ArtikelNews
Trending

Quo Vadis, Umat Islam Indonesia Setelah Pilpres 2019

Oleh: Beggy Rizkiansyah | Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

“Masih dipandang mendusta akan agama, orang yang agamanya itu untuk kepentingan dirinya sendiri, padahal korban-korban masyarakat tak diperhatikannya. Walaupun dia sembahyang tunggak-tunggik, walaupun keningnya sampai hitam karena sujud, masih masuk neraka dia, sebab amalnya itu hanya karena ambil muka, karena ria, dan dalam jiwanya tidak ada perasaan tolong-menolong, tidak ada solidaritas!”
– Buya Hamka (1984)

Luapan-luapan kekecewaan itu tak terbendung lagi. Sebutan pengkhianat misalnya, dikalungkan pada Prabowo Subianto, calon presiden yang dahulu mereka dukung. Umat Islam di Indonesia telah melalui perjalanan yang melelahkan lima tahun belakangan ini.

Kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama menjadi titik didih yang terus memanas hingga ke pemilihan presiden 2019. Bukan saja komentar dan pendapat yang saling silang setiap hari, tetapi juga korban-korban berjatuhan. Puncaknya pada tragedi 22 Mei 2019. Nyawa pemuda tak berdosa melayang dikubur oleh tumpukan fitnah terhadap dirinya. Sang mayyit tentu saja tak kuasa melawan hegemoni opini yang menimbun kebenaran sejati.

Politik elektoral sudah menjadi titik tumpu umat Islam selama tiga tahun belakangan ini. Seakan-akan dunia terbagi menjadi dua dalam kubu. Menafikan satu dengan lainnya. Menjadikan pilihan politik elektoral sebagai satu-satunya acuan kebenaran.

Penyimpulan sederhana seperti ini mengabaikan berbagai faktor yang mempengaruhi pilihan politik. Dalam era politik yang diperantarai ini sesungguhnya masyarakat tak lagi mendapat pendidikan politik yang memadai.

Partai politik dalam sistem demokrasi seharusnya menjadi institusi yang melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Namun peran ini tak lagi dijalankan oleh partai politik. Kaderisasi di partai politik saat ini di Indonesia menjadi mandek. Hanya ada segelintir partai yang menjalankan fungsi kadersiasinya dengan baik.

Di lain sisi, penetrasi dan hegemoni media massa yang begitu massif membuat mereka menjalankan peran sebagai pendidik politik bagi masyarakat. Namun celakanya media massa (pers) saat ini dalam posisi yang sangat partisan. Alih-alih bersikap objektif, kebanyakan pers menjadi perpanjangan tangan dari para oligarki pemilik media massa.

Dampaknya tentu jelas. Masyarakat mengkonsumsi berbagai informasi politik dalam bentuk informasi yang sudah terkonstruksi untuk kepentingan tertentu. Informasi yang bias dan sarat kepentingan menjadi salah satu faktor yang menentukan dukungan politik masyarakat.

Pilihan nir-ideologis ini sejatinya sejalan dengan peran yang dimainkan oleh berbagai partai politik yang ada di Indonesia saat ini. Studi dari Burhanuddin Muhtadi (2013) menunjukkan bahwa partai-partai telah meninggalkan unsur ideologinya dan lebih condong pragmatis.

Studi ini misalnya menunjukkan bahwa partai semakin kehilangan identitasnya (party-ID) sehingga pemilih pun tak lagi menjadi pemilih yang loyal. Seringkali bahkan keputusan politik ditentutkan oleh satu figur yang lebih dikenal publik, termasuk figur keterkenalan seorang artis. Partai tak lebih dari sekedar sarana nir-ideologis mencari kekuasaan. Padahal unsur ideologis adalah pondasi penting dalam politik.

Oleh sebab itu dalam pilpres kemarin umat Islam sebenarnya dihadapkan pada pilihan pahit, yaitu ketiadaan figur ideologis yang menjadi tumpuan umat Islam. Maka tak mengherankan jika sikap situasi politik saat ini begitu cair dan dinamis. Bisa jadi keberpihakan bisa berubah dalam semalam, semata karena berbagai pertimbangan yang pragmatis.

(Foto hanya iliustrasi}

Sikap pragmatis inilah yang kemudian meluapkan kekecewaan di sebagian kelompok Islam. Meski sebenarnya hal ini seharusnya sudah disadari sejak dini: pilihan politik mayoritas aktor politik di Indonesia tak beranjak dari landasan yang ideologis. Termasuk dalam pilpres kemarin.

Partai politik, termasuk sebagian partai politik Islam tidak menampung aspirasi umat. Seringkali parpol justru bertindak pragmatis mengejar kursi kekuasaan. Partai politik hanya berbaik-baik dengan masyarakat (umat) menjelang masa-masa pemilihan umum.

Pada masa-masa ini, partai-partai juga menjadi islami dan mengumbar jargon-jargon keislaman serta mengobral janji-janji pada umat sehingga tampak sangat Islami. Hal ini sangat logis mengingat mereka membutuhkan suara umat. Namun setelah masa pemilu, bulan madu berakhir. Partai kembali menjadi sangat pragmatis dan berjarak dari umat. Janji-janji menguap seakan tak pernah terucap.

Hal ini terjadi karena mahalnya biaya politik saat ini mendorong partai-partai bertindak pragmatis dengan mengejar kursi kekuasaan. Partai politik tak merasa perlu bertanggung jawab pada pemilih mereka. Menurut Thomas Meyer, mantan profesor politik Universitas Dortmund dalam “Peran Partai Politik dalam Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis,” cara paling efektif untuk membuat partai politik lebih bertanggung jawab kepada pemilih mereka di luar masa pemilihan umum adalah dengan menjaga parpol di dalam lingkaran kelompok-kelompok pengaruh (‘clusters of influence’). Di dalamnya, kelompok kepentingan dan inisiatif masyarakat madani berinteraksi secara langsung dan terus menerus dengan partai politik untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya oleh partai tersebut (Meyer, 2012).

Masyarakat madani atau civil society yang dikenal dalam wacana dalam sebuah negara demokrasi menjadi salah satu unsur penting dalam sistem demokrasi. Ada beragam definisi, makna dan penjelasan tentang istilah civil society. Termasuk ketika beberapa tokoh mengaitkan istilah civil society dengan padanan masyarakat madani. Istilah yang merujuk pada masyarakat yang dibentuk Rasulullah di kota Madinah. (Marsoer dan Darmawan: 2016)

Terlepas dari perdebatan wacana tersebut, istilah masyarakat madani di Indonesia menjadi penting. Sebab sebagai negara yang saat ini (mengaku) menjalankan sistem demokrasi, masyarakat madani memiliki peran dalam negara sebagai saluran untuk mengimbangi peran negara.

Menurut Masroer dan Darmawan dalam “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia” (2016), peran civil society berkaitan dengan perikehidupan modern, “…yang ditandai oleh munculnya fenomena negara sebagai aktor yang memiliki kekuatan besar, sehingga apabila tidak dibatasi atau diimbangi akan menghancurkan atau sekurang-kurangnya menghambat perkembangan dan cita-cita masyarakat demokratis dan sejahtera.”

Marsoer dan Darmawan juga mengingatkan, “…jika sebuah negara dengan segala totalitas kuasanya tidak diimbangi maka lambat laun sebuah negara itu akan mengalami penurunan tingkat kedewasaan. Oleh karena itu civil society bukan saja menjadi kerangka konseptual yang dapat dipertanggungjawabkan validitas, tetapi juga sebagai sebuah gerakan dan program aksi yang dapat dilaksanakan dalam realitas.”

Gerakan civil society di Indonesia hari ini termanifestasikan ke dalam beberapa jenis gerakan sosial, salah satunya adalah resistensi simbolik-pragmatis yang merupakan aksi langsung maupun tidak langsung yang menuntut terciptanya sosial-politik yang lebih baik terutama wong cilik dan juga menuntut pengurangan kontrol negara terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. (Mochammad Parmudi: 2015)

Mochammad Parmudi (2015) dalam “Kebangkitan Civil Society di Indonesia”, gerakan ini misalnya dilakukan oleh berbagai kelompok mulai dari gerakan petisi 50, Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL) hingga Front Pembela Islam (FPI).

Sejak tahun 1990-an peran LSM semakin besar, bukan saja sebagai pelopor model pembangunan partisipatoris, tetapi juga sebagai kelompok penekan (pressure group) yang menuntut perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.

Umat Islam sesungguhnya telah terlibat banyak dalam gerakan masyarakat sipil atau bisa kita sebut gerakan keumatan, semenjak Indonesia belum merdeka. Dalam lingkup negara kolonial yang sangat menekan kehidupan politik, umat Islam tetap bisa berdaya dengan aktif dalam gerakan-gerakan pemberdayaan masyarakat.

Sarekat Islam salah satu gerakan keummatan yang membangun gerakan masyarakat madani.

Sarekat Islam adalah salah satu contoh gerakan keumatan. Sarekat Islam sebelum terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis di Volksraad (Dewan Rakyat masa kolonial Belanda) adalah sebuah organisasi agama yang membantu memberdayakan dan terutama mengadvokasi umat.

Selain membentuk gerakan-gerakan yang mendorong ekonomi umat, Sarekat Islam aktif dalam membela hak-hak kaum buruh yang amat tertindas kala itu, seperti buruh-buruh di perkebunan di Deli, Sumatera Utara. Perlakuan kejam terhadap buruh dan minimnya upah mereka, menjadi perhatian serius tokoh Sarekat Islam seperti Haji Agus Salim.

Begitu pula pembelaan Haji Fachrodin, tokoh SI yang juga tokoh Muhammadiyah terhadap kaum tani di Jawa. Kritik-kritiknya pada pemerintah kolonial, membuatnya harus meringkuk di tahanan pada masa itu.

Kehadiran organisasi agama seperti Muhammadiyah dan kemudian Nadhlatul Ulama (NU) juga menunjukkan besarnya pengaruh gerakan keumatan di masa penjajajahan. Amal lembaga Muhammadiyah begitu besar dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sementara NU juga aktif dalam pendidikan dan ekonomi umat lewat gerakan wakaf.

Kecuali Sarekat Islam yang akhirnya bertransformasi menjadi Partai politik Partai Syarikat Islam (Indonesia), Muhammadiyah dan NU secara resmi tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Namun para tokoh mereka banyak yang aktif dalam gerakan politik.

Jika kita melihat kembali publikasi-publikasi lawas NU (Berita Nadhlatoel Oelama) dan Muhammadiyah, serta tulisan para tokohnya, misalnya maka akan sangat jelas terlihat kritik-kritik tajam terhadap kebiijakan politik pemerintah kolonial Belanda yang merugikan masyarakat termasuk umat Islam. Muhammadiyah dan NU menjadi kelompok pemberdaya umat sekaligus penekan penguasa (pressure group) di berbagai zaman.

Di masa orde baru, setelah rehabilitasi Partai Masyumi ditolak oleh rezim Soeharto, dan para tokoh Masyumi dikekang aktivitas politiknya, mereka tak kehilangan arah. Para tokoh seperti Moh. Natsir, Moh. Roem, Sjafruddin Prawiranegara, A. Kahar Muzakkir tetap membina dan memberdayakan umat lewat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Dampak gerakan ini tentu saja terasa. Betapa banyak mubaligh yang disekolahkan tokoh ini ke luar negeri. Lewat perjuangan dalam senyap, para tokoh ini membina calon-calon pejabat tinggi di negeri ini, mulai dari kalangan birokrat hingga militer. Publikasi-publikasi DDII juga menjadi sarana efektif menyalurkan aspirasi umat Islam. DDII bahkan menjadi kelompok penekan (pressure group) rezim orde baru yang sangat represif dan kerap merugikan umat Islam.

Di era reformasi, Front Pembela Islam (FPI), terlepas dari pro dan kontra-nya di masyarakat, adalah organisasi yang menancapkan reputasinya sebagai organisasi yang sangat aktif dalam bantuan kemanusiaan. Artikel Stephen Wright dari Associated Press, When Disaster Hits, Indonesia’s Islamist are Firts to Help, yang dimuat berbagai media asing, menunjukkan ‘pengakuan tersebut.’

Wright dalam tulisannya menyebutkan peran penting Hilal Merah Indonesia (HILMI) dalam aksi-aksi bantuan kemanusiaan. “The front was right there at each disaster, searching for victims, distributing aid and building temporary housing and new mosques. Its regular social services such as free health care have become a lifeline for urban poor.”

Berkaca dari berbagai pengalaman gerakan keumatan di atas, arah umat Islam pasca pilpres sudah sepantasnya ditimbang kembali dengan memperkuat kembali akarnya di masyarakat lewat gerakan-gerakan keumatan. Tantangannya bukan saja umat Islam hadir dan aktif secara sosial tetapi juga merumuskan ajaran Islam sebagai jalan keluarnya.

Ada banyak persoalan dan kelompok umat yang perlu diperhatikan kembali. Para petani di Indonesia yang tentu saja mayoritas umat Islam semakin terpuruk nasibnya menjadi sekedar buruh penggarap. saat ini, Sekitar 40,6% tenaga kerja di Indonesia masih bekerja di sektor pertanian. Dan tragisnya, sekitar 57,8% penduduk miskin di Indonesia berada di sektor pertanian.

Munculnya kemiskinan yang besar di sektor pertanian di Indonesia disebabkan tidak meratanya akses petani terhadap faktor produksi terutama lahan dan modal. Tenaga kerja di sektor pertanian, rata-rata merupakan buruh tani dan petani gurem yang rata-rata hanya memiliki lahan 0.5 hektar. Ini yang menjadi sebab utama rendahnya produktivitas petani di Indonesia yang menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan di sektor pertanian. (Perkumpulan Prakarsa, Policy Brief : Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Pilihan Investasi untuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia : 2014)

Potret kemiskinan, tidak semua anak bangsa mengenyam pendidikan secara merata (Foto hanya iliustrasi}

Di kalangan buruh, nasib buruk terus membeli mereka. International Trade Union Confrence dalam World’s Worst Countries for Workers, Global Rights Index tahun 2017 memberi skor 5 kepada Indonesia. Skala 5 adalah nilai terburuk dalam penilaian tersebut. Para pekerja tidak mendapat akses ke hak-hak mereka dan berada dalam praktik kerja yang tidak adil.

Di antara persoalan yang membelit para buruh adalah upah minimal yang tidak sesuai UMP, sistem outsourcing yang tidak adil dan tidak transparan, perlindungan sosial pekerja yang belum maksimal, persebaran pekerja tidak merata, hingga lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja migran.

Umat Islam juga menjadi tertinggal dalam persoalan ekonomi. Ekonomi neo-liberal dan kuatnya keberpihakan pada kaum pemodal besar menjadi tantangan bagi umat islam untuk lebih memiliki kekuatan ekonomi yang berdaya. Pedagang pasar tradisional toko kelontong yang gulung tikar akibat hantaman peritel modern di wilayah pemukiman hanyalah contoh kecil cara ekonomi kapitalistik tanpa ampun melibas usaha-usaha kecil umat.

Isu-isu lainnya seperti kerusakan lingkungan, kedaulatan pangan yang tak tercapai di negeri ini serta berbagai isu lainnya sesungguhnya hanya membuat umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia ini menjadi korban. Banjir dahsyat di Konawe, Sulawesi Tenggara baru-baru ini adalah salah satu contoh kerusakan lingkungan yang dahsyat akibat ekspansi tambang dan sawit.

Suara-suara keterpurukan umat Islam sayangnya tak terdengar nyaring. Umat Islam tak lagi dapat bersuara lewat media arus utama (mainstream media). Dari sekian banyak media arus utama media cetak di Indonesia mungkin kita hanya ada segelintir media yang masih menjadikan umat Islam sebagai pembacanya dan dapat dikatakan sebagai media Islam.

Di layar televisi, umat Islam kehilangan suaranya. Padahal menurut survei Nielsen Consumer Media View 2017, penetrasi televisi di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 96%. Kenyataan pahit juga terjadi pada media daring (online). Dari 50 besar situs yang paling sering dikunjungi di Indonesia, tak ada satupun situs pers Islam yang tercantum.

Dream.co.id yang berada di posisi 41 misalnya, adalah situs yang lebih menyasar konsumen muslim dan hanya bagian dari unit bisnis kelompok media umum. Artinya umat Islam hanya duduk sebagai konsumen ketimbang produsen. Padahal sebagai kelompok penyeimbang, peran pers sangatlah krusial. Kehidupan pers di Indonesia saat ini bukan saja lepas dari genggaman umat Islam, tetapi juga dalam genggaman erat oligarki media.

Dibutuhkan visi jangka panjang untuk merumuskan Islam sebagai jalan keluar dari keterpurukan umat Islam di Indonesia. Agama, menurut sejarawan Taufik Abdullah, “…pada dasarnya bersifat independen, yang secara teoritis bisa terlibat dalam kaitan saling mempengaruhi dengan kenyataan sosial-ekonomis itu. Sebagai suatu unit yang independen, maka, bagi penganutnya, agama mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola perilaku manusia dan bentuk struktur sosial.” (Taufik Abdullah: 1983) Sederhananya, agama mampu membawa perubahan sosial dalam masyarakat.

Upaya besar para ulama untuk mewujudkan Indonesia Berkah (foto hanya ilustrasi)

Namun untuk merumuskan solusi-solusi dari berbagai persoalan di atas, kita harus menilai secara tepat. Dibutuhkan kajian-kajian ilmiah yang menganalisis berbagai persoalan umat sehingga “Islam sebagai solusi” bukan sekedar jargon, tanpa tahu langkah yang harus ditempuh.

Lembaga kajian ilmiah (think-thank) untuk mengkaji ekonomi, politik, media, lingkungan, budaya dan lembaga survei milik umat belum terasa kehadirannya. Lembaga-lembaga kajian ilmiah ini amat jarang hadir dan jika ada, belum dianggap penting peran dan fungsinya. Maka tak heran jika sepanjang pemilu 2019 kemarin, kita hanya bisa mengutuki lembaga survei, tanpa berikhtiar membangunnya sendiri.

Cendikiawan muslim, Kuntowijoyo, menyebutkan pentingnya peran-peran kajian ilmiah seperti ini. Menurutnya, “Adalah mutlak, disamping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subjektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas objektifnya. Realitas subjektif memang bersifat permanen. Akan terus ada pribadi-pribadi Muslim, keluarga Muslim, jamaah-jamaah Muslim, qaryah thayyibah, da umat, sebagai entitas-entitas yang bersifat normatif. Betapapun demikian, dalam realitas objekifnya entitas-entitas tersebut akan senantiasa berubah dari kurun ke kurun. Komunitas Islam dalam masyarakat agraris tradisional tentu jauh berbeda dengan komunitas Islam dalam masyarakat Industrial.” (Kuntowijoyo: 1985)

Oleh sebab itu telaah ilmiah harus senantiasa mengiringi langkah-langkah gerakan keumatan agar tak salah mendiagnosa persoalan. Ada banyak persoalan dalam umat yang perlu dibela, selesaikan dan diberdayakan. Tulisan ini bukan hendak membagi-bagi Islam dengan istilah ‘Islam Politik’ atau ‘Islam Sipil.’ Bukan pula hendak menafikan politik Islam. Malah sebaliknya. Namun perjuangan umat bukan hanya tertumpu pada kehidupan politik, melainkan juga memperkuat umat itu sendiri. Satu hal yang sering terlupakan oleh kita yang terlalu bertumpu pada politik elektoral.

Politik Islam (idealnya) hadir dari umat yang berdaya secara sosial-ekonomi. Agar tak sekedar menjadi bancakan atau anak tangga bagi pihak-pihak yang haus kekuasaan. Agar tak lagi menjadi ‘pendorong mobil mogok’ dalam siklus lima tahunan. Tantangannya saat ini bukan sekedar meyakinkan masyarakat bahwa Islam adalah solusi berbagai persoalan, tetapi bagaimana merumuskannya secara ilmiah dan detail dan menyelesaikan bersama masyarakat (umat) di dalamnya.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button