Khutbah Jumat Edisi 130: “Lemahnya Umat Dalam Menegakkan Syariat Islam”
Materi Khutbah Jumat Edisi 130 tanggal 7 Ramadhan 1438 H ini dikeluarkan oleh
Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:
Lemahnya Umat Dalam Menegakkan Syariat Islam
(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah SWT.
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
MA’ASYIROL MUSLIMIN RAHIMANI WA RAHIMUKUMULLAH!!!
MUNGKINKAH SYARI’AH ISLAM TEGAK DI INDONESIA?
Inilah sebuah pertanyaan yang selalu berulang, terkadang sesekali menghilang, namun tidak berselang lama kembali muncul menempati posisinya semula. Mengapa begitu…? Karena memang kelazimannya demikian, afdhalnya disebuah Negara yang mayoritas terbesar penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia ini, seharusnya adalah Negara Islam atau Negara yang dikelola berdasarkan Syari’at Islam. Ditinjau dari tatakerama demokrasi sekalipun, yang salah satu asasnya adalah kedaulatan rakyat, maka sangat wajar bila Indonesia memberlakukan Syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di manapun di dunia ini, keyakinan dan dominasi penduduk mayoritaslah yang menjadi identitas negaranya. Di Rusia, China, Nikaragua, penduduk mayoritas berfaham komunis, maka berdirilah negara komunis. Begitu pun di Amerika, Inggris, Australia, Prancis dan lain-lainnya, mayoritas penduduknya berfaham demokrasi, maka berdirilah negara demokrasi.
Apalagi, jika ditinjau dari kaidah dan akidah Islam, yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Semangat iman seperti inilah, yang membuat perjuangan menegakkan Syari’ah Islam di Indonesia tidak pernah padam. Semenjak Islam masuk ke negeri ini pada abad ke-13, kerajaan-kerajaan Islam di kala itu senantiasa berusaha untuk menegakkan Syari’ah Islam di wilayah kerajaannya. Ketika penjajah Belanda berkuasa pun, upaya-upaya ke arah tegaknya Syari’ah Islam masih terus dilakukan. Setelah Indonesia merdeka, usaha penegakan Syari’ah Islam juga tidak pernah berhenti, baik melalui parlementer oleh parpol Islam Masyumi sehingga melahirkan Piagam Jakarta, maupun melalui perjuangan bersenjata dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi Selatan oleh SM. Kartosuwiryo, Tengku Daud Beureueh, Ibnu Hajar dan Qahhar Mudzakkar.
Namun, apa yang dianggap wajar dalam Negara demokrasi bahkan komunis sekalipun, menjadi tidak wajar di Indonesia. Negara justru bersikap represif terhadap aspirasi dan keyakinan penduduk mayoritas Muslim. Bayangkan, sekiranya mayoritas penduduk Indonesia berfaham komunis, wajarkah bila mereka menuntut berdirinya Negara komunis, dan hukum yang berlaku adalah hukum komunis yang anti tuhan itu? Jika ya, mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi Islam, malah umat Islam yang menuntut berdirinya Negara Islam atau berlakunya Syari’at Islam di lembaga Negara dimusuhi sebagai pelaku subversi, anti pemerintah, dan musuh negara? Tapi, jika tidak, itukah mentalitas demokrasi sesungguhnya?
Pengertian Syariat Islam
Kata Syariat berasal dari akar kata syara’a – yasyra’u – syar’an wa syir’atan wa syari’atan. Secara etimologi (harfiah) bermakna “jalan menuju air”, “adat kebiasaan”, dan “agama”. Dalam bahasa Arab sering disebut Syari’at Islam. Dalam bahasa Melayu, ia juga disebut syari’at atau Syari’ah itu sendiri. Apabila diterjemah secara etimologi ke dalam bahasa Melayu ia dapat berarti Hukum atau Undang-Undang Islam. Undang-Undang ini datangnya langsung dari Allah SWT untuk semua manusia yang hidup di dunia ini baik muslim atau nonmuslim.
Bagi yang menjalankannya, Allah akan menjanjikan surga dan yang melanggarnya akan terancam dalam neraka. Sedangkan menurut istilah, Syariat adalah segala sesuatu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk wahyu yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Syariat bisa digunakan dalam dua arti, pertama dalam arti sempit, merupakan salah satu aspek ajaran Islam yaitu aspek yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan dalam arti luas mencakup semua aspek ajaran Islam, identik dengan istilah Islam itu sendiri.
Prinsip Syariat Islam
Syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut diantaranya, yaitu :
Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syariat Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain:
“… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.“ (QS. Al-Hajj: 78).
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…“. (QS. Al-Baqarah: 185).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalam Al Qur’an disebutkan:
1. Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan:
“… Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya …” (QS. Al-Baqarah: 184).
2. Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air:
“…dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6).
3. Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa:
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Hancurnya Umat Islam Karena Perbuatan Mereka Sendiri
Rasulullah mengisyaratkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam atas sebagian lainnya telah menyebabkan kekalahan mereka di hadapan musuh-musuhnya.
SEJARAH Islam telah memberikan bukti begitu banyak bahwa sedikitnya jumlah mereka bukanlah penyebab utama kekalahan mereka. Perang Badar, perang Tabuk, perang Khandak, perang Mu’tah, hingga perang-perang setelah wafatnya Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam selalu dimenangkan oleh kaum muslimin, sekalipun jumlah mereka sangat sedikit dan senjata mereka sangat terbatas.
Perang Qadisiah, Yarmuk, Nahawand, hingga penaklukkan Konstantinopel yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih juga memberikan gambaran serupa; kaum muslimin dengan jumlah yang minim, bekal dan persenjataan terbatas, mampu mengalahkan musuh yang jumlah dan persenjataannya jauh berlipat.
Kekuatan iman dan persaudaraan serta kecintaan mereka kepada kehidupan akhirat, telah mengantarkan mereka pada kesuksesan di setiap penaklukkan, di samping semangat berkorban dan cinta mati syahid juga menjadi pendorong yang paling kuat untuk tetap bertahan.
Inilah janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kaum muslimin, bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh jumlah pasukan dan kecanggihan senjata, juga bukan karena banyaknya sarana dan lengkapnya fasilitas. Faktor keimanan dan kebersihan mental setiap pasukan, serta keyakinan yang kuat akan datangnya pertolongan Allah telah membuat mereka selalu pulang dengan kemenangan.
Lalu, mengapa hari ini kita saksikan banyak kaum muslimin yang lemah dan kalah di hadapan musuh-musuhnya? Atau, mengapa pada masa dahulu kita juga pernah ‘menyaksikan’ kekalahan yang menimpa kaum muslimin? Adakah faktor lain yang membuat mereka harus kalah dan bertekuk lutut di hadapan musuh-musuhnya?
Inilah jawaban yang Allah berikan; Rasulullah mengisyaratkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam atas sebagian lainnya telah menyebabkan kekalahan mereka di hadapan musuh-musuhnya. Inilah yang saat ini sedang terjadi.
Kehancuran umat Islam bukan oleh kekuatan musuh, bukan karena kehebatan mereka. Namun karena adanya pengkhianatan sebagian umat Islam. Para pengkhianat agama itu bekerja sama dengan thaghut dan orang-orang kafir untuk memerangi mujahidin. Orang-orang Islam yang munafik itu telah menjual darah daging saudaranya kepada musuh-musuh Islam dengan imbalan yang sedikit.
“Sesungguhnya aku sudah memohon kepada Rabbku untuk umatku janganlah Dia membinasakan mereka dengan paceklik yang merajalela, jangan menundukkan mereka kepada musuh dari luar kelompok mereka yang menodai kedaulatan mereka. Sesungguhnya, Rabbku berfirman: Wahai Muhammad! Sungguh jika Aku telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak bisa ditolak. Aku berikan kepadamu untuk umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh paceklik yang merajalela dan agar mereka tidak dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang akan menodai kedaulatan mereka, sekalipun musuh itu berkumpul dari seluruh penjuru dunia, kecuali jika sebagian dari mereka membinasakan sebagian yang lain dan mereka saling menawan satu sama lain.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Ya, di antara mereka saling menawan satu sama lain, saling menikam dari belakang. Sebagian mereka ada yang menjadi informan musuh, ada yang menjadi kaki tangannya, dan ada pula yang benar-benar menjadi budaknya yang setia.
Sebagian mereka bekerja karena tekanan, sebagian karena iming-iming dunia yang dijanjikan, sebagian ada yang karena kebenciannya kepada umat Islam, namun ada pula yang sekedar untuk bertahan hidup.
RAMADHAN BULAN PERJUANGAN DAN KEMENANGAN
Bulan Ramadhan yang kita lalui dengan tiada makan dan minum, kadang kala membuat umat Islam bermalas-malasan di saat bulan Ramadhan dan menurunkan aktivitas dan produktivitas. Jika kita fikirkan, memang benar badan orang berpuasa akan jauh lebih lemah dibandingkan dengan yang tidak berpuasa.
Namun secara historis, hal tersebut tidak terjadi dengan para sahabat. Energi spiritual puasa yang mereka miliki bisa membalik itu semua. Orang yang berpuasa mampu mengeluarkan kekuatan yang luar biasa. Inilah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri dan telah mereka ukir dengan gemilang sebagai pelajaran bagi kita semua saat ini.
Para sahabat dan generasi sesudahnya, menjadikan Ramadhan sebagai momentum semakin semangat memperjuangkan Islam. Mereka tidak beruzlah menyendiri di sudut-sudut masjid atau terus menerus berdzikir bagi dirinya sendiri, namun mereka maju dan menjadi orang yang terdepan dalam dakwah dan Jihad demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Perilaku seperti ini telah ditanamkan sejak masa Nabi .
Kebangkitan Generasi Al-Maidah 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٥٤)
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Allah Ta`ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (١٤٦)
“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka banyak ribbiyun (ulama dan fuqoha`). Mereka tidak lemah lantaran musibah yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali `Imran: 146)
Ribbiyun di sini adalah Tha`ifah Manshurah yang pantang lemah dan pantang menyerah, mereka adalah orang-orang pilihan ummat ini, yakni para ulama yang beramal dan berjihad.
Al Baghawi berkata menafsirkan ayat “فما وهنوا”__Dan mereka tidak lemah__ yakni mereka tidak pengecut “لما أصابهم في سبيل الله و ما ضعفوا”__lantaran musibah yang menimpa mereka di jalan Allah dan mereka tidak lesu– dari jihad karena pedihnya luka yang mereka dapatkan dalam perang serta terbunuhnya sejumlah kawan “فما استكانوا” __Mereka tidak menyerah__ Muqatil berkata:”Mereka tidak menyerah dan tidak tunduk kepada musuh mereka” As Sudi berkata: “Mereka tidak tunduk” Athaa` berkata: “Mereka tidak merendahkan diri” Abul `Aliyah berkata: “Mereka tidak pengecut (lemah hati) akan tetapi bersabar dalam menjalankan perintah Tuhan mereka, menta`ati Nabi mereka serta berjihad memerangi musuh mereka. “و الله يحبّ الصابرين” __Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
Demikian pula firman Allah Ta`ala:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Ummat di sini adalah para perintis ummat yang besar dan orang-orang pilihannya .. mereka adalah Tha`ifah Manshurah yang muncul untuk memikul tugas besar, yakni menunaikan kewajiban beramar ma`ruf dan nahi munkar. Keberadaan mereka adalah untuk mencegah yang munkar, maksudnya adalah mereka adalah kaum yang memiliki senjata dan kekuatan pemukul, serta memiliki kekuasaan dan kekuatan pelindung –meski tidak formal, dan mendapat pengakuan dari pihak orang-orang zhalim– yang memungkinkan mereka merubah kemunkaran, sebab termasuk di antara tuntutan-tuntutan untuk merubah kemunkaran adalah tersedianya kekuatan yang bisa mencegah ahli munkar dari kemunkaran mereka, beda halnya dengan amar ma`ruf atau mengajak kepada kebaikan, terkadang amalan ini tidak menuntut adanya kekuatan fisik.
Dalam hubungannya dengan masalah ini Sayyid Quthb rhm berkata: “Harus ada kekuasaan di bumi yang mengajak kepada kebaikan, memerintah yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Yang menetapkan bahwa harus ada kekuatan adalah kandungan nash qur`an. Di sana ada kata “Mengajak” kepada kebaikan, akan tetapi di sana ada pula kata “Memerintah” yang ma`ruf, dan ada pula kata “Mencegah” dari yang munkar. Jika mengajak kepada kebaikan itu bisa saja dikerjakan tanpa perlu menggunakan kekuasaan, maka sesungguhnya perintah dan larangan tersebut tak dapat dilaksanakan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan ..selesai. Jadi otoritas dan power (kekuasaan dan kekuatan)–sebagai telah dijelaskan di muka– adalah salah satu ciri sifat khusus dari Tha`ifah Manshurah generasi Al-Maidah 54 yang dijanjikan akan mendapatkan pertolongan Allah ketika umat Islam dalam keadaan lemah.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
Wallahul muwaffiq.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ