Khutbah Jum’at Edisi 293 | ANTARA KEKUASAAN DAN KESEWENANG-WENANGAN
(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah)
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu allaihi Wasallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…
Isi Al-Qur’an sarat dengan hikmah, nasihat dan pelajaran yang tak lekang ditimpa panas tak lapuk disiram hujan. Sentuhan-sentuhannya selalu aktual. Tidak ada satu kalimat pun dafam kitab Allah ini yang sia-sia. Melainkan pada tiap katanya terkandung hikmah bagi kehidupan manusia.
“Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia mengganti agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi,” (QS. Al-Mukmin 40 : 26).
Salah satu fenomena yang banyak diungkap Al-Qur’an adalah kisah Fir’aun. Bila Al-Qur’an banyak menyebut-nyebut Fir’aun dan kedurjanaannya, tentu ada pesan penting di dalamnya yang harus kita tangkap. Salah satu pesan tersebut adalah, kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala cenderung mendorong ‘pemiliknya’ bertindak sewenang-wenang dan zholim.
Nama Fir’aun selalu menjadi bahan cerita yang menarik dari dahulu hingga kini.
Penggambaran Al-Qur’an tentang Fir’aun amat menarik karena ketika Al-Qur’an menceritakan sosok tiran yang hidup beribu tahun silam itu, seolah-olah ia berbicara tentang sosok manusia yang kini tengah diuji Allah melalui kekuasaan dan jabatan. Di dalamnya tergambar sistem dan karakteristik pemerintahan ‘thogutis’ dengan segala sepak terjangnya.
Dalam ayat di atas (QS. Al-Mukmin 40 : 26), Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan kecongkakan Fir’aun, penguasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, yang tak rela kalau keadilan hakiki mendapat angin untuk hidup. la amat cemas kalau rakyatnya memberikan loyalitas (wala) kepada selain dirinya.
Karena itu ia berjuang dengan gigih untuk menumpas apa yang dianggapnya merupakan ancaman dan tindakan subversif bagi kelestarian kekuasaannya, sekaligus dengan orang yang membawanya. Namun Fir’aun pun bukan manusia bodoh. Dengan rekayasa yang canggih ia tak mau ‘ketahuan belang’ oleh rakyatnya dan para pembesar kerajaan yang menjadi pijakan kekuasaan nya. Ia tetap ingin dipandang sebagai orang baik-baik oleh mereka.
Orang yang selalu memperhatikan kepentingan mereka. Oleh karena itu ia tetap berlagak memihak kepada rakyat dan membela kepentingan mereka. Niat jahatnya untuk menghabisi Nabi Musa as dan mengakhiri misi tauhid yang diembannya, ia kemas dengan label ‘pembelaan terhadap agama rakyat serta upaya menciptakan suasana kehidupan yang penuh kedamaian’. Apa akibatnya?
“Sesungguhnya Aku khawatir dia (Musa) mengganti agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi!”. Terlihat jelas betapa ia juga sangat lihai memutarbalikkan fakta dan memanipulir kenyataan.
Nabi Musa as yang membawa bukti nyata bahwa dirinya adalah utusan yang akan menegakkan keadilan dan kebenaran hakiki, dicapnya sebagai orang yang akan menimbulkan kerusuhan, kekacauan serta kerusakan di negerinya. “Tokoh subversif dan Pemberontak”. Sementara dirinya, yang telah menghabisi sekian banyak nyawa yang tak berdosa dan memperbudak serta memeras rakyatnya demi kantong pribadi, selalu menempatkan diri sebagai orang baik-baik.
Padahal Al-Qur’an dengan gamblang merinci berbagai dosa dan tindakan perusakan yang telah diperbuatnya. Beberapa kebejatan Fir’aun yang Al-Qur’an sebutkan:
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi’ dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka; menyembelih anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang yangberbuat kerusakan,” (QS: Al-Qashash 28: 4).
Atau ketika Fir’aun mengungkit-ungkit jasanya di hadapan Nabi Musa as, Nabi Allah ini menjawab, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memper budak Bani Israil” (QS. Asy-Syu’ara 26: 22).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa pejuang-pejuang kebatilan akan selalu tampil dengan propaganda `pembangunan negeri, penegak keadilan dan kesejahteraan’ serta serenceng gelar dan sebutan lain yang sebenamya bertolak belakang dengan aktifitasnya. Sesungguhnya kebodohan dan ketakutan rakyat dimanfaatkannya untuk kepentingan pelestarian kekuasaannya. Dan dari kisah di atas, ssbelum datangnya Musa as, sebagian besar rakyat Bani Israil memang dalam genggaman kekuasaan Fir’aun dan antek-anteknya.
Pionir Pembangkangan
Dalam sejarah perjuangan Al-Haq tercatat bahwa yang selalu menjadi pionir pembangkangan terhadap kebenaran adalah para penguasa dan orang-orang ‘gede’, kecuali mereka yang mendapat kasih sayang Allah. Hal ini amat logis. karena kelompok manusia seperti ini telah membangun tempat jatuhnya sendiri. Semakin ia pertinggi semakin besar pula ketakutannya untuk terjatuh. Oleh karena itu mereka amat peka dengan apa-apa yang dianggapnya merongrong kekuasaannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan Kami tidak mengutus kepada satu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. Saba 34: 34).
Firman-Nya pula: “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari antara kaumnya (kaum Tsamud) berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman diantara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus oleh Rabb-nya? “Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya” • “Orang-orang yang menyombongkan diri itu berkata: “Sesungguhnya Kami adalah orang yang tidak percaya terhadap apa yang kamu imani itu” (QS. Al-A’raf: 75-76).
Firman-Nya pula: “Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami) kendatipun kami tidak menyukainya? (QS. Al-A’raf : 88).
Masih banyak lagi ayat-ayat senada, yang menginformasikan kita bahwa kekuasaan, kemewahan dan wibawa yang diraih : seorang dapat menjadi debu-debu yang menodai fitrah. Bahkan fidak mustahil menutupnya sama sekali. Sehubungan dengan ini Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam bersabda:
“Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan menimpa kalian, jika Allah membukakan kemewahan dan hiasan dunia bagi kalian,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan segala kekuasaan, kekayaan dan fasilitas hidup lainnya mereka menjadi pionir-pionir terdepan yang menentang Al-Haq dan orang-orang yang membawanya. Dari sudut pandang hawa nafsu, hal ini wajar karena setiap kegiatan yang akan memisahkan mereka dari kesenangan, yang sebenarnya semu, selalu dianggap sebagai ancaman terbesar.
Pemilik Hakiki
Namun Islam pun tidak melarang umatnya menjadi kaya raya. Tidak juga melarang umatnya menduduki sebuah jabatan. itu semua diperlukan oleh umat Islam. Akan tetapi dengan catatan, kita harus menyadari bahwa segala yang ada pada kita baik berupa harta, jabatan, kekuasaan dan lain sebagainya hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepada manusia.
Ketika Dia berkehendak mengambil semua titipan-Nya dari kita, tak seorangpun dapat menghalang-halangi. Seorang raja yang dielu-elukan rakyatnya tidak mustahil suatu saat menjadi gembel yang diinjak-injak orang. Orang yang kaya raya hingga bingung dimana ia harus menyimpan uang, bisa jadi kuatir saat menjadi pengemis. Demikian pula sebaliknya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Katakanlah: “Wahai Rabb pemilik segala kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS. Ali Imron : 26).
Prinsip ini amat penting disadari oleh setiap insan agar ia tidak menjadi sombong dan bersikap melampaui batas dengan apa-apa yang ada pada dirinya. Manakala seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang berada dalam genggamannya adalah miliknya, ia akan bertingkah sewenang-wenang.
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup,” (QS. Al-‘Alaq :6-7).
Oleh karena itu, sistem khilafah dalam Islam berpijak pada prinsip-prinsip berikut:
– Bahwas sang khalifah bukanlah pemilik dan penguasa yang hakiki.
– Khalifah harus bertindak sesuai dengan instruksi dari penguasa mutlak (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
– Khalifah tidak boleh melanggar garis ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Khalifah berkewajiban memberlakukan segala hukum Allah dalam masyarakat yang dipimpinnya serta bagi diri dan keluarganya. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, seorang khalifah bukanlah penguasa mutlak yang boleh bertindak sekehendak nafsunya: la terikat dengan aturan-aturan yang digariskan oleh pemilik mutlak yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian hak-hak setiap orang akan tetap terpelihara tanpa dizholimi.
Umar dan Kekuasaan
Bagi Umar bin khattab ra, kekuasaan bukanlah kehormatan, melainkan beban tanggung jawab yang harus, ditunaikan dengan baik. Dia tidak pernah berangan memegang imaroh (kekuasaan) dan tidak pernah memintanya, kecuali pada satu kesempatan.
Yaitu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda pada perang Khaibar: “Aku akan serahkan bendera ini kepada orang yang mencintai Allah dan RasulNya. Melalui kedua tangannyalah Allah berikan kemenangan”. Umar berkata: “Aku tidak pernah menginginkan kepemimpinan selain hari itu. Maka aku melompat-lompat dengan harapan aku dipanggil untuk diserahi bendera itu”. Ternyata yang ditunjuk oleh Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib. (HR Muslim).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.