ArtikelNewsTaujih

Pemimpin yang takut kepada Allah

Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
(Katib Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Banyuwangi)

Takut kepada Allah layak menempati posisi istimewa di setiap hati orang beriman. Selama keimanan masih menghujam, maka rasa takut kepada Allah harus diprioritaskan. Ke-Maha Melihat-nya Allah tidak akan meloloskan sekecil apapun perbuatan individu dari tanggung jawab, sebagaimana firman-Nya :

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al Muddatstsir: 38).

Terkait hal ini, Imam Ghazali menjelaskan bahwa mukmin ialah orang yang takut kepada Allah dengan menjaga semua anggota tubuhnya.  Karena seluruh anggota tubuh menyaksikan apa yang diperbuat dan kelak akan menjadi saksi di akhirat.

Hakikat takut kepada Allah itu terwujud dalam ketundukan dan kepatuhan kepada seluruh aturan Allah. Artinya siapa saja yang mengaku takut kepada Allah maka harus menjadikan dirinya sebagai hamba yang taat. Hingga teraplikasikan pada level kehidupannya mulai dari pribadi hingga bermasyarakat dan bernegara.

Individu yang berkepribadian Islam, sesuai antara apa yang dikatakan dan yang diperbuat. Pada level masyarakat, takut kepada Allah tercermin dari tumbuhnya nuansa amar makruf dan saling menjaga agar terhindar dari pengaruh kemaksiatan. Sedangkan dalam level bernegara, takut kepada Allah tercermin dari diterapkannya aturan Allah dalam mengelola negara menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.

Islam tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Dalam ajaran Islam tidak dikenal sekularisasi atau pemisahan urusan agama dengan urusan dunia, termasuk pemisahan agama dengan kekuasaan. Oleh karena itu, penting sekali keberadaan pemimpin yang benar-benar takut kepada Allah, yang akan menetapkan setiap kebijakannya berlandaskan keimanan dan ketaqwaan. Pemimpin seperti ini menjaga lisannya dari kedustaan, sikapnya tidak menyalahi apa yang ia janjikan, dan besar takutnya untuk mengkhianati apa yang diamanahkan kepadanya. Pemimpin yang benar-benar takut Allah tidak menolak penerapan aturan-Nya ataupun sekedar berani mengambil posisi memusuhi siapa saja yang mendakwahkan ajaran Islam.

Seorang pemimpin yang perbuatannya melanggar aturan Allah dan memusuhi dakwah beserta para penyerunya, maka sebenarnya dia berani kepada Allah. Kepada pemimpin seperti inilah amar ma’ruf nahi munkar perlu ditegakkan. Bukan dengan menyerang pribadinya, tapi dengan mengajaknya bermuhasabah atas kebijakannya agar dalam koridor yang benar. Upaya muhasabah ini agar posisi pemimpin tidak ditempati oleh Ruwaybidhoh, yakni orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak. Pemimpin yang Ruwaybidhoh ini sangat berbahaya dan sangat merusak bagi umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Pemimpin seperti ini dapat memporak-porandakan segala nilai dan tatanan. Orang jujur dikatakan pembohong, pembohong dikatakan jujur, pengkhianat dipercaya, orang terpercaya justru dianggap pengkhianat.

Namun disayangkan, kondisi seperti ini justru menggejala. Apabila kita lalai melakukan muhasabah, dikhawatirkan bermunculan deretan kepemimpinan orang-orang jahil di kemudian hari (imârah as-sufahâ)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan dengan gamblang apa yang dimaksud imârah as-sufahâ`. Beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada Ka’ab bin Ujrah,
“Semoga Allah melindungi kamu dari imârah as-sufahâ`.” Kaab bertanya, “Apa itu imârah as-sufahâ`, wahai Rasulullahullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunnahku…” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).

Ketika ada sosok pemimpin yang demikian, Menghalalkan beragam cara demi tercapainya ambisi dan tujuannya, bahkan berani melanggar aturan dari Alquran dan Assunnah, maka tak heran kemaksiatan lainnya tentunya berani mereka kerjakan. Berbohong demi menutupi segala pelanggaran aturan Allah bisa jadi mereka jadikan kebiasaan. Jika sifat buruk itu sudah mengakar, sangat besar kemungkinan mereka akan benci jika diajak muhasabah. Akibatnya akan terjadi saling benci antara pemimpin dan rakyat. Sebagaimama yang Rasulullah shalallahu alaihi wassallam sabdakan:

خِيَارُ أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، وتُصَلُّون عليهم ويصلون عليكم. وشِرَارُ أئمتكم الذين تبُغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم!»،
[صحيح] – [رواه مسلم]

“Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian doakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian laknat mereka dan mereka melaknat kalian” (HR Muslim).

Kepada pemimpin dengan predikat seburuk demikian, selain terus mengajak muhasabah kita juga harus berhati-hati. Jangan sampai turut membantunya semakin berani melanggar aturan Allah.

Salah satu indikasi seorang pemimpin itu dicintai oleh rakyatnya adalah yang dapat mengayomi, melayani, membela, dan tidak berbuat zalim kepada yang dipimpinnya.

Kepemimpinan adalah amanah dan setiap amanah dimintai pertanggungjawaban. Pemimpin yang besar rasa takut kepada Allah akan berusaha menjaga keadilan, karena dengan adil inilah ia akan dicintai Allah dan memiliki banyak keutamaan. Mereka termasuk salah satu dari tujuh golongan yang berhak mendapatkan naungan Allah di akhirat kelak. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wassallam :
“Ada tujuh golongan yang berhak mendapatkan naungan Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan salah satunya pemimpin yang adil…( HR Bukhari dan Muslim).

Pemimpin yang takut kepada Allah menerapkan keadilan, menegakkan aturan-Nya serta memelihara amanah umat, akan membawa keberkahan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Satu hari di bawah pemimpin yang adil lebih utama ketimbang ibadah 60 tahun dan satu had yang ditegakkan di bumi sesuai haknya lebih baik dari hujan 40 tahun.” ( HR At- Thabrani).

Demikian pentingnya kehadiran pemimpin yang takut kepada Allah, yang adil dan amanah, yang memelihara umat dengan aturan-Nya. Sebagaimana Imam Fudhail bin Iyadh biasa berdoa agar umat dikaruniai pemimpin yang adil,

“Seandainya aku memiliki suatu doa mustajab ( yang pasti dikabulkan) niscaya akan aku peruntukan untuk penguasa, karena baiknya seorang penguasa akan membawa kebaikan pula bagi negeri dan rakyat.” ( Bidayah Wan Nihayah, 10/199).

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button