Juru bicara Jamaah Ansharu Syariah, Ustadz Abdul Rochim Ba’asyir mengatakan, isu radikalisme hanyalah kedok bagi para pembenci Islam. Menurutnya, isu tersebut sengaja digulirkan untuk menjauhkan generasi muda Islam dari pemahaman Dienul Islam yang sesungguhnya.
Ustadz Abdul Rochim menjelaskan, gelombang generasi Islam di Indonesia sedang menjadi fenomena tersendiri. Semangat umat Islam untuk kembali mempelajari agamanya sedang tumbuh dalam sanubari kaum muslimin Indonesia.
“Semangat untuk menghafalkan Al-Qur’an mulai tumbuh sehingga pesantren-pesantren tahfizh kian semarak. Ini pertanda baik, karena ketika masyarakat sudah bersentuhan dengan Al-Qur’an maka pasti akan membawa kebaikan.
Karena Al-Qur’an itu selalu akan membawa kebaikan bagi orang yang mendekatinya. Ketika Al-Qur’an turun pada suatu malam maka malam itu menjadi malam terbaik, yaitu Lailatul Qadr. Ketika Al-Qur’an turun dalam suatu bulan maka bulan itu menjadi bulan terbaik, yaitu bulan Ramadhan. Ketika dia turun kepada seorang manusia maka manusia itu menjadi manusia yang terbaik, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Begitulah Al-Qur’an.
Maka ketika ia menyentuh umat ini maka jadilah umat ini sebagai umat terbaik. Maka Allah katakan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)” papar pria yang akrab disapa Ustadz Iim ini.
Fenomena tersebut, kata dia sangat dibenci oleh kelompok-kelompok anti-Islam. Oleh sebab itu, mereka terus berupaya menjauhkan masyarakat dari Al-Qur’an dengan cara mencitraburukkan orang-orang yang ingin kembali kepada Dienul Islam, salah satunya dengan radikalisme. “Orang-orang yang mempelajari Islam secara benar akan dikatakan orang radikal dan berpotensi untuk menjadi teroris. Mereka membuat klasifikasi sendiri soal radikalisme,” katanya.
Padahal, lanjutnya, radikal menurut definisinya adalah sebuah kata yang positif. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, esensial, dan menyeluruh. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.
“Jadi memahami Islam pun harus secara radikal. Bahkan seharusnya penganut agama lain pun demikian, meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar. Demikian juga bagi umat Islam, harus meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Bagaimana mungkin seseorang itu menganut agama namun ia tidak meyakininya kebenarannya?” jelasnya.
“Oleh karena itu, isu radikalisme ini sebenarnya hanyalah kedoknya para pembenci Islam untuk menghancurkan keyakinan umat Islam,” sambungnya.
Ia kemudian mengutip surat Al-Baqarah ayat 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Ia juga mengutip surat Al-Maidah ayat 82, yang artinya:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”
Jadi stigmatisasi buruk tersebut memang sengaja dilancarkan oleh orang-orang kafir dan musyrik yang membenci agama.
“Orang-orang atheis komunis dan sekuler inilah yang melemparkan tudingan-tudingan tersebut kepada umat Islam yang memperdalam keyakinannya. Mereka mencari-cari istilah untuk menyerang umat Islam,” tegasnya.
Lebih jauh Ustadz Iim menjelaskan, saat ini Indonesia sedang dalam dominasi negara komunis Cina. Hal itu menurutnya berkaitan erat dengan proses sekularisasi di Indonesia.
Dikatakan Ustadz Iim, isu radikalisme yang diarahkan kepada umat Islam itu sarat akan kepentingan. Umat Islam Indonesia dikenal dengan perlawanannya yang kuat terhadap segala bentuk penjajahan. Dan kemerdekaannegeri ini tak lepas dari peran central ulama dan umat Islam.
“Sebelum mereka masuk Indonesia ini untuk menjajah, mereka harus menjadikan umat Islam lemah karena kalau tidak nanti mereka akan mendapatkan perlawanan gigih dari kaum muslimin,” ujarnya.
Oleh karena itu, orang-orang yang turut serta mencitraburukkan umat Islam dengan stigma teroris atau radikalis adalah para pembantu penjajah.
“Fakta sejarah kita membuktikan bahwa negara ini merdeka dengan keyakinan akidan Laa ilaaha Illallah muhammadur rasulullah, kemudian semangatnya dibakar dengan ucapan takbir. Akhirnya setelah 350 tahun para penjajah itu bercokol di negeri ini, mereka pun hengkang,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, pencitraburukan umat Islam dengan istilah radikalis, teroris atau ekstrimis pun dilakukan oleh para penjajah dahulu kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat).
Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda).
Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia.
“Sejarah itu seperti terulang hari ini,” tegasnya.
Ustadz Iim pun menasehatkan kepada umat Islam untuk mewaspadai orang atau kelompok yang kerap melemparkan isu radikalisme terhadap umat Islam. Ustadz Iim membagi kelompok tersebut menjadi tiga. Pertama, yaitu orang kafir asli.
“Mereka bisa jadi atheis atau komunis yang sangat membenci
agama,” katanya. Kedua, orang Islam yang munafik yang mengambil keuntungan
pribadi dan kelompoknya.
“Akhir-akhir ini muncul pakar-pakar yang kemudian mengklasifikasi
ciri-ciri radikalisme yang hanya diarahkan kepada umat Islam. Misalnya mereka
mengatakan halaqoh-halaqoh itu adalah ciri-ciri kelompok Islam radikal. Padahal
halaqoh itu telah ada sejak zaman Rasul. Atau menyebut ciri-ciri fisik kelompok
radikal seperti berjanggut, bercelana cingkrang, berhijab, dan lain-lain”
tuturnya. Dan yang ketiga adalah orang-orang bodoh.
“Jadi isu radikalisme itu hanyalah kedok para pembenci Islam,” tutupnya.