Khutbah Jumat Edisi 395 | Hikmah dari Perjanjian Hudaibiyah
Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…
Pada tahun 628 M atau tahun 6 H, sekitar 1400 kaum Muslim yang dipimpin Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Mengetahui kehadiran kaum Muslimin di Mekkah ini, orang-orang Quraisy bersiaga penuh. Melihat situasi yang tidak kondusif, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam mencoba menempuh jalur diplomasi dan bukan jalur militer atau perang untuk menghindari pertumpahan darah.
Bagaimanapun Mekkah adalah tempat suci yang harus dijaga kesuciannya. Jalur diplomasi tersebut adalah kesepakatan damai yang tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu antara lain berisi bahwa kedua belah pihak sepakat untuk berdamai selama 10 tahun. Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dan baru pada tahun berikutnya boleh kembali ke Mekah untuk berhaji.
Perjanjian Hudaibiyah yang lahiriahnya tampak merugikan pihak kaum muslimin, akhirnya terbukti menjadi pintu kemenangan yang besar. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini. Dan memang, Nabi menerima ketentuan dari Suhail utusan dari kafir Quraisy karena di dalamnya terdapat upaya-upaya pengagungan “hurumatillah”, dengan terjaganya darah.
Apalagi beliau telah menegaskan: “Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka memintaku satu perkara yang mereka agungkan padanya kehormatan (hurumat) Allah melainkan aku berikan kepada mereka.”
Akhirnya, berlakulah perjanjian besar tersebut yang Allah Subhanahwata’ala namakan sebagai Al-Fath (kemenangan).
Kaum muslimin sendiri tidak suka dengan perjanjian tersebut ketika mengira dalam butir-butir perjanjian itu terkandung penghinaan terhadap kaum muslimin. Mereka tidak melihat adanya kemaslahatan besar di balik perjanjian itu.
Perjanjian tersebut kemudian justru menjadi satu kemenangan, karena adanya kemaslahatan seperti keleluasaan bagi kaum muslimin untuk mendakwahkan Islam ke seluruh kabilah Arab. Bahkan kemenangan paling besar yang dengan sebab inilah semakin tersebarnya ajaran Islam. Dakwah berjalan tanpa gangguan, manusia pun mulai masuk Islam secara berbondong-bondong.
Hadirin rahimakumulloh,
Padahal sebelumnya, kaum muslimin tidak mampu berdakwah di luar daerah yang penduduknya telah masuk Islam seperti kota Madinah dan sekitarnya. Sementara orang-orang yang masuk Islam dari penduduk Makkah dan wilayah musyrikin lainnya, selalu diintimidasi.
Oleh karena itu pula, mereka yang masuk Islam, berjihad dan berinfaq sebelum Al-Fath lebih besar pahalanya dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka yang masuk Islam, berjihad, dan berinfaq sesudah perjanjian Hudaibiyah.
Namun bagaimanapun juga, mereka semua dijanjikan surga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hadid: 10).
Ayat ini menegaskan betapa mulia kedudukan para sahabat di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala persaksikan keimanan mereka dan menjanjikan surga bagi mereka. (Tafsir As-Sa’di hal. 839).
Sebuah keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh orang-orang yang datang sesudah mereka, sehebat apapun amalan mereka. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menegaskan kemuliaan tersebut:
“Janganlah kalian mencaci-maki para sahabat. Janganlah kalian mencaci-maki para sahabat. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak mencapai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula separuhnya,”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang para sahabat yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah:
“Tidak akan masuk neraka satu pun yang berbai’at di bawah pohon ini (Hudaibiyah).” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan bahwa Dia ridha kepada mereka, mengetahui isi hati mereka serta memberikan kemenangan buat mereka.
Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
Sesungguhnya yang paling pantas diperhatikan seorang muslim adalah amal yang berkesinambungan dengan mengikuti atsar-atsar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya, semampunya. Allah Subhanahwata’ala berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
Ayat ini sebagaimana kata Ibnu Katsir, merupakan dasar yang kokoh dalam berteladan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan, perbuatan, dan keadaannya. Dan teladan ini hanya dijalani serta diberi taufiq untuk mengikutinya oleh orang-orang yang mengharapkan Allah dan hari kemudian.
Sehingga orang yang beriman, takut kepada Allah serta yang mengharap pahala-Nya, tentu semua ini akan mendorongnya untuk meneladani Rasulullah. Dan kemuliaan seorang mukmin diukur dngan sikap ittiba’-nya: semakin teguh dia berpegang dan mengamalkan As-Sunnah, semakin berhak dia memperoleh kedudukan mulia (di sisi Allah).
Sebagaimana dimaklumi, perikehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya adalah teladan yang baik. Baik dalam keadaan safar, bermukim, berperang, damai, dan sebagainya.
Dan di dalam kisah Hudaibiyah, kita dapat memetik sejumlah pelajaran dan hikmah yang agung. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah memaparkan sebagian faedah atau pelajaran dari hikmah tersebut dalam kitabnya Zadul Ma’ad (3/303), di antaranya:
Orang-orang musyrik, orang-orang yang jahat, pemberontak, dan orang-orang dzalim, apabila menuntut suatu perkara yang di dalamnya kehormatan Allah diagungkan, maka tuntutan tersebut harus dipenuhi bahkan didukung, meskipun mereka menolak yang lain.Jadi mereka dibantu untuk mengagungkan kehormatan Allah, bukan kekafiran dan kejahatan mereka, siapapun adanya.
Inilah yang membuat gusar para sahabat kecuali Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Dan ini sekaligus menampakkan keutamaan beliau, seolah-olah hati beliau bertumpu di atas hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab kegusaran Umar radhiyallahu anhu dengan jawaban yang sama dengan jawaban yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar radhiyallahu anhu padahal beliau tidak ada di tempat ketika itu. Bolehnya imam atau pemimpin mendahului meminta damai dengan musuh bila hal itu mengandung maslahat bagi kaum muslimin.
Hadirin rahimakumulloh,
Ketika tidak lama berlaku perjanjian damai hudaibiyah cahaya Islam kian gemilang, pengikut Rasulullah semakin banyak, dan proses hijrah Nabi ke Madinah kian mematangkan kekuatan kaum Muslimin, masyarakat Quraisy ketar-ketir masa depan mereka bakal terancam.
Puncaknya terjadi pada tahun 630 hijriah, sejak Perjanjian Hudaibiyah dilanggar kaum musyrikin Quraisy. Karena dirusak, bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Quraisy adalah membunuh salah satu tokoh muslim yang berasal dari suku Khuzaah.
Dalam melancarkan aksinya, kaum Quraisy dibantu oleh suku Bakr untuk melakukan penyergapan terhadap suku Khuza’ah. perjanjian hudaibiyah yang berisi kesepakatan untuk gencatan senjata pun secara otomatis mengizinkan kaum muslimin mengadakan pembelaan lantaran mereka didzalimi.
Suasana Makkah begitu mencekam tatkala sepuluh ribu pasukan muslim dari Madinah tampak berjalan menuju Makkah. Kekuatan ini hampir mustahil ditandingi kaum musyrikin Quraisy yang kian meredup. Abu Sufyan, dedengkot kafir Quraisy, adalah orang yang paling tercabik-cabik jiwanya.
Jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan nyawanya pun seolah tak lagi berarti melihat kenyataan ia bakal dibinasakan oleh orang-orang yang selama ini dia aniaya. Benar. Rasulullah bersama sepuluh ribu pasukan, memasuki Makkah. Namun apa yang terjadi?
Jamaah shalat Jumat yang Berbahagia,
Betapa indah sikap Rasulullah beserta para pengikutnya kala pertama masuk kota Makkah, pembantaian yang dikhawatirkan kaum musyrikin Quraisy sama sekali tidak terjadi. Tak ada satu pun darah menetes. Patung-patung berhala di sekitar Ka’bah dihancurkan atas inisiatif masyarakat sendiri.
Lebih indah lagi ketika Rasulullah di hadapan khalayak berpidato: Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi. Subhanallah.
Hati Abu Sufyan menjerit menyaksikan keagungan akhlak Nabi Muhammad, musuh bebuyutannya. Ternyata orang yang paling dibenci selama ini adalah sosok paling memahami suasana batinnya yang sedang diselimuti ketakutan. Pidato Nabi tidak hanya membuatnya merasa aman tapi juga kembali terangkat derajatnya karena merasa ‘disejajarkan’ dengan Masjidil Haram.
Abu Sufyan pun masuk Islam, disusul anggota keluarganya dan para pengikutnya yang lain. Bahkan, putranya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang pencatat wahyu.
Peristiwa ini disebut dalam sejarah sebagai Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah). Kekuatan politik yang mapan sama sekali tak menjadikan Rasulullah bertindak semena-mena. Padahal, bila mau, dengan kekuatan militer yang ada, Rasulullah bisa membinasakan mereka dalam waktu singkat.
Akan tetapi, Rasulullah sama sekali bukan pendendam. Justru dengan kenyataan inilah orang melihat keluhuran Islam sebagai agama yang beradab, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, selaras dengan misi Nabi Muhammad diutus, yakni sebagai penebar cinta bagi seluruh alam atau rahmatan lil alamin.
Perjanjian Hudaibiyah ini merupakan pendahuluan dari sebuah kemenangan yang lebih besar lagi. Di mana Allah memuliakan melalui kemenangan ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentara-Nya. Demikianlah kebiasaan Allah dalam setiap persoalan besar, yang Allah tetapkan secara syar’i maupun takdiri; Dia berikan pengantar dan pendahuluan yang menunjukkan perkara tersebut.
Perjanjian damai ini termasuk kemenangan terbesar. Karena adanya jaminan keamanan kedua belah pihak. Kaum muslimin bergaul dengan orang-orang kafir, serta memperdengarkan Al-Qur`an kepada mereka. Akhirnya teranglah apa-apa yang kabur tentang Islam, berimanlah orang-orang yang Allah kehendaki untuk beriman. Karena itu pula, Allah menamakannya “kemenangan yang nyata.”
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ. وَالّلَيْلِ اِذَا يَسْر.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Download File PDF: