Khutbah Jum'at

Khutbah Jum’at Edisi 303 | Tiga Indikator Keberhasilan Puasa Ramadhan

Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).

Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu waTa’ala.

Segala puji bagi Allah Subhanhu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu allaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya.

Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.

Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…

Ramadhan dengan ibadah utamanya puasa dan ibadah sunat lainnya yang akan sebentar lagi kita akhiri dengan perasaan sedih dan gembira. Sedih karena khawatir ibadah ibadah kita tidak diterima Allah, dan sedih Ramadhan terasa cepat berlalu padahal belum kita belum maksimal untuk mengisinya dalam upaya peningkatan taqwa kepada-Nya. Namun kita juga gembira karena adanya janji ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga selesai tarbiyah ramadhan selama sebulan harapannya menjadi fitri kembali kepada fitrah yakni bersih dari dosa dan maksiat, keimanan kepada Allah Ta’ala.

Tujuan Ibadah Puasa Ramadhan

Meskipun ibadah yang disyariatkan ajaran Islam memiliki tata cara dan pelaksanaan berbeda-beda, tapi sasaran dan tujuannya sama, yaitu agar kita menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki akhlakul karimah yang mampu menjadi khalifah-Nya dan mampu memberikan kebaikan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh. Kedua hal tersebut menjadi indikator secara umum dari semua ibadah.

Indikator tersebut menjadi ukuran sejauhmana keberhasilan ibadah seorang hamba atau bahkan jika tidak tercapai indikatornya di dalam kehidupan sehari-hari maka ibadahnya tidak berhasil bahkan sia-sia tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala disebabkan tidak memberikan pengaruh secara vertikal yakni perubahan kualitas dan kuantitas ibadah lebih baik di dalam hablum minallah (hubungan hamba dengan Allah) dan perubahan kualitas dan kuantitas hablum minannas (hubungan sosial berupa kepekaan dan kepeduliaan sosial).

Adapun tujuan ibadah puasa ramadhan yang menjadi indikator keberhasilan diterima dan tidaknya antara lain:

1. Peningkatan kuantitas, kualitas dan keistiqomahan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Di dalam Islam, ada perbuatan yang dihukumi wajib, sunah, makruh, mubah, haram, semua ini harus dipahami, jangan sampai kita terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan yang haram, dan yang wajib jangan sampai ditinggalkan. QS Al Baqoroh 208 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Ayat diatas adalah konsekwensi bagi orang yang mengikuti dan patuh akan aturan Alloh. Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh/ kaffah. Pendapat imam Athobari mengenai makna kaffah, adalah perintah patuh pada hukum/syariat Alloh, tanpa mengurangi sedikitpun darinya.

Ketaatan menurut istilah adalah kepatuhan dan kesetiaan seorang hamba kepada Allah untuk menjalankan perintah serta meninggalkan larangan-Nya. Puasa adalah kewajiban seorang muslim, karena Allah berfirman (كُتِبَ), yang maknanya adalah diwajibkan.

Yang dimaksud puasa adalah ibadah berupa ketaatan kepada perintah Allah dengan meninggalkan pembatal-pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Selama sebulan seorang hamba dilatih dan dibina kualitas dan kuantitas ketaatan kepada Allah dengan menghadapi berbagai ujian dan cobaan selama berpuasa.

Dengan ketaatan maka seorang hamba akan mendapat keutamaan yang banyak diantaranya adalah ketaatan merupakan cara untuk mencapai Surga dan selamat dari Api Neraka.

Ketaatan adalah bukti kebaikan hamba dan tanda keistiqomahan terhadap hukum Allah. Ketaatan akan menguatkan hidayah di hati. Ini mengembangkan cinta dan keridhaan kepada Allah. Ketaatan meringankan segala kesulitan, dan itu adalah sebab untuk mendatangkan kenikmatan Allah dan jalan mewujudkannya. Ketaatan akan melindungi dari dosa dan keburukan.

Ketaatan adalah sebuah indikasi husnul khatimah atau akhir yang baik. Kunci keamanan untuk rumah tangga muslim dan keindahannya. Tanda iman yang sejati. Mengikuti teladan Nabi yang Mulia.

2. Melatih kemauan untuk menahan diri dari hawa nafsu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah mengingatkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan membawa kehancuran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا

Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha. [Hadits ini diriwayatkan dari Sahabat Anas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhum.

Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahihah, no. 1802 karena banyak jalur periwayatannya]

Demikian juga bahaya mengikuti hawa nafsu adalah mendatangkan kesusahan dan kesempitan hati.

Syaikhul Islam berkata, “Barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, seperti mencari kepemimpinan dan ketinggian (dunia-pen), keterikatan hati dengan bentuk-bentuk keindahan (kecantikan, ketampanan, dan lain-lain-pen), atau (usaha) mengumpulkan harta, di tengah usahanya untuk mendapatkan hal itu dia akan menemui rasa susah, sedih, sakit dan sempit hati, yang tidak bisa diungkapkan. Dan kemungkinan hatinya tidak mudah untuk meninggalkan keinginannya, dan dia tidak mendapatkan apa yang menggembirakannya.

Bahkan dia selalu berada di dalam ketakutan dan kesedihan yang terus menerus. Jika dia mencari sesuatu yang dia sukai, maka sebelum dia mendapatkannya, dia selalu sedih dan perih karena belum mendapatkannya. Jika dia sudah mendapatkannya, maka dia takut kehilangan atau ditinggalkan (sesuatu yang dia sukai itu) [Majmû’ al-Fatâwâ, 10/651]

Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mendidik dan mengendalikan nafsunya serta menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena Allah dan sadar bahwa Allah selalu mengawasinya.

Orang yang berpuasa berjuang untuk konsisten melakukan yang baik-baik dan komitmen menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya yang bisa membatalkan puasa. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya.

3. Ketakwaan.
Dan tujuan utama dari puasa berdasarkan Al-Quran surat al-baqarah: 183 adalah:

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Agar kalian bertaqwa”

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[ Siyar A’lamin Nubala, 8/175].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi.

Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan.

Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13).

Keutamaan puasa Syawal
sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

جعل اللهُ الحسنةَ بعشر أمثالِها ، فشهرٌ بعشرةِ أشهرٍ ، وصيامُ ستَّةِ أيامٍ بعد الفطرِ تمامُ السَّنةِ

“Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu tahun” (HR. Ibnu Majah no. 1402, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no.1402 dan Shahih At-Targhib no. 1007).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

“Pahala puasa Syawal seperti puasa setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).

Buah dari puasa Syawal

Puasa Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh.

Puasa Syawal dan puasa Sya’ban
Sebagaimana salat sunah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunah pada hari kiamat kelak. Kebanyakan orang, puasa Ramadannya mengandung kekurangan dan cacat, maka membutuhkan amalan-amalan yang bisa menyempurnakannya.

Terbiasa puasa selepas puasa Ramadan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadan.

Karena ketika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan shalih selanjutnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf:

ثواب الحسنة الحسنة بعدها

“Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik untuk melakukan) kebaikan selanjutnya”
Maka barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan kebaikan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut diterima oleh Allah. Sebagaimana barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, namun kemudian diikuti dengan keburukan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut tidak diterima oleh Allah.

Orang-orang yang berpuasa Ramadan disempurnakan pahalanya di hari Idul Fitri dan diampuni dosa-dosanya.

Maka hari Idul Fitri adalah hari pemberian ganjaran kebaikan. Sehingga puasa setelah hari Idul Fitri adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut. Sedangkan tidak ada nikmat yang lebih besar selain pahala dari Allah ta’ala dan ampunan dari Allah.

Semoga puasa kita semua berhasil diterima Allah dan dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Wallahul muwaffiq

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.

اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button