Khutbah Jumat Edisi 362 | Meneladani Kepemimpinan Rasulullah, Sang Pemimpin Sejati
Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…
Bulan Rabiul Awal adalah bulan kelahiran sosok yang dicintai oleh umat Islam di seluruh dunia, Nabi Muhammad ﷺ. Sebagai salah satu bentuk kecintaan kita kepada Nabi ﷺ adalah dengan meniru dan meneladani sikap dan sifatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan dalam Al Qur’an telah diterangkan secara jelas bahwa beliau adalah teladan hidup yang sebenarnya.
Penjelasan itu ada di dalam QS Al Ahzab ayat 21:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.
Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Saatnya untuk lebih kencang lagi menyerukan pentingnya restorasi kepemimpinan Indonesia. khususnya umat Islam saat ini memiliki keprihatinan mendalam atas krisis kepemimpinan di Indonesia belakangan ini.
Merujuk pada masalah ribuan warga terancam digusur gara-gara kebijakan pemerintah atas Proyek Strategis Nasional atau PSN Rempang Eco-City yang dicanangkan pemerintah itu.
Pada Kamis, 7 September lalu, masyarakat bentrok dengan aparat demi mempertahankan lahan mereka. Belum lagi berbagai kasus hukum para pejabat publik, pelanggaran moral dan etika serta praktik koruptif para pemimpin di berbagai tingkatan.
Khotib mengingatkan pentingnya kepemimpinan yang amanah, kompeten dan menjunjung tinggi integritas, telah nampak indikator kekecewaan publik akibat perilaku dan kinerja pemimpin seharusnya tak perlu terjadi ketika masyarakat dan berbagai lembaga memiliki kriteria kepemimpinan yang tepat. Kriteria kepemimpinan semacam itu dapat digunakan dalam mempersiapkan maupun memilih kandidat pemimpin.
Pertanggung Jawaban Setiap Pemimpin
Sebagai manifestasi dari pertanggung-jawaban seorang manusia hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala., nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam. pernah memberikan pernyataan yang menggambarkan bahwa seluruh manusia itu hakekatnya adalah sebagai pemimpin.
Pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya tersebut, baik dilevel yang paling tinggi maupun pada level yang terendah.
Lantas dalam penegertiannya yang lebih spesifik, pemimpin tentu dipahami sebagai sosok manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap manusia lain untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam pengertiannya yang seperti ini tentu prilaku, sikap, dan tangung jawab seorang pemimpin harus dibedakan dengan manusia pada umumnya. Karenanya pemimpin yang seperti ini diharuskan mempunyai beberapa syarat. Dan tidak semua orang bisa “menjadi” pemimpin.
Pemimpin dalam arti khusus ini mencakup sekup yang sempit maupun yang sangat luas; dari kepemimpinan ditingkat RT sampai tingkat Negara.
BELAJAR DARI KEPEMIMPINAN NABI MUHAMMAD
Sebagaimana kita pahami dalam sejarah, bahwa Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia.
Karena kebenaran datang dari Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja atau pemerintah. Secara empirik kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Allah melalui sistem musyawarah.
Kehadiran nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan (akhlaq hasanah). Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, nabi terus berjuang merombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid: 9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43).
Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal.
Dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah, adalah masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun dengan Tuhan.
Kasih sayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang beraneka ragam agama, suku, dan sebagainya.
Ada sebuah ayat Al-Qur’an yang cukup menggambarkan bagaimana karakter kepemimpinan Rasulullah sebagai penyampai risalah sekaligus pemimpin. Ayat tersebut berbunyi:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah: 128).
Ayat ini setidaknya mengungkap empat hal. Pertama, Allah menurunkan risalah kepada umat manusia melalui sosok mulia yang juga manusia, bukan jin ataupun malaikat yang sukar dijangkau. Hal ini mengandung hikmah untuk memudahkan umat manusia dalam meneladani sosoknya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam adalah figur yang sangat dekat dengan umatnya, memahami dan sanggup berkomunikasi (berbahasa) secara baik dengan sasaran dakwahnya.
Sebagaimana manusia lainnya, Rasulullah merasakan apa yang dirasakan makhluk fisik pada umumnya: lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, kedinginan, dan lain sebagainya. Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar biasa tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, keberanian, kejujuran, kedermawanan, dan sifat-sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata. Rasulullah tampil dalam wujud yang manusiawi, tapi sekaligus sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, Rasulullah memiliki empati yang amat tinggi terhadap penderitaan umatnya. Beliau memberi teladan kepemimpinan yang tidak memberatkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengaitkan kalimat ‘azîzun ‘alahi mâ ‘anittum dengan dua hadits: بُعِثْتُ بِاْلحَنِيْفِيَّة السَّمْحَة
“Aku (Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam) diutus untuk membawa agama yang lurus dan toleran.”
إِنَّ هَذَا الدِّيْنَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah kemudahan.”
Dengan bahasa lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang menyulitkan umatnya, bahkan untuk urusan ibadah sekalipun. Sebagai contoh, tentang shalat tahajud yang Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid.
Begitu tahu sahabat-sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya, Rasulullah beberapa hari kemudian tak pergi ke masjid. Alasan beliau, tak ingin memberi kesan bahwa shalat tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di kemudian hari.
Rasulullah juga pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu panjang saat memimpin shalat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam harus mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang yang mempunyai keperluan.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullâh,
Ketiga, Nabi juga merupakan sosok yang sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi umatnya. Ibnu Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum menghubungkannya dengan hidayah dan kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Beliau mendorong adanya proses kesadaran ilahiyah dalam setiap embusan nafas manusia, juga tersingkirnya mudarat atau kerugian bukan hanya secara duniawi tapi juga ukhrawi.
Keempat, ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi rahîm (penyayang) kepada umatnya. Kita tahu bahwa dua sifat itu adalah bagian dari 99 asmaul husna. Ini sekaligus menunjukkan keistimewaan derajat Nabi Muhammad.
Dua nama indah Allah dilekatkan pada diri beliau. Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud dalam karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar menghadapi masyarakat.
Beliau juga gemar memaafkan dan memohonkan ampun ketika umatnya yang berlaku salah, bersedia bermusyawarah, dan bertawakal kala tekad sudah bulat. Seperti yang dituturkan Al-Qur’an:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS Ali Imran: 159).
Demikianlah karakter Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam yang kita yakini sebagai teladan paling ideal bagi umat manusia. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh ayat suci bahwa di dalam diri Rasulullah ada contoh yang baik (al-Ahzab: 22).
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ. وَالّلَيْلِ اِذَا يَسْر.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.