Oleh: Ustaz. Abu Izzuddin Fuad Al-Hazimi
(Mudir Ma’had An-Nahl Grabag, Magelang)
Secara bahasa, kata Ulil Amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata Uli yang bermakna yang memiliki dan Al Amr yang bermakna perintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata Uii adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah).
Sedangkan definisi Al Amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanul Arab: 4/31)
Jadi, menurut istilah, kata Ulil Amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)
Siapa Yang Disebut dengan Ulil Amri?
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak terhadap ulil amri meskipun dalam pemerintahannya sering berlaku zhalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Imam Ibnu Abil ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) walaupun mereka berbuat zhalim. Karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)
Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh, yaitu;
Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut Ulil Amri ?
Imam At Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli tafsir berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah Ahlul Ilmi Wal Fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah?. Dan Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar . (Lihat Tafsir at Thabari, 7/176-182)
Imam Ibnu Katsir, setelah mengutip beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa Ulil Amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. “Dan taatilah Rasul” maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)
Imam Asy Syaukani berkata:
هُمُ الْأَئِمَّةُ، وَالسَّلَاطِينُ، وَالْقُضَاةُ، وَكُلُّ مَنْ كَانَتْ لَهُ وِلَايَةٌ شَرْعِيَّةٌ لَا وِلَايَةٌ طَاغُوتِيَّةٌ
“Ulil Amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy Syaukani, 1/556)
Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala Wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Syarh Shahih Muslim 12/222)
Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia : ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash Shiddiq menjawab, “Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al Bukhari : Majmu’ Fatawa, 28/170)
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri :
- Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman.
- Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat.
- Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi dalam menjalankan tugas kenabian.
Imam Al Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, 1/3)
Imam Al Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (Al Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al Mathali’ ,hal. 228, dinukil dari Al Wajiz fi Fiqh Al Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Imam Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “Imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al Muqaddimah, hal. 195)
Bagaimana Jika Mereka Masih Menjalankan Shalat ?
Dalam beberapa hadis Rasulullah menyebut kriteria pemimpin yang harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan shalat.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita melawan mereka ketika itu ?” beliau menjawab, “Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim. No 1855)
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kebaikan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, ‘Tidakkah kita melawan mereka?’. Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat”. (HR. Muslim).
Makna Kalimat لَا مَا صَلَّوْا
“Jangan (menentang Ulil Amri) selama mereka masih menegakkan sholat“. (Imam Nawawi : Syarah Shahih Muslim 12/243-244).
وأما قوله : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .
“Tidakkah kita melawan mereka ?”. Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat”. Di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yaitu : “Tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar zhalim dan fasik, selama mereka tidak mengubah sedikit pun di antara kaidah-kaidah (tata aturan/syariah) Islam”. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244).
Makna Kufr Bawwah Atau Kekufuran Yang Nyata
Dari ‘Ubadah bin Shamit beliau berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi mengundang kami, lalu kami mengucapkan bai’at kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbai’at kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan ketidak sukaan kami” “… kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari yang berhak kecuali jika kalian [kita] melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah” (HR. Bukhari).
Hadits-hadits ini memberikan pengecualian larangan untuk memisahkan diri dan melawan penguasa dengan pada satu kondisi, yaitu adanya kekufuran yang nyata. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan menentang mereka Al Hafizh Ibnu Hajar, menjelaskan :
Makna “[dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah” yaitu jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau khabar (berita) shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa”. (Fathul Bari : 20/59)
Imam Nawawi menjelaskan :
“Yang dimaksud dengan kekufuran di sini adalah maksiat. Sedangkan makna hadits ini adalah : “Janganlah kalian memisahkan diri dari kepemimpinan waliyyul amri kalian dan janganlah kalian menentang mereka kecuali setelah kalian menyaksikan kemungkaran pada diri mereka yang bisa kalian teliti kebenarannya (tahqiq) berdasarkan kaidah-kaidah Islam. Jika kalian telah menyaksikannya, maka kalian wajib mengingkarinya dan katakanlah yang haq di mana pun dan bagaimana pun kondisi kalian”. (Imam Nawawi : Syarah Shahih Muslim).
Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Syariah Allah
Al Qodhi ‘Iyadh berkata :
فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك
“Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syari’at, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukum al wilayah (otoritas untuk mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum muslim untuk melawannya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang pemimpin yang adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kewajiban seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).
Imam Abu Abbas Al Qurthubi dalam kitabnya juga menegaskan, “Kalau pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamr, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus dilengserkan.” (Al Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39)
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menjelaskan, “Para pemimpin yang mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Di mana atas dasar tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh ditentang.”
“Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.”
“Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan”.
“Ketika Ahlus Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik-karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama.”
“Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakkan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajiz Fi Aqidati al Salaf al Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169)
Fatwa Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh, tentang “Berhukum Dengan Selain Syariah Islam”
Berikut adalah Fatwa Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baz). Beliau membagi orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah menjadi 6 kelompok, semuanya kafir murtad.
- Kelompok Pertama
ن يجحد الحاكمُ بغير ما أنزل الله تعالى أحقيَّةَ حُكمِ الله تعالى وحكم رسوله
Penguasa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan menentang akan kewajiban menerapkan syari’ah itu maka ia telah kafir murtad.
- Kelompok Kedua
أن لا يجحد الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى كونَ حكم الله ورسوله حقاً، لكن اعتقد أن حكمَ غير الرسول أحسنُ من حكمه وأتم وأشمل
Penguasa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia tidak juhud (tidak menentang) akan kewajiban menerapkan syari’ah itu, tetapi ia berkeyakinan bahwa hukum buatan manusia lebih baik, lebih tepat, relevan dan lebih sempurna dibanding syari’ah Allah, maka ia telah kafir murtad.
- Kelompok Ketiga
أن لا يعتقد كونَه أحسنَ من حكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد أنه مثله
Penguasa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah itu lebih baik tetapi menyatakan bahwa hukum buatan manusia sama baiknya dengan syari’ah Allah, maka ia telah kafir murtad.
- Kelompok Keempat
أن لا يعتقد كونَ حُكمِ الحاكم بغير ما أنزل الله تعالى مماثلاً لحكم الله تعالى ورسوله لكن اعتقد جواز الحُكم بما يُخالف حُكمَ الله تعالى ورسوله
Penguasa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan Ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah sama atau lebih baik dibanding hukum buatan manusia, tetapi ia berkeyakinan bahwa dibolehkan menerapkan undang-undang selain syari’ah Allah, maka ia telah kafir murtad.
- Kelompok Kelima
وهو أعظمها وأشملها وأظهرها معاندة للشرع، ومكابرة لأحكامه، ومشاقة لله تعالى ولرسوله ومضاهاة بالمحاكم الشرعية، إعداداً وإمداداً وإرصاداً وتأصيلاً وتفريعاً وتشكيلاً وتنويعاً وحكماً وإلزاماً… فهذه المحاكم في كثير من أمصار الإسلام مهيّأة مكملة، مفتوحةُ الأبواب، والناسُ إليها أسرابٌ إثر أسراب، يحكم حكّامها بينهم بما يخالف حُكم السنة والكتاب، من أحكام ذلك القانون، وتلزمهم به وتقرّهم عليه، وتُحتِّمُهُ عليهم، فأيُّ كُفرٍ فوق هذا الكفر، وأي مناقضة للشهادة بأن محمداً رسولُ الله بعد هذه المناقضة…. فيجب على العقلاء أن يربأوا بنفوسهم عنه لما فيه من الاستعباد لهم، والتحكم فيهم بالأهواء والأغراض، والأغلاط، والأخطاء، فضلاً عن كونه كفراً بنص قوله تعالى: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Ini adalah yang paling jelas-jelas kekafirannya, paling nyata penentangannya terhadap Syari’ah Allah, paling besar kesombongannya terhadap hukum Allah dan paling keras penentangan dan penolakannya terhadap lembaga-lembaga (mahkamah) hukum Syari’ah. Semua itu dilakukan dengan terencana, sistematis, didukung dana yang besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat umat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak, lalu menanamkan keragu-raguan dalam diri terhadap syari’ah Allah dan mereka juga mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum buatan mereka itu serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya.
Berbagai bentuk lembaga hukum dan perundang-undangan ini dalam kurun waktu yang amat panjang telah dipersiapkan melalui perencanaan yang matang dan dengan pintu terbuka siap menangani berbagai masalah hukum umat Islam.
Umat Islam pun berbondong-bondong mendatangi lembaga-lembaga ini, sedangkan para penegak hukumnya menetapkan hukum terhadap permasalahan mereka itu dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan merujuk kepada hukum-hukum yang berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu. Mereka juga mewajibkan rakyatnya untuk melaksanakan hukum-hukum itu, mematuhi keputusan mereka itu dan tidak memberi celah sedikit pun untuk memilih hukum selain undang-undang mereka itu.
Kekafiran manalagi yang lebih besar dibandingkan kekufuran ini, penentangan terhadap persaksian “wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah” manalagi yang lebih besar yang lebih besar dibandingkan penentangan ini ?
Sehingga bagi mereka yang menggunakan akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum itu dengan penuh kesadaran dan ketundukan hati mengingat di dalam Undang-undang itu terdapat penghambaan kepada para penguasa pembuat undang-undang itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi dan kerancuan-kerancuan berpikir dan bertindak. Penolakan ini harus mereka lakukan atau mereka jatuh pada kekufuran sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (artinya) :
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir .” (QS Al Maidah 44)
- Kelompok Keenam
ما يحكم به كثيرٌ من رؤساء العشائر والقبائل من البوادي ونحوهم، من حكايات آبائهم وأجدادهم وعاداتهم التي يسمونها “سلومهم” يتوارثون ذلك منهم، ويحكمون به ويحضون على التحاكم إليه عند النزاع، بقاءً على أحكام الجاهلية، وإعراضاً ورغبةً عن حكم الله تعالى ورسوله r فلا حول ولا قوة إلاّ بالله تعالى
Aturan hukum yang biasa diterapkan oleh sebagian besar kepala suku dan kabilah pada masyakat dan suku-suku pedalaman atau yang semisal dengan itu. Yang berupa hukum peninggalan nenek moyang mereka dan adat istiadat yang diterapkan secara turun temurun, yang dalam istilah Arab biasa disebut : “Tanyakan kepada nenek moyang”. Mereka mewariska hukum adat ini kepada anak cucu mereka sekaligus mewajibkan mereka untuk mematuhi hukum adat itu serta menjadikannya sebagai rjukan dan pedoman saat terjadi perselisihan di antara mereka. Kelompok Keenam Ini semua mereka lakukan sebagai upaya melestarikan adat istiadan dan aturan aturan jahiliyyah dengan disertai ketidaksukaan dan keengganan untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi wasallam. Maka sungguh tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
(Tahkiem Al Qawaaniin karangan Al Allamah Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh hal 14 – 20 Terbitan Daar Al Muslim)
Syaikh Hamud Uqola’ Asy Syu’aiby berkomentar :
“Demikian yang dikatakan oleh guru kami Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah, dalam ta’liqnya mengenai ayat ini.
Saya sendiri ikut mulazamah dalam halaqah beliau, selama bertahun-tahun. Saya mendengarnya berkali-kali, lebih dari sekali, ia sangat tegas dan keras dalam masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang berhukum kepada selain syariat Allah, sebagaimana ia jelaskan dalam risalah Tahkiimul Qawaaniin”.
(Fatwa Syaikh Hamud Tanggal 10/2/1422 H)