Khutbah Jum'at

Khutbah Jumat Edisi 142: “Ketulusan Nabi Ibrahim dalam Mengemban Amanah Ilahi”

Materi Khutbah Jumat Edisi 10 Dzulhijjah 1438 H ini dikeluarkan oleh

Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:

 

 

Ketulusan Nabi Ibrahim dalam Mengemban Amanah Ilahi

(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)

 

KHUTBAH PERTAMA

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

وَقَالَ النَّبِيُ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)

Jama’ah Jum’at  hamba Allah yang  dirahmati Allah SWT.

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.

MA’ASYIROL MUSLIMIN RAHIMANI WA RAHIMUKUMULLAH!!!

Pada tanggal 10 Dzulhijjah sebagai hari raya idul adha, adalah bukti sejarah akan buah sebuah pengorbanan tulus yang kemudian diabadikan dengan tinta emas. Pengorbanan seorang hamba Allah Ta’ala yang mulia, kekasih Allah, Ibrahim ‘alaihi salam.

Sungguh dalam diri Ibrahim terdapat suri teladan yang mulia bagi umat manusia sepanjang perguliran zaman. Baik dalam sisi pengorbanan di jalan Allah, ketulusan dalam mengemban amanah Ilahi, keteguhan hati menghadapi ujian dan cobaan serta keistiqamahan iman dalam rangka menegakkan pilar-pilar ubudiyah di atas muka bumi ini. Allah Ta’ala menandaskan hal ini dalam firmanNya, surah al-Mumtahanah ayat 4:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ   [الممتحنة/4]

Artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya[1]: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali.”

Ini dibuktikan dengan ketegaran beliau menghadapi jilatan api membara yang siap menghanguskan dan mencabik-cabik tubuhnya. Keteguhan hati menerima perintah meninggalkan anak dan istrinya di lembah tandus tak berpenghuni. Serta ketundukkan beliau melaksanakan perintah menyembelih buah hatinya, Ismail ‘alaihis salam. Sekali lagi, semua ini menunjukkan akan sikap ketulusan beliau dalam menjalankan dan menunaikan setiap amanah berupa perintah dan ujian dari Allah Yang Maha Kuasa.

Ma’asyiral Muslimin A’azzakumullah

MAKNA AMANAH

Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan[2]. Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi’in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]

DALIL YANG MENJELASKAN TENTANG KEWAJIBAN MENJAGA AMANAH

  1. Surat an Nisaa ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/338-339) berkata: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”. [Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan].[4]

Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada hari Kiamat kelak.[5]

  1. Surat al Ahzab ayat 72 :

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَاالْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata: “Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[6]

Ketulusan Nabi Ibrahim dalam mengemban amanah Ilahi

Ketulusan artinya kesungguhan dan kebersihan (hati) atau kejujuran. Maksudnya adalah kesungguhan, kebersihan hati dan kejujuran Nabi Ibrahim dalam mengemban amanah ilahi berupa perintah, larangan, dakwah tauhid, ibadah, titipan, dan kepercayaan. Dengan demikian ketulusan terkandung makna dari rangkaian kesungguhan, kebersihan hati, dan kejujuran. Karena tidaklah dinamakan tulus jika tidak sungguh-sungguh, tidak bersih hatinya, dan tidak jujur alias dusta.

Diantara ketulusan Nabi Ibrahim adalah:

Allah SWT berfirman:

Bagaimana kisah ketulusan Nabi Ibrahim yang saat itu diperintah menyembelih anaknya Ismail? Kisah ini menjadi tonggak disyari’atkannya ibadah qurban.

Kisahnya dijelaskan dalam ayat berikut:

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)

Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. (QS. Maryam: 42)

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114)

PELAJARAN DARI KISAH KETULUSAN NABI IBRÂHÎM ‘Alaihis Salam

Dari pemaparan kisah-kisah di atas, banyak pelajaran penting dan berharga yang dapat dipetik, di antaranya:

  1. Peristiwa penyembelihan Nabi Ismailadalah ujian Allah pada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, menunjukkan akan kecintaan Ibrahim pada Rabbnya. Allah menguji Ibrahim lewat anak yang benar-benar ia cintai, diperintahkan untuk disembelih. Akhirnya, Allah mengganti dengan domba yang besar sebagai tebusan. Ibrahim bukan menyembelih Isma’il, namun menyembelih seekor domba. Itulah balasan bagi orang yang berbuat ihsan. Itulah Nabi Ibrahim yang merupakan bagian dari orang beriman. Orang yang berbuat ihsan di sini yang dimaksud adalah orang yang berbuat ihsan dalam ibadah, yang mendahulukan ridha Allah daripada syahwat. Inilah bukti ketulusan beliau mengemban amanah titipan anak tercinta. Dikorbankan untuk dan karena Allah SWT.
  2. Nabi Ibrâhîm ‘Alaihis salam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala yang amat taat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai hamba yang sangat disayangi.
  3. Pilar utama upaya kebersihan dan kesucian hati adalah dalam hal tauhid membersihkan diri dan jiwa dari noda dan dosa syirik. Berdakwah menyeru kepada tauhid merupakan amanat yang dipikul para nabi, dan sekaligus menjadi panutan bagi setiap dai.
  4. Kesungguhan, Kesabaran dalam mendakwahkan tauhid dan ketabahan dalam menghadapi ujian di jalan Allah adalah bukti ketulusan Nabi Ibrahimmengemban amanah ilahi. Pantang pesimis, berkeluh kesah, apalagi menyerah dengan keadaan.
  5. Beriman dan yakin tanpa ragu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mengarungi kehidupan dan modal utama dalam mengemban amanah Ilahi.
  6. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hal terpenting di atas segalanya. Ketulusan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kebahagiaan. Maka selayaknya kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakannya diiringi doa memohon taufik serta kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  7. Tanda ketulusan dalam mengemban amanah dakwah adalah pada saat penolakan ayahnya terhadap dakwah, namun tidak menyurutkan semangat dan kesungguhan serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. adapun umat Nabi Muhammad disyariatkan larangan memohonkan ampunan bagi orang musyrik.
  8. Keteguhan hati menerima perintah meninggalkan anak dan istrinya di lembah tandus tak berpenghuni. Serta ketundukkan beliau melaksanakan perintah menyembelih buah hatinya, Ismail. Sekali lagi, semua ini menunjukkan akan sikap ketulusan beliau dalam menjalankan dan menunaikan setiap amanah.

Tanpa ketulusan yang berarti kesungguhan, kebersihan hati, dan kejujuran maka amanah apapun tidak akan bisa dipikul, dilaksanakan, diemban dengan penuh rasa tanggung jawab. Betapa banyak amanah yang dikhianati, diabaikan, dan disia-siakan tanpa merasa bertanggung jawab. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah ketulusan dan keikhlasan sehingga semua amanah bisa dipikul sebagaimana mestinya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

Wallahul muwaffiq.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

 

KHUTBAH KEDUA

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ.اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ

اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ.اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

[1] Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir (Lihat surat An Nisa ayat 48).

[2]Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.

[3]Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.

[4]Al Kaba-ir, karya adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.

[5]Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, karya Ibnul (691-751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.

[6]Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button