ArtikelNews
Trending

Siapakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati ?

Oleh: Ustaz. Abu Izzuddin Fuad Al-Hazimi
(Mudir Ma’had An-Nahl Grabag, Magelang)

Secara  bahasa,  kata  Ulil  Amri  terdiri  dari  dua suku  kata  yaitu;  kata  Uli  yang  bermakna  yang memiliki  dan  Al  Amr  yang  bermakna  perintah.  Dalam Lisanul Arab,  Ibnu Mandzur menguraikan bahwa  maksud  dari  kata  Uii  adalah  memiliki. Dalam  bahasa  Arab,  ia  adalah  kata  tidak  bisa berdiri  sendiri,  namun  selalu  harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah).

Sedangkan definisi Al Amr,  Ibnu  Mandzur mengatakan, “Seseorang  memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir  adalah  penguasa  yang  mengatur pemerintahannya  di  antara  rakyatnya.”  (lihat; Lisanul Arab: 4/31)

Jadi,  menurut  istilah,  kata  Ulil  Amri  dapat didefinisikan  yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang  kendali  semua  urusan. (lihat:  Al-Mufradat, 25)

Siapa Yang Disebut dengan Ulil Amri?

Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah  wajib.  Kaum  muslimin  tidak  diperolehkan memberontak  terhadap  ulil  amri  meskipun  dalam pemerintahannya  sering  berlaku  zhalim.  Prinsip  ini menjadi  pegangan  yang  lahir  dari  salah  satu  pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

 “Hai  orang-orang  yang  beriman,  taatilah  Allah  dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Imam  Ibnu  Abil  ‘Izz  dalam  Syarah  Aqidah Thahawiyah,  berkata,  “Hukum mentaati  ulil  amri adalah  wajib  (selama  tidak  dalam  kemaksiatan) walaupun  mereka  berbuat  zhalim.  Karena  kalau keluar  dari  ketaatan  kepada  mereka  akan menimbulkan  kerusakan  yang  berlipat  ganda dibanding  dengan  kezhaliman  penguasa  itu sendiri.”  (Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)

Namun  kemudian  muncul  salah  satu  pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh,  yaitu; 

Apakah  setiap  pemerintahan  yang  ada hari ini bisa disebut Ulil Amri ?

Imam  At  Tabari  dalam  tafsirnya  menyebutkan bahwa  para  ahli  tafsir  berbeda  pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang  dimaksud  dengan  ulil  amri  adalah  para penguasa.  Sebagian lagi menyebutkan  bahwa  ulil amri  itu adalah Ahlul  Ilmi Wal Fiqh  (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga  yang  berpendapat  bahwa  mereka  adalah sahabat-sahabat Rasulullah?.  Dan  Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar . (Lihat Tafsir at Thabari, 7/176-182)

Imam  Ibnu  Katsir,  setelah  mengutip  beberapa pandangan  ulama  tentang  ulil  amri,  beliau menyimpulkan  bahwa  Ulil  Amri  itu  adalah penguasa  dan  ulama.  Lalu  beliau  mengatakan, Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa.

Oleh karena  itu, Allah  ta’ala berfirman,  ‘Taatilah  Allah,’  maksudnya  adalah ikutilah kitab-Nya. “Dan  taatilah Rasul” maksudnya adalah  ambillah  sunnahnya.  ‘Dan  ulil  amri  di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang  diperintahkan  oleh mereka  berupa  ketaatan kepada  Allah,  bukan  dalam maksiat  kepada-Nya.”  (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)

Imam Asy Syaukani berkata:

هُمُ الْأَئِمَّةُ، وَالسَّلَاطِينُ، وَالْقُضَاةُ، وَكُلُّ مَنْ كَانَتْ لَهُ وِلَايَةٌ شَرْعِيَّةٌ لَا وِلَايَةٌ طَاغُوتِيَّةٌ

“Ulil  Amri  adalah  para  imam,  penguasa,  hakim  dan semua  orang  yang  memiliki  kekuasaan  yang  syar’i, bukan  kekuasaan  thaghut.”  (Fathul  Qadir,  Asy Syaukani, 1/556)

Imam  Nawawi  berkata,  “Ulil  amri  yang  dimaksud adalah  orang-orang  yang Allah  ta’ala Wajibkan  untuk ditaati  dari  kalangan  para  penguasa  dan  pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang  yaitu  dari  kalangan  ahli  tafsir,  fikih,  dan selainnya.” (Syarh Shahih Muslim 12/222)

Imam  Ibnu  Taimiyah menjelaskan,  “Ulil  amri  adalah pemegang  dan  pemilik  kekuasaan.  Mereka  adalah orang-orang  yang  memerintah  manusia.  Perintah tersebut  didukung  oleh  orang-orang  yang  memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri  terdiri  atas dua  kelompok manusia  : ulama dan umara.  Bila  mereka  baik,  manusia  pun  baik.  Bila mereka  buruk,  manusia  pun  buruk.  Hal  ini  seperti jawaban  Abu  Bakar  Ash  Shiddiq  kepada wanita  dari bani  Ahmas  saat  bertanya  kepadanya,  ‘Apa  hal  yang menjamin  kami  akan  senantiasa  berada  di  atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah)  ini?’  Abu  Bakar  Ash  Shiddiq  menjawab, “Kalian  akan  senantiasa  di  atas  kebaikan  (Islam) tersebut  selama  para  pemimpin  kalian  bertindak lurus.” (HR Al Bukhari : Majmu’ Fatawa, 28/170)

Dari  penjelasan  di  atas,  setidaknya  ada  tiga kesimpulan  mendasar  yang  dituliskan  oleh  para ulama dalam memaknai ulil amri : 

  1. Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. 
  2. Ketaatan kepada ulil amri  tidak mutlak, namun bersyarat.  Yaitu  selama  bukan  dalam  perkara maksiat. 
  3. Ulil  amri  yang  tidak  menjadikan  syariat  Islam  sebagai  hukum  dalam  pemerintahannya  tidak wajib ditaati Kesimpulan  ini  selaras  dengan  tujuan  (maqashid) kepemimpinan  itu  sendiri.  Para  ulama menyebutkan  bahwa  tujuan  pokok  dari  adanya kepemimpinan  adalah  untuk  mengatur kemaslahatan  umat,   yaitu  dengan  menjalankan syariat  yang  telah Allah  gariskan  dalam Al Qur’an dan  As  Sunnah.  Oleh  karena  itu,  dalam  Islam  pemimpin  juga  disebut  sebagai  pengganti  peran  Nabi dalam menjalankan tugas kenabian.

Imam Al Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian  dalam menjaga  agama dan  mengatur  urusan  dunia.”  (Al  Ahkam  As Sulthaniyah, 1/3)

Imam  Al  Baidhawi  juga  menyebutkan  bahwa, “Kepemimpinan  adalah sebagai proses seseorang  (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada  kewajiban bagi  seluruh umat  Islam  untuk  mengikutinya.” (Al Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al Mathali’ ,hal. 228, dinukil dari Al Wajiz  fi Fiqh Al Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Imam  Ibnu  Khaldun  menjelaskan  bahwa,  “Imamah (kepemimpinan)  merupakan  pengganti  (tugas) pemegang  (otoritas)  syariat dalam melindungi agama dan  mengatur urusan  keduniawian.”  (Al Muqaddimah, hal. 195)

Bagaimana Jika Mereka Masih Menjalankan Shalat ?

Dalam beberapa hadis Rasulullah menyebut kriteria pemimpin  yang  harus  ditaati.  Salah  satunya  adalah selama  mereka  masih  menegakkan  shalat.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda :

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita melawan mereka ketika itu ?” beliau menjawab, “Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.”  (HR. Muslim. No 1855)

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kebaikan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, ‘Tidakkah kita melawan mereka?’. Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat”. (HR. Muslim).

Makna Kalimat لَا مَا صَلَّوْا

“Jangan (menentang Ulil Amri) selama mereka masih menegakkan sholat“. (Imam Nawawi : Syarah Shahih Muslim  12/243-244).

وأما قوله : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .

“Tidakkah  kita  melawan  mereka  ?”.  Beliau menjawab,  “Tidak,  selama  mereka  masih menegakkan sholat”. Di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan  sebelumnya,  yaitu  :  “Tidak  boleh memisahkan  diri  dari  para  khalifah,  jika  sekedar zhalim  dan  fasik,  selama mereka  tidak mengubah sedikit  pun  di  antara   kaidah-kaidah   (tata aturan/syariah)  Islam”.  (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244).

Makna Kufr Bawwah  Atau Kekufuran Yang Nyata

Dari ‘Ubadah bin Shamit beliau berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi mengundang  kami,  lalu  kami  mengucapkan bai’at  kepada  beliau  dalam  segala  sesuatu  yang diwajibkan  kepada  kami  bahwa  kami  berbai’at  kepada beliau  untuk  selalu  mendengarkan  dan  taat  [kepada Allah  dan  Rasul-Nya],  baik  dalam  kesenangan  dan ketidak sukaan kami” “…  kesulitan  dan  kemudahan  kami  dan  beliau  juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan  dari  yang  berhak  kecuali  jika  kalian  [kita] melihat  kekufuran  secara  nyata  [dan]  memiliki  bukti yang kuat dari Allah” (HR. Bukhari).

Hadits-hadits  ini  memberikan  pengecualian  larangan untuk memisahkan diri dan melawan penguasa dengan pada  satu kondisi, yaitu adanya kekufuran yang nyata. Artinya,  jika  seorang  penguasa  telah  melakukan kekufuran  yang  nyata,  maka  kaum  mukmin  wajib melepaskan  ketaatan  dari  dan  diperbolehkan menentang mereka Al Hafizh Ibnu Hajar, menjelaskan  :

Makna  “[dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah” yaitu  jika  kekufuran  penguasa  bisa  dibuktikan dengan  ayat-ayat,  nash-nash,  atau  khabar  (berita) shahih  yang  tidak  memerlukan  takwil  lagi,  maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika  bukti-bukti  kekufurannya  masih  samar  dan masih  memerlukan  takwil,  seseorang  tetap  tidak boleh memisahkan diri dari penguasa”.  (Fathul Bari : 20/59)

Imam Nawawi menjelaskan : 

“Yang  dimaksud  dengan  kekufuran  di sini  adalah  maksiat. Sedangkan  makna  hadits  ini  adalah  : “Janganlah  kalian memisahkan diri dari kepemimpinan waliyyul amri kalian dan janganlah  kalian  menentang  mereka  kecuali  setelah  kalian menyaksikan  kemungkaran pada diri mereka  yang bisa  kalian teliti kebenarannya  (tahqiq) berdasarkan kaidah-kaidah  Islam. Jika  kalian  telah  menyaksikannya,  maka  kalian  wajib mengingkarinya  dan  katakanlah  yang  haq  di  mana  pun  dan bagaimana pun kondisi kalian”. (Imam Nawawi : Syarah Shahih Muslim).

Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Syariah Allah

Al Qodhi ‘Iyadh berkata :

فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك

Seandainya  seorang  penguasa  terjatuh  ke  dalam kekufuran dan mengubah  syari’at,  atau  terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukum al wilayah (otoritas untuk  mengurusi  urusan  pemerintahan),  maka terputuslah  ketaatan  kepadanya,  dan  wajib  atas  kaum muslim  untuk  melawannya,  memakzulkannya,  dan mengangkat  seorang  pemimpin  yang  adil,  jika  hal  itu memungkinkan bagi mereka”. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36).

Ali  bin  Abi  Thalib  radhiyallahu ‘anhu  berkata,  “Kewajiban seorang  imam  adalah  menegakkan  hukum  sesuai  dengan apa  yang diturunkan Allah Azza wa  Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan  itu maka wajiblah bagi manusia  untuk  mendengar  dan  taat  kepadanya  serta bersedia  bila  diperintahkan  sesuatu.” (Mushannaf  Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).

Imam  Abu  Abbas  Al  Qurthubi  dalam  kitabnya  juga menegaskan,  “Kalau  pemimpin  itu  tidak  mau  menegakkan salah  satu  pondasi  agama  seperti  penegakan  shalat,  puasa Ramadhan,  pelaksanaan  hukum  hudud,  bahkan  melarang pelaksanaan  itu,  atau  dia  malah  membolehkan  minum khamr,  zina  serta  tidak  mencegahnya  maka  tak  ada perbedaan  pendapat  bahwa  dia  harus  dilengserkan.” (Al Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) 

Syaikh  Abdullah  bin  Abdul  Hamid  menjelaskan,  “Para pemimpin  yang  mengingkari  syariat  Allah,  tidak  mau berhukum  dengan  hukum  Allah  serta  berhukum  dengan  selain  hukum  Allah,  maka  ketaatan  kaum  muslimin kepadanya  telah  lepas.  Manusia  tidak  wajib  menaatinya. Karena  mereka  telah  menyia-nyiakan  tujuan  imamah (kepemimpinan).  Di  mana  atas  dasar  tujuan  tersebut  ia diangkat,  berhak  didengar,  ditaati  dan  tidak  boleh ditentang.”

“Ulil  amri  berhak  mendapatkan  itu  semua  dikarenakan mereka melaksanakan  kepentingan  (urusan)  kaum muslim, menjaga  dan  menyebarkan  agama,  melaksanakan  hukum-hukum, menjaga  perbatasan, memerangi  orang-orang  yang menolak  Islam  setelah  mendakwahinya,  mencintai  kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.”

“Jika dia  tidak menjaga agama atau  tidak melaksanakan urusan  kaum  muslim  maka  hak  kepemimpinan  telah hilang  darinya.  Umat  (dalam  hal  ini  diwakili  oleh  Ahlul Halli  Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali  permasalahan)  wajib  mencopotnya  dan menggantinya  dengan  orang  yang  mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan”.

“Ketika  Ahlus  Sunnah  tidak  membolehkan  keluar  dari para  pemimpin  yang  zalim  dan  fasik-karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama maka yang  dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan  salafus shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama.”

“Menurut mereka pemimpin  seperti  ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan  (ulil  amri) adalah  menegakkan  agama.  Setelah  itu  baru  ada yang  namanya  kepemimpinan  yang  baik  dan kepemimpinan  yang  buruk.”  (Abdullah  bin  Abdul Hamid, Al Wajiz  Fi Aqidati al  Salaf al  Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169)

Fatwa Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh, tentang “Berhukum Dengan Selain Syariah Islam”

Berikut  adalah  Fatwa  Al  Allamah Muhammad  Bin  Ibrahim Alu  Syaikh  (Mufti  Saudi  sebelum  Syaikh  Bin  Baz).  Beliau membagi orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari’ah  Allah menjadi  6  kelompok,  semuanya  kafir murtad.

  • Kelompok Pertama

ن يجحد الحاكمُ بغير ما أنزل الله تعالى أحقيَّةَ حُكمِ الله تعالى وحكم رسوله

Penguasa  yang  berhukum  dengan  hukum selain  syari’ah  Allah  dan  menentang  akan kewajiban  menerapkan  syari’ah  itu  maka  ia telah kafir murtad.

  • Kelompok Kedua

أن لا يجحد الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى كونَ حكم الله ورسوله حقاً، لكن اعتقد أن حكمَ غير الرسول أحسنُ من حكمه وأتم وأشمل

Penguasa  yang  berhukum  dengan  hukum  selain  syari’ah Allah dan  ia tidak  juhud (tidak menentang) akan kewajiban menerapkan  syari’ah  itu,  tetapi  ia  berkeyakinan  bahwa hukum buatan manusia  lebih baik,  lebih tepat, relevan dan lebih sempurna dibanding syari’ah Allah, maka ia telah kafir murtad.  

  • Kelompok Ketiga

أن لا يعتقد كونَه أحسنَ من حكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد أنه مثله

Penguasa  yang  berhukum  dengan  hukum  selain syari’ah  Allah  dan  ia   tidak  berkeyakinan  bahwa hukum  selain  Syari’ah  Allah  itu  lebih  baik  tetapi menyatakan  bahwa  hukum  buatan  manusia  sama baiknya  dengan  syari’ah  Allah,  maka  ia  telah  kafir murtad.

  • Kelompok Keempat

أن لا يعتقد كونَ حُكمِ الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى مماثلاً لحكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد جواز الحُكم بما يُخالف حُكمَ الله تعالى ورسوله

Penguasa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan Ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah sama atau lebih baik dibanding hukum buatan manusia, tetapi ia berkeyakinan  bahwa dibolehkan menerapkan undang-undang selain syari’ah Allah, maka ia telah kafir murtad.

  • Kelompok Kelima

وهو أعظمها وأشملها وأظهرها معاندة للشرع، ومكابرة لأحكامه، ومشاقة لله تعالى ولرسوله ومضاهاة بالمحاكم الشرعية، إعداداً وإمداداً وإرصاداً وتأصيلاً وتفريعاً وتشكيلاً وتنويعاً وحكماً وإلزاماً… فهذه المحاكم في كثير من أمصار الإسلام مهيّأة مكملة، مفتوحةُ الأبواب، والناسُ إليها أسرابٌ إثر أسراب، يحكم حكّامها بينهم بما يخالف حُكم السنة والكتاب، من أحكام ذلك القانون، وتلزمهم به وتقرّهم عليه، وتُحتِّمُهُ عليهم، فأيُّ كُفرٍ فوق هذا الكفر، وأي مناقضة للشهادة بأن محمداً رسولُ الله بعد هذه المناقضة…. فيجب على العقلاء أن يربأوا بنفوسهم عنه لما فيه من الاستعباد لهم، والتحكم فيهم بالأهواء والأغراض، والأغلاط، والأخطاء، فضلاً عن كونه كفراً بنص قوله تعالى: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

Ini adalah yang paling  jelas-jelas kekafirannya, paling nyata penentangannya  terhadap  Syari’ah  Allah,  paling  besar kesombongannya  terhadap  hukum  Allah  dan  paling  keras penentangan  dan  penolakannya  terhadap  lembaga-lembaga  (mahkamah) hukum Syari’ah. Semua  itu dilakukan dengan  terencana,  sistematis, didukung  dana  yang  besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat  umat  Islam  terpecah  belah  dan  terkotak-kotak, lalu  menanamkan  keragu-raguan  dalam  diri  terhadap syari’ah  Allah  dan  mereka  juga mewajibkan  umat  Islam untuk  mematuhi  hukum  buatan  mereka  itu  serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya. 

Berbagai  bentuk  lembaga  hukum  dan  perundang-undangan  ini  dalam  kurun  waktu  yang  amat  panjang telah  dipersiapkan  melalui  perencanaan  yang  matang dan  dengan  pintu  terbuka  siap  menangani  berbagai masalah  hukum  umat  Islam. 

Umat  Islam  pun berbondong-bondong  mendatangi  lembaga-lembaga ini,  sedangkan  para  penegak  hukumnya  menetapkan hukum  terhadap  permasalahan  mereka  itu  dengan keputusan-keputusan  yang  bertentangan  dengan  Al Qur’an  dan  Sunnah  Rasul  Shollallohu  ‘alaihi  wasallam dengan  merujuk  kepada  hukum-hukum  yang  berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu. Mereka  juga  mewajibkan  rakyatnya  untuk melaksanakan  hukum-hukum  itu,  mematuhi keputusan  mereka  itu  dan  tidak  memberi  celah sedikit  pun  untuk  memilih  hukum  selain  undang-undang mereka itu. 

Kekafiran manalagi yang  lebih besar dibandingkan kekufuran  ini,  penentangan  terhadap  persaksian “wa  asyhadu  anna  muhammadan  rasuulullah” manalagi  yang  lebih  besar  yang  lebih  besar dibandingkan penentangan ini ?

Sehingga  bagi  mereka  yang  menggunakan  akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum  itu dengan penuh  kesadaran  dan  ketundukan  hati  mengingat    di dalam  Undang-undang  itu  terdapat  penghambaan kepada  para  penguasa  pembuat  undang-undang  itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi  dan  kerancuan-kerancuan  berpikir  dan bertindak.  Penolakan  ini  harus  mereka  lakukan  atau mereka  jatuh pada  kekufuran  sebagaimana disebutkan dalam  firman Allah  (artinya)  :

“Barang siapa yang  tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka  itu  adalah  orang-orang  yang  kafir .” (QS  Al Maidah 44)

  • Kelompok Keenam

ما يحكم به كثيرٌ من رؤساء العشائر والقبائل من البوادي ونحوهم، من حكايات آبائهم وأجدادهم وعاداتهم التي يسمونها “سلومهم” يتوارثون ذلك منهم، ويحكمون به ويحضون على التحاكم إليه عند النزاع، بقاءً على أحكام الجاهلية، وإعراضاً ورغبةً عن حكم الله تعالى ورسوله r فلا حول ولا قوة إلاّ بالله تعالى

Aturan hukum yang biasa diterapkan oleh sebagian besar kepala  suku   dan kabilah pada masyakat dan suku-suku pedalaman atau yang semisal dengan itu. Yang  berupa  hukum  peninggalan  nenek  moyang mereka  dan  adat  istiadat  yang  diterapkan  secara turun  temurun,  yang  dalam  istilah  Arab  biasa disebut : “Tanyakan kepada nenek moyang”. Mereka mewariska  hukum  adat  ini  kepada  anak  cucu mereka  sekaligus  mewajibkan  mereka  untuk mematuhi  hukum  adat  itu  serta  menjadikannya sebagai  rjukan  dan  pedoman  saat  terjadi perselisihan di antara mereka. Kelompok Keenam Ini  semua  mereka  lakukan  sebagai  upaya melestarikan  adat  istiadan  dan  aturan  aturan jahiliyyah  dengan  disertai  ketidaksukaan  dan keengganan untuk menerima hukum  Allah  dan Rasul-Nya  Shollallohu ‘alaihi wasallam. Maka sungguh tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan bersandar  kepada  Allah  Subhanahu Wa Ta’ala  

(Tahkiem Al Qawaaniin karangan Al Allamah Syaikh Muhammad  Bin  Ibrahim  Alu  Syaikh  hal  14  –  20 Terbitan Daar Al Muslim)

Syaikh Hamud Uqola’ Asy Syu’aiby berkomentar :

“Demikian  yang  dikatakan  oleh  guru  kami  Syaikh Muhammad bin Ibrahim  Alu  Syaikh  rahimahullah, dalam ta’liqnya mengenai ayat ini. 

Saya  sendiri  ikut  mulazamah  dalam  halaqah  beliau, selama  bertahun-tahun.  Saya  mendengarnya  berkali-kali,  lebih dari sekali,  ia sangat  tegas dan keras dalam masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang  berhukum  kepada  selain  syariat  Allah, sebagaimana  ia  jelaskan  dalam  risalah  Tahkiimul Qawaaniin”.

(Fatwa Syaikh Hamud  Tanggal 10/2/1422 H) 

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button