JAKARTA (ansharusyariah.com)- Muatan kontroversial yang menodai niat baik Permendikbudristek Nomor 30 2021 Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban, dan lambannya penanganan kasus di PT merupakan sebagian alasan penting Kemendikbudristek menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (PT), yang diundangkan 3 September 2021.
Kemendikbudristek sebenarnya memiliki niat baik sebagaimana tercantum dalam konsideran permendikbudristek itu, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual.
Pada konsideran berikutnya, Kemendikbudristek menyadari meningkatnya kekerasan seksual di ranah komunitas termasuk PT, langsung atau tak langsung berdampak kurang optimalnya Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi.
Sayangnya, substansi yang baik permendikbudristek dicederai materi muatan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) memuat frasa “tanpa persetujuan korban”.
Misalnya, kalimat memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Lalu, ada kalimat mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto, dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Berikutnya, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui korban.
Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Muatan materi di atas, memicu kritik dan penolakan karena dianggap kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent).
Atas dasar itulah banyak tokoh bangsa dan ormas islam mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 karena membahayakan dunia pendidikan di Indonesia.
Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat Indonesia yang peduli dengan kemaslahatan kebaikan generasi negeri ini mendesak pemerintah melakukan revisi dan uji materi muatan di atas pada Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, untuk dicabut dan dibatalkan.
Adapun alasan mendasar untuk menolak Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 adalah sebagai berikut:
Materi muatan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) memuat frasa “tanpa persetujuan korban”. Materi tersebut kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent).
Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, seakan melegalisasi seks bebas dengan dalih mau sama mau atau suka sama suka dengan persetujuan dari masing-masing pihak. Ini sangat berbahaya karena standar perilaku demikian bukan berdasarkan nilai luhur bangsa kita.
Materi muatan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 oleh berbagai kalangan dinilai lebih bernuansa pemikiran liberal dan hedonis. Tentu, ini bertentangan dengan nilai Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.
Menolak Permendiburistek karena berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan LGBT yang bertentangan dengan nilai Pancasila.
Muatan itu juga bertentangan dengan hakikat pendidikan.
Dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Tim penyusun permendikbudristek kurang memperhatikan amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur UU.
Kedepannya, seyogianya, dalam penyusunan peraturan menteri, diundang ahli hukum, alim ulama, ahli pendidikan, tokoh agama, dan ahli lainnya. Sebab mau tidak mau, semua ini adalah urusan moral bangsa yang harus mendapat perhatian khusus semua stakeholder khususnya umat Islam sebagai mayoritas.
Pelibatan ulama dalam membenahi regulasi pendidikan terkhusus yang menyangkut soal akhlak menjadi wajib karena akhlak menempati posisi sangat penting dalam Islam. Sehingga semua aspek dari ajaran agama ini selalu beorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia.
Selain itu, adakan diskusi terbuka secara intens dengan berbagai kalangan untuk menampung aspirasi dalam pembentukan peraturan.
Publik sepakat, permendikbudristek di atas penting untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Namun, muatannya harus berlandaskan nilai agama dan budaya luhur bangsa sehingga peraturan yang diterbitkan mengakselerasi kebijakan pendidikan berkualitas, menjaga moral bangsa, dan mendukung tercapainya tujuan nasioanal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam aspek spiritual dan material.