas pergi menunaikan shalat. (HR. Bukhari)
Begitulah edukasi yang diberikan oleh Rasulullah saat di rumah dan memprioritaskan urusan sholat ketika waktunya sudah tiba. Bahkan beliau pun mengajarkan pentingnya menegakkan hukum dan keadilan meski kepada keluarga sendiri.
Diriwayatkan dari Bukhori dan Muslim, Rasulullah menunjukkan ketegasannya ketika ada seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum mencuri.
Rasulullah SAW pun menegaskan,
“Wahai manusia sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah, apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan. Akan tetapi apabila seorang yang lemah mencuri, mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman-Nya. Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri. Niscaya aku akan memotong tangannya.”
2. Generasi Sahabat
Tak seorang Muslim pun yang meragukan keimanan dan perjuangan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Keutamaan sahabat Nabi yang berhati lembut namun tegas ini tidak terletak hanya pada kesholihan individualnya. Ia justru mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk berperan dalam perjuangan Islam, terutama saat misi hijrah Rasulullah ke Madinah.
Putranya, Abdullah Bin Abu Bakar, bertugas mendeteksi perkembangan informasi di kalangan orang-orang kafir Quraisy untuk disampaikan kepada ayahnya dan Rasulullah. Kebutuhan makanan dan minuman diupayakan lewat peran Asma binti Abu Bakar.
Padahal saat itu ia tengah hamil tua. Sampai-sampai ia harus rela membelah tali pengikat perutnya menjadi dua bagian. Satu digunakan untuk menahan perutnya semakin besar. Dan yang satunya lagi dipakai untuk mengikat makanan yang akan dibawanya ke Gua Tsur.
Semangat perjuangan itu juga ditularkan kepada pembantu rumah tangganya, ‘Amir Bin Fuhairah. Ia ditugaskan untuk menggembalakan kambing ke sekitar mulut gua. Dengan tujuan Kaki-kaki kambing itu akan menghapus jejak kaki Abdullah dan Asma’.
3. Generasi Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Salah satu pemuka tabi’in adalah Said bin Musayyib. Teladan dalam ilmu dan amal. Selama 40 tahun tidak pernah tertinggal shalat berjamaah. Bahkan Selama 50 tahun Said shalat subuh dengan wudhu shalat Isya’.
Said bin Musayyib berguru ke banyak Sahabat Nabi Saw dan salah satunya adalah Abu Hurairah Ra. Dari sang guru dia banyak meriwayatkan hadits. Di kemudian hari, Abu Hurairah Ra menikahkan putrinya dengan Said bin Musayyib.
Said bin Musayyib dikenal tegas dan tidak mudah tunduk kepada penguasa. Dia pernah menolak undangan Sang Khalifah Abdul Malik bin Ridwan untuk mengajar di kediamannya.
Dia menegaskan, “Barang siapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Ilmu hadits lebih layak untuk didatangi”
Bahkan, Said pernah menolak Khalifah ketika meminang putrinya untuk dinikahkan dengan Al-Walid, salah seorang putra Khalifah. Justru, dia malah menikahkan putrinya dengan Ibnu Wada’ah, salah satu muridnya yang paling rajin, miskin, dan baru saja menduda karena sang istri meninggal. llmu dan akhlaq merupakan prioritas utama Said dalam memilihkan calon suami bagi putrinya, bukan sekedar pertimbangan materi keduniawian.
Adapun Tabiut tabiin merupakan generasi setelah tabi’in, mereka adalah para pengikut dari tabi’in. Mereka memang tidak merasakan satu masa dengan para Sahabat Nabi apalagi dengan Rasulullah SAW. Meskipun begitu mereka termasuk generasi terbaik dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah Malik bin Anas, yang terkenal dengan nama Imam Malik, pendiri Madzhab Maliki.
Ibunda Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar.
Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Tercatat pula, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i pernah berguru kepada beliau sebelum menjadi ulama besar pula.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut.
4. Generasi Mutaakhirin
Adalah Shalahuddin al-Ayyubi, panglima perang Salib dan pemimpin yang dihormati baik oleh kaum muslimin maupun musuh-musuh Islam. Termasuk laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), berasal dari suku Kurdi. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi.
Shalahuddin tumbuh dalam bimbingan Imaduddin Zanki saat keluarganya hijrah dari Tikrit ke Mosul. Di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat ini dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad.
Demikian pula saat akan merebut kembali Baitul Maqdis. Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan dan persiapan materi yang luar biasa.
Menguatkan aqidah kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkan dakwah, mengokohkan ukhuwah dan membangkitkan kesadaran jihad. Dia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.
Demikianlah potret keluarga kaum muslimin yang menjadi teladan dalam berkomitmen untuk perjuangan Islam. Secara politis dan strategis, keluarga berfungsi sebagai tempat yang paling ideal untuk mencetak generasi unggulan, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan siap memimpin umat membangun peradaban ideal di masa depan, hingga mampu mengemban amanah mulia sebagai khayru ummah. Wallahu alam bish shawwab.
Barakallahu fiik