KETIKA DUNIA MENJADI SEMPIT
Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah SWT.
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jamaah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Maasyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah
Pernahkah anda merasakan bumi yang kita diami ini menjadi sempit sehingga napas kita menjadi sesak ?
Setiap orang berpotensi bahkan sangat bisa mengalami hal ini. Kondisi dimana semuanya terasa serba sulit, rezeki serasa sempit, pandemi covid-19 dan dampaknya yang terasa semakin berat, musibah datang silih berganti, kebahagiaan yang didamba serasa tak ada. Sampai hati, seseorang menghujat dan mencela takdir kehidupan yang tengah dijalaninya. Serasa Allah tak adil dalam hidupnya. Sebetulnya Apa yang mempengaruhi perasaan kita waktu itu?
Salah satu jawaban terbesarnya adalah pemaknaan. Bagaimana pikiran dan hati kita memaknai apa yang terjadi, adalah salah satu hal fundamental yang membangun struktur kebahagiaan.
Jika seseorang mampu memaknai semua yang menimpanya dengan penuh penerimaan, maka ia akan bisa berdamai dengan kompleksitas beban masalahnya. Mampu memaknai dengan benar, berarti ia akan mampu untuk mengambil keputusan yang tepat dalam melangkah kedepannya.
Memaknai dan menerima apa saja yang Allah tetapkan dan berikan untuk dirinya, atau yang biasa kita sebut Qana’ah adalah jawaban yang tepat saat kita dihadapkan pada sebuah kondisi krisis, serba sulit dan serba menghimpit.
Jangan-jangan yang kita pikirkan tentang kebahagiaan itu selama ini ukurannya adalah duniawi. Punya uang banyak, dianggap bisa bahagia.
Punya pasangan, punya anak, punya jabatan, punya popularitas, punya segalanya baru bisa dianggap bahagia. Jika orientasi kebahagiaan itu diletakan pada material, maka selamanya kita tak akan pernah merasa puas dan bahagia. Bahagia itu ketika hati kita benar benar sakinah.
Sakinah itu hanya diturunkan oleh Allah kepada mereka yang validitas keimanannya teruji. Teruji ketika diberi godaan dan ujian, masih tetap bisa menghamba hanya kepada Allah semata. Masih sanggup menggantungkan dan menaruh seluruh harapannya (roja’) hanya kepada Allah.
Untuk mengubah pemaknaan kita terhadap kondisi yang terjadi, maka lihatlah apa sebenarnya isinya itu. Apapun yang Allah berikan pada diri kita, dan apapun yang tidak Allah berikan pada kita namun diberikan kepada orang lain, maka pandanglah substansinya. Pahamilah bahwa Allah merencanakan yang terbaik untuk hidup kita.
Ukurannya bukan duniawi, tapi ukhrawi. Rasakanlah bahwa itu cukup bagi kita. Rasakanlah bahwa Allah sedang mengurus diri kita (agar terhindar dari istidraj misalnya). Rasakanlah bahwa Allah sedang menguji kesetiaan kita terhadap-Nya. Allah berfirman:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)
Menelisik kisah Sahabat Rasulullah Ka’ab bin Malik lima belas abad yang lampau ketika menghadapi situasi yang serba sulit dan sempit seakan-akan dunia menghimpit.
Ketika Nabi yang mulia berangkat perang bersama para sahabat beliau dalam perang Tabuk, ada tiga orang sahabat yang enggan ikut dalam barisan pasukan Nabi, yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’ah.
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesung¬guhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117-119)
Di dalam tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah menafsirkan sebagai berikut: “Dan” begitu pula Allah telah menerima taubat “tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka”, mereka tidak berangkat berperang bersama kaum Muslimin di perang itu. Mereka adalah Ka’ab bin Malik dan kedua rekannya.
Kisah mereka masyhur tercantum di kitab-kitab Shahih dan Sunan. “Hingga apabila”, mereka sangat bersedih, “bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, “dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,” yang merupakan sesuatu yang paling mereka cintai dari segala apa pun, bumi yang luas dan sesuatu yang dicintai serasa sempit padahal biasanya ia tidak demikian, hal itu tidak lain kecuali karena perkara yang berat yang telah sampai pada puncak beratnya dan sulitnya, sehingga ia sulit untuk diungkapkan, hal itu karena mereka mendahulukan ridha Allah dan ridha RasulNya daripada segala sesuatu.
“Mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja.” Yakni, mereka yakin dan mengetahui keadaan mereka bahwa tidak ada keselamatan dan perlindungan dari kesulitan kecuali hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Terputuslah ketergantungan mereka dengan makhluk, mereka bergantung hanya kepada Allah, Rabb mereka, dan kembali kepadaNya. Mereka mengalami kesulitan ini selama lima puluh malam.
“Kemudian Allah menerima taubat mereka.” Yakni mengizinkan dan membimbing mereka untuk taubat kepadaNya “agar mereka tetap dalam taubatnya.”
Yakni, agar taubat tersebut dilakukan oleh mereka, sehingga kemudian Dia akan menerima taubat mereka. “Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat.”
Yakni, banyak memaafkan, mengampuni, dan menerima taubat dari kesalahan-kesalahan dan berbagai kekurangan. “Lagi Maha Penyayang.” SifatNYa adalah rahmat yang agung yang selalu turun kepada hamba setiap saat dan waktu, di segala kesempatan yang menyebabkan perkara agama dan dunia mereka berdiri tegak dengannya.
Dalam ayat-ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penerimaan taubat oleh Allah kepada seorang hamba adalah tujuan dan sasaran paling mulia dan paling tinggi, karena Allah menjadikannya sebagai akhir bagi hamba-hambaNya yang khusus, dan memberi mereka nikmat dengannya ketika mereka melakukan amalan-amalan yang dicintai dan diridhaiNya. Ibroh/pelajaran dari penerimaan taubat oleh Allah kepada seorang hamba di dalam ayat tersebut diatas adalah:
Pertama: Kasih sayang Allah kepada mereka, serta peneguhan iman mereka pada waktu kesulitan dan musibah yang mencemaskan. firman Allah: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Pada ayat tersebut Allah menjelaskan Dia meneguhkan orang-orang yang mukmin dengan ucapan-ucapan yang baik dan teguh. Baik di dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Maka dari itu, ada hubungan timbal balik antara iman dengan ucapan yang baik dan teguh.
Sebaliknya, ucapan yang baik itu dapat memelihara keteguhan iman seseorang. Selanjutnya Allah juga menegaskan Dia membiarkan sesat orang-orang zalim dan yang suka berbuat menurut kehendaknya sendiri. Antara lain ialah mengucapkan kata-kata buruk yang mengajak kepada kekafiran, kemusyrikan, kemaksiatan, dan lain-lain.
Kedua: Bahwa ibadah yang berat bagi jiwa memiliki keistimewaan dan keutamaan di atas selainnya. Semakin berat kesulitannya maka akan semakin besar pahalanya.
Dalam kaedah yang dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320) disebutkan,
مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً
“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.” Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,
“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Dasar kaedah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ
“Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211).
Ketiga: Bahwa penerimaan taubat oleh Allah kepada hambaNya adalah berdasarkan penyesalannya yang mendalam. Sedangkan orang yang tidak peduli dengan dosa dan tidak merasa bersalah jika melakukannya, maka taubatnya pasti gagal, meski dia menyangkanya diterima.
Banyak orang beranggapan bahwa taubat adalah ibadah yang khusus untuk orang-orang yang berbuat banyak dosa. Sedangkan orang-orang yang menjalankan kewajiban dan meninggalkan semua larangan tidak harus dan tidak butuh bertaubat. Ini adalah anggapan yang keliru. Setiap mukmin dituntut untuk memperbanyak taubat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Bahkan semakin seseorang mengenal Rabb nya, maka semakin banyak pula taubat dan istighfarnya.
Keempat: Bahwa tanda kebaikan dan lenyapnya kesulitan adalah jika hati seorang hamba hanya bergantung kepada Allah secara sempurna dan terputus dari (mengharap kepada) makhluk.
Kelima: Allah memberi nikmat kejujuran kepada mereka. Oleh karena itu Allah memerintahkan agar mereka diteladani.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.