Khutbah Jumat Edisi 156: “Bahaya Indisipliner Dalam Perjuangan Islam”
Materi Khutbah Jumat Edisi 156 tanggal 19 Rabiul Awwal 1439 H ini dikeluarkan oleh
Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:
Bahaya Indisipliner Dalam Perjuangan Islam
(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
وَقَالَ النَّبِيُ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah SWT.
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
MA’ASYIROL MUSLIMIN RAHIMANI WA RAHIMUKUMULLAH!!!
Faudhiyyah (Asal-asalan atau tidak stabil)
Kata al-faudhiyyah berarti tidak adanya kestabilan atau kepastian dalam kehidupan seseorang, dia hidup dengan tidak teratur, tanpa disiplin, tidak didasari pemikiran yang dalam. Juga berarti pekerjaan tanpa konsep, pekerjaan asal-asalan hingga mudah mengarah kepada kegagalan, perpindahan terus-menerus, memulai pekerjaan tanpa konsep lalu pindah kepada pekerjaan lain sebelum menyelesaikan pekerjaan terdahulu yang masih menumpuk; juga berarti berpikiran kacau, tidak menentu, dan lemah dalam melaksanakan tugas.
Al-Faudhiyyah (ketidakdisiplinan) adalah sikap yang telah mewabah, tidak hanya dalam kehidupan mereka yang telah konsisten, tapi juga pada orang-orang selain mereka, hingga mudah bagi kita unutk mengetahui adanya sikap tersebut. Dan diantara beberapa gejala tersebut, yaitu:
- Sibuk dengan pekerjaan yang tidak bernilai yang tidak mendatangkan manfaat, mudharatnya(keburukannya) lebih besar daripada manfaatnya. Sebagian besar waktunya tersita untuk melakukan perkara yang tidak bermanfaat dengan meninggalkan banyak perkara yang lebih penting.
- Menyia-nyiakan waktu tanpa aktivitas. Orang yang indisipliner bagi mereka manajemen waktu tidak begitu penting. Membuang waktu adalah hal yang biasa bagi mereka.
- Tidak pandai mengatur pekerjaan, terkadang pekerjaan menumpuk sementara dirinya tidak mampu untuk melaksanakan semua pekerjaan itu dengan mudah pada waktu yang amat terbatas.
- Tidak memiliki program kerja dan perencanaan tertulis. Jika diantara kita tidak mempunyai perencanaan dan program tertulis untuk mencapai tujuan maka kegagalan akan datang menghampirinya, karena ia berjalan tanpa kesadaran atau tanpa program dan perencanaan.
Faudha (tidak disiplin) memiliki beberapa bentuk dan corak, antara lain:
- Tidak disiplin dalam menuntut ilmu.
Tahun demi tahun berlalu tanpa arti, dan berapa banyak daya dan potensi berhamburan dan menjadi sia-sia bagi seseorang yang tidak memiliki aturan dalam hidupnya, terutama dalam mencari ilmu pengetahuan.
Pesan Imam Asy-Syafi’i:
لن تنال العلم إلا بستة: ذكاء وحرص واجتهاد ودرهم وصحبة أستاذ وطول زمان
“Kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal: kecerdasan, rakus (ilmu), sungguh-sungguh, dirham (biaya), bergaul dengan ustadz dan butuh waktu lama.”
- Tidak Disiplin dalam menggunakan waktu.
Hasan Al-Bashri berkata,”Aku telah mendapati suatu kaum, dimana perhatian mereka kepada waktu lebih besar daripada perhatian kalian kepada uang.” Dalam penggunaan waktu haruslah mengetahui skala prioritas; mana perkara yang lebih penting dan lebih utama.
- Tidak disiplin dalam pergaulan.
Tidak disiplin dalam memilih teman pergaulan akan banyak mengganggu seseorang dlam menunaikan berbagai hal, yang terpenting diantaranya menghambat dirinya untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan[1] itu teman akrab(ku). (QS. Al-Furqon:28)
- Tidak disiplin dalam beribadah.
Tidak disiplin dalam beribadah seperti contohnya melakukan ibadah tidak kontinu, kadang beribadah kadang-kadang tidak melakukannya.
Hendaknya seorang muslim harus bersih diri dari sikap tidak disiplin dan hendakknya membangun kehidupannya diatas sikap kesungguhan dan keseriusan dan tidak membiarkan sikap tidak disiplin bersarang di seluruh sisi-sisi kehidupannya.
Watak Indisipliner
Ada beberapa orang yang tertarik pada pergerakkan Islam dalam situasi tertentu, atau karena sebab tertentu. Karena itu, dalam perjalanan kemudian, tak heran jika di antara mereka tak mampu beradaptasi dengan kebijakan pergerakan, serta tidak mampu mendengar dan taat kepadanya. Ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab:
- Di antara mereka ada yang tidak siap memikul beban-beban tugas struktural. Karena itu, ketika mendapatkan tugas, ia berusaha kabur dan melepaskan diri dari struktur dengan berbagai cara dan alasan.
- Di antara mereka ada yang enggan meleburkan diri dalam bangunan jama’ah, dan berkeinginan kuat menjaga kepribadiannya. Bila ia merasa ada sesuatu yang dapat menyebabkan kepribadiannya melebur, atau pendapatnya tidak diterima, maka ia berpaling dengan berlindung di balik tirai tebal dalih dan alasan.
Orang yang berwatak indisipliner ada yang disebabkan tidak memiliki kemampuan mengatur kehidupannya dan jama’ahnya. Ternyata ketidakmampuannya itu menjadi sebab ketidakberesan pada salah satu wilayah perjuangan Islam. Akibatnya, jika ia sudah memisahkan diri dari pergerakan Islam dan memimpin arus masyarakat, maka ia menyerukan sikap anti tanzhim (penataan) dalam perjuangan Islam. Ia tidak dapat membedakan hak-hak persaudaraan Islam dengan kewajiban-kewajiban keprajuritan dan tuntutan struktural. Karena itu, dengan berpayung ukhuwah, ia menganggap pengabaian kewajiban keprajuritan dan pembangkangan terhadap tuntutan struktural sebagai hal yang tidak dilarang.
Menurutnya, persaudaraan merupakan alasan yang memadai untuk membenarkan pelanggaran terhadap aturan kelembagaan. Karena itu, orang yang tidak menepati kesepakatan tidak bersalah, sebab ia saudara seaqidah. Tidak boleh diberi sanksi.
Logika semacam ini jelas tidak bisa diterima akal sehat, sebab tidak sesuai dengan syariat Islam. Pandangan semacam ini dapat mengakibatkan rusaknya nilai, kacaunya tolak ukur, pengingkaran terhadap adanya pahala dan siksa. Meluasnya kekacauan dan terjadinya kesemrawutan.
Cukuplah kiranya kita nukilkan satu ayat dari kitab Allah dan satu bukti dari sirah nabawiyah untuk menegaskan penolakkan Islam atas logika tersebut. Allah berfirman:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[2] yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22).
Sedangkan bukti dari sirah nabawiyah adalah sebagai berikut:
Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkhutbah dan menyampaikan,
أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Amma ba’du: Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman hadd. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 4304 dan Muslim no. 1688).
DISIPLIN, SYARAT SEMPURNANYA IMAN
Pada kenyataannya, tidak sedikit dari kaum muslimin yang sudah berkomitmen dan bergabung dalam Jamaah dakwah wal Jihad justru menyepelekan berbagai aktifitas dan kegiatan yang telah disepakati bersama dan diperintahkan oleh Amir hanya karena alasan yang dibuat-buat atau keperluan yang seharusnya bisa ditunda atau dilakukan di lain waktu. Atau merasa bahwa aktifitas itu tidak terlalu penting karena tidak berhubungan langsung dengan Jihad atau I’dad secara fisik. Mereka sama sekali tidak meminta izin atau memberitahukan ketidakhadiran mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Padahal Al Qur’an dan sunnah Rasulullah telah mengatur berbagai adab dalam kehidupan sehari-hari termasuk adab dalam amal jama’i.
Alloh SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan (kehadiran seluruh kaum muslimin tanpa kecuali), mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 62)
Dalam ayat di atas jelas sekali Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk meminta izin kepada Rasulullah SAW manakala mereka tidak bisa datang atau udzur tidak bisa memenuhi kewajiban menghadiri pertemuan dengan Rasulullah.
Pertemuan yang dimaksud di sini bukan hanya urusan jihad saja tetapi semua urusan yang memerlukan kehadiran kaum muslimin tanpa kecuali. Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir dan Imam Ath Thabari menjelaskan makna “sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan” bukan hanya peperangan, pertemuan atau musyawarah saja tetapi termasuk juga sholat Jum’at, Sholat Ied, bahkan sholat Jamaah lima waktu !!! (lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 6 hal 88, Tafsir Ath Thobari juz 19 hal 228)
Betapa pentingnya izin dari Rasulullah dan para pemimpin sepeninggal beliau Saw sehingga Allah menjadikan hal ini sebagai salah satu syarat kesempurnaan iman seseorang. Dan kalau tidak bisa datang berjamaah sholat lima waktu saja, seorang muslim harus izin terlebih dahulu, apalagi dalam urusan Jamaah yang merupakan bagian dari I’dad dan jihad ..!!!
Syaikh Abdurrahman As Sa’dy menjelaskan dalam tafsirnya:
“Ini merupakan nasehat dari Allah SWT kepada hamba-hamba Nya yang beriman manakala mereka diperintahkan untuk hadir dalam urusan yang memerlukan kehadiran mereka secara keseluruhan mengingat pentingnya masalah tersebut seperti urusan jihad, musyawarah dan sebagainya, yang mana keikutsertaan dan kehadiran mereka amat sangat diperlukan, maka seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan RasulNya tidak akan mangkir atau tidak ikut hadir karena alasan-alasan tertentu. Tidak pantas bagi mereka untuk pulang meninggalkan pertemuan itu tanpa izin dari Rasulullah SAW atau para pemimpin dan para amir yang ditunjuk oleh kaum muslimin sepeninggal beliau SAW.
Allah SWT juga menjadikan permintaan izin sebelum meninggalkan pertemuan atau tidak hadir dalam pertemuan tersebut sebagai salah satu di antara syarat sempurnanya iman seseorang serta memuji orang-orang yang senantiasa meminta izin kepada Rasulullah dan para pemimpin setelah beliau SAW.
“Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya”
Akan tetapi tidak semua permintaan izin bisa dipenuhi kecuali dengan dua syarat yaitu :
- Urusan yang dijadikan alasan untuk meminta izin haruslah benar-benar urusan yang penting dan tidak bisa diwakilkan atau dikerjakan orang lain sehingga ia dengan sangat terpaksa tidak hadir atau meninggalkan pertemuan lebih dahulu sebelum selesai.
- Pemberian izin kepada seseorang lebih mendatangkan mashlahah atau kebaikan bagi keseluruhan kaum muslimin dan tidak mendatangkan madharat atau bahaya.
Kemudian setelah izin diberikan, Rasulullah (dan para pemimpin sepeninggal beliau SAW) diperintahkan Allah untuk memintakan ampunan bagi orang yang meminta izin tadi, karena bisa jadi udzur atau keperluan yang dijadikan alasan meminta izin hanyalah alasan yang dibuat-buat atau keperluan yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman (yang artinya):
“Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Tafsir As Sa’dy juz I hal 576)
Namun sayangnya, dalam realita kehidupan berjamaah saat ini, kita banyak sekali menemukan kejadian yang bertolak belakang dengan ayat di atas. Banyak di antara kita yang tidak hadir mengikuti kajian, musyawarah atau kegiatan I’dad yang telah diperintahkan amir tanpa izin atau pemberitahuan sama sekali. Seolah-olah hal ini bukan merupakan maksiat kepada Allah dan amir. Bahkan lebih menyedihkan lagi ternyata tidak jarang yang mangkir dari pertemuan, kajian, i’dad atau kegiatan-kegiatan lainnya justru mereka yang diberi amanah sebagai amir, mas’ul (penanggung jawab) atau orang yang seharusnya memberikan contoh dan keteladanan. Padahal Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Jika salah seorang di antara kalian tidak bisa hadir dalam suatu majlis, atau akan meninggalkan majlis, maka hendaklah ia mengucapkan salam (meminta izin),dan tidaklah yang pertama kali datang lebih utama dari yang belakangan”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini Hasan)
“dan tidaklah yang pertama kali datang lebih utama dari yang belakangan” menunjukkan tidak adanya dispensasi atau pengecualian di antara mereka, baik yang datang lebih awal atau yang terakhir, yang tua atau yang muda, anggota atau pemimpin, semuanya sama saja. Dari sini dapat kita pahami bahwa yang wajib meminta izin atau memberitahukan ketidakhadiran atau udzur adalah pemimpin dan yang dipimpin.
SULITNYA MERUBAH POLA PIKIR
Kenyataan di atas mungkin tidak akan terjadi bila kita semua telah mampu merubah pola pikir yang telah tertanam selama puluhan tahun dalam diri kita bahwa menghadiri rapat, pertemuan atau kajian adalah sebuah rutinitas dan kegiatan sukarela, boleh ikut boleh tidak. Boleh datang kapan saja pulang kapan saja. Terlambat datang atau malah tidak datang sama sekali bukan suatu dosa dan maksiat kepada Allah dan amir. Dan bahwa Jamaah tidak jauh beda dengan organisasi, hanya sebagai pengisi waktu luang atau kegiatan sosial kemasyarakatan biasa yang hukumnya mubah.
Padahal sebenarnya jika seseorang telah terikat dengan sumpah setia atau mu’ahadah dalam suatu tandzim dakwah wal jihad maka semestinya telah tertanam dalam dirinya bahwa ia bukan lagi seorang muslim biasa sebagaimana kebanyakan orang. Seharusnya ia telah mulai menanamkan dalam diri dan keluarganya bahwa kehidupan mereka adalah kehidupan mujahid. Setiap langkah dan gerak-gerik mereka adalah gerak-gerik mujahid. Yang akan mendapatkan pahala jika dilakukan dengan ikhlas dan sesuai yang diperintahkan Allah dan RasulNya SAW dan akan berdosa jika menyelisihi keduanya.
Dalam bukunya, Al Umdah Fi I’dadil Uddah, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz menjelaskan:
“Seiring dengan benarnya niat, wajib bagi seorang muslim untuk mengetahui bahwa kesungguhan apapun yang ia lakukan dalam jihad, sedikit atau banyak adalah amal shalih yang mendapatkan pahala, Insya Allah. Baik ia mendapatkan pertolongan maksimal dan kemenangan ataupun tidak mendapatkannya. Allah SWT Berfirman (yang artinya):
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. At-Taubah: 120–121)
Oleh karenanya kita beribadah kepada Allah dengan I’dad dan Tadrib yang sempurna sebagaimana kita beribadah kepada Allah dengan Jihad, shalat dan puasa…. “ (terjemah Al Umdah fi I’dadil Uddah : Syam Publishing Cetakan I Rajab 1430 hal 29–30)
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
Wallahul muwaffiq.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ.اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ.اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1]Yang dimaksud dengan si Fulan, ialah syaitan atau orang yang telah menyesatkannya di dunia.
[2]Yang dimaksud dengan pertolongan ialah kemauan bathin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain lain.