Artikel

Apa yang harus diwariskan Pejabat Kepada Anak-Anaknya ?

Oleh : Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS

Kekuasaan itu menggoda. Tidak banyak yang bisa menepisnya.Tidak banyak yang menyadari itu sebagai bagian dari ujian. Tak jarang dijumpai orang tua yang menjadi penguasa suatu daerah ingin melanggengkan kekuasaannya dengan mempersiapkan anak keturunannya sebagai penerus atau bahkan pewaris kekuasaannya. Antisipasi ini dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum masa jabatan sang orang tua berakhir. Khawatir bila masa depan keturunannya berantakan atau mengalami berbagai kemungkinan buruk.

Mempersiapkan masa depan yang lebih baik untuk anak keturunan bukan sesuatu yang dilarang. Orang tua mana yang tega meninggalkan anak-anak nya dalam kondisi yang lemah. Namun, jangan sampai hal ini menjadi salah orientasi, lebih dominan ke materi sehingga mengabaikan orientasi keimanan.

Mari kita memotret bagaimana orang sholih yang mendapatkan kekuasaan menyiapkan warisan bagi keturunannya.

Dalam “Kitab Alfu Qishshoh wa Qishshoh”, dikisahkan dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah; Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz. Keduanya meninggalkan 11 anak, laki-laki dan perempuan. Tapi bedanya, Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan jatah warisan bagi anak-anak laki masing-masing mendapatkan 1 juta Dinar. Sementara anak-anak laki Umar bin Abdul Aziz hanya mendapatkan setengah dinar.

Dengan peninggalan melimpah dari Hisyam bin Abdul Malik untuk semua anak-anaknya ternyata tidak membawa kebaikan. Semua anak-anak Hisyam sepeninggalnya hidup dalam keadaan miskin. Sementara anak-anak Umar bin Abdul Aziz tanpa terkecuali hidup dalam keadaan kaya, bahkan seorang di antara mereka berinfaq fi sabilillah untuk menyiapkan kuda dan perbekalan bagi 100.000 pasukan penunggang kuda.

Kisah ini mengingatkan kita akan bahayanya harta banyak yang disiapkan untuk masa depan anak-anak tetapi kehilangan keberkahan. 1 juta dinar (hari ini sekitar Rp 3.200.000.000.000,-) tak bisa sekadar untuk berkecukupan apalagi bahagia. Bahkan mengantarkan mereka menuju kefakiran.

Melihat kisah tersebut kita juga belajar bahwa tak terlalu penting berapa yang kita tinggalkan untuk anak-anak kita. Mungkin hanya setengah dinar (hari ini sekitar Rp 1.600.000,-) untuk satu anak kita. Tapi yang sedikit itu membaur dengan keberkahan. Ia akan menjadi modal berharga untuk kebesaran dan kecukupan mereka kelak. Lebih dari itu, membuat mereka menjadi shalih dengan harta itu.

Ini pelipur lara bagi yang hanya sedikit peninggalannya. Bahkan menghibur sekaligus mengajarkan bagi mereka yang tak punya peninggalan harta. Tentu sekaligus bagi yang banyak peninggalannya.

Renungkanlah dua ayat ini dan rasakan pelajaran keimanannya,

Ayat yang pertama, QS Al Kahfi ayat 82

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu,” (Qs. Al Kahfi: 82).

Ayat ini mengisahkan tentang anak yatim yang hartanya masih terus dijaga Allah, bahkan Allah kirimkan orang shalih yang membangunkan rumahnya yang nyaris roboh dengan gratis. Semua penjagaan Allah itu sebabnya adalah keshalihan ayahnya saat masih hidup.

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan,

“Kalimat: (dahulu ayah keduanya orang yang sholeh) menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan melingkupi mereka di dunia dan akhirat dengan syafaat bagi mereka . . . wallahu A’lam

Ayat yang kedua, QS Al Araf 196

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ ۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. (QS. Al A’raf: 196)

Ayat ini mengirimkan keyakinan pada orang beriman bahwa Allah yang kuasa menurunkan al Kitab sebagai bukti rahmatNya bagi makhlukNya, Dia pula yang akan mengurusi, menjaga dan menolong orang-orang shalih dengan kuasa dan rahmatNya. Sekuat inilah seharusnya keyakinan kita sebagai orang beriman. Termasuk keyakinan kita terhadap anak-anak kita sepeninggal kita.

Ketika Umar bin Abdul Aziz telah dekat dengan kematian, datanglah Maslamah bin Abdul Malik. Ia berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau telah mengosongkan mulut-mulut anakmu dari harta ini. Andai anda mewasiatkan mereka kepadaku atau orang-orang sepertiku dari masyarakatmu, mereka akan mencukupi kebutuhan mereka.”

Ketika Umar mendengar kalimat ini ia berkata, “Dudukkan saya!”

Mereka pun mendudukkannya.

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, wahai Maslamah. Adapun perkataanmu bahwa aku telah mengosongkan mulut-mulut anakku dari harta ini, demi Allah aku tidak pernah mendzalimi hak mereka dan aku tidak mungkin memberikan mereka sesuatu yang merupakan hak orang lain. Adapun perkataanmu tentang wasiat, maka wasiatku tentang mereka adalah:

((إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ))

Anaknya Umar satu dari dua jenis: shalih maka Allah akan mencukupinya atau tidak sholeh maka aku tidak mau menjadi orang pertama yang membantunya dengan harta untuk maksiat kepada Allah.” (Umar ibn Abdil Aziz Ma’alim At Tajdid wal Ishlah, Ali Muhammad Ash Shalaby)

Begitulah ayat bekerja pada keyakinan seorang Umar bin Abdul Aziz. Ia yang telah yakin mendidik anaknya menjadi shalih, walau hanya setengah dinar hak anak laki-laki dan seperempat dinar hak anak perempuan, tetapi dia yakin pasti Allah yang mengurusi, menjaga dan menolong anak-anak sepeninggalnya. Dan kisah di atas telah menunjukkan bahwa keyakinannya itu benar.

Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah berhasil memakmurkan masyarakatnya. Tentu dia juga berhak untuk makmur seperti masyarakatnya. Minimal sama, atau bahkan ia punya hak lebih sebagai pemimpin mereka. Tetapi ternyata ia tidak meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan yang cukup. Tak ada usaha yang mapan. Tak ada asuransi seperti hari ini.

Tapi tidak ada sedikit pun kekhawatiran. Tidak tersirat secuil pun rasa takut. Karena yang disyaratkan ayat telah ia penuhi. Ya, anak-anak yang shalih hasil didikannya.

Referensi : Asuransi Terbaik Ust Budi Ashari, Lc

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button