Khutbah Jumat Edisi 352 | Keteladanan Keluarga Nabi Ibrahim
Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharu Syari’ah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).
Jamaah Jum’at hamba Allah yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah…
Setiap kali kita masuk bulan dzulhijjah yang mulia ini langsung teringat pada kita semua akan sebuah peristiwa besar dan kepada sosok Nabi yang mendapat gelar Khoilullah yaitu Nabi Ibrahim dan kehebatan istri beserta anaknya. Sebuah keluarga yang menjadi ikon perjuangan demi tegaknya kalimat Tauhid yang seharusnya kita teladani dan kita banggakan, kemudian dari situ kita usahakan untuk menghadirkan di dalam keluarga kita masing-masing yaitu menjadi keluarga yang seiman dan seperjuangan meskipun harus melalui berbagai ujian besar.
Menghayati dan memahami rangkaian ibadah di awal bulan dzulhijjah yang mengingatkan pada kisah yang dialami oleh Nabi Ibrahim, paling tidak ada 3 hal yang patut untuk kita teladani, yaitu pengajaran pentingnya membawa keluarga pada ketauhidan yang sesungguhnya, menjadikan qurban sebagai pembuktian ketauhidan sosial, dan menjadikan siti hajar sebagai teladan dan spirit dalam mendidik anak.
Pertama, pentingnya mengajarkan tentang tauhid dan mempraktikkan dalam keluarga. Sungguh indah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As ketika beliau menginginkan sesuau yaitu anak, beliau mengucapkan dan ucapan beliau kemudian terabadikan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Assafat ayat 100;
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh”.
Menggantungkan dan menaruh harapan kepada Dzat Yang Maha Kuasa atas setiap apa yang akan dilakukan dan diinginkan menjadi hal prioritas yang harus dilakukan. Begitupun dalam keluarga, antara suami dan istri harus satu visi dan satu keyakinan. Visi suami istri yang kemudian menjadi visi keluarga harus bermuatan nilai dakwah dan kemajuan Islam. Karena manusia dilahirkan adalah untuk menegakkan kalimat Tauhid, bukan untuk berbangga pada hal yang sifatnya duniawi.
Imam al-Qurtubhi dalam tafsirnya menjelaskan tentang firman Allah ﷻ diatas, bahwa Nabi Ibrahim AS meminta kepada Allah ﷻ yaitu berupa anak dengan tujuan agar dalam dakwah beliau AS ada kawan. Lebih lanjut dalam do’anya Nabi Ibrahim AS menyebutkan anak yang diminta adalah anak yang sabar, anak yang memiliki sifat sabar. Kemudian Allah ﷻ menjawab permohonan Nabinya pada ayat berikutnya :
فَبَشَّرْنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”.
Anak yang sabar itulah yang bernama Ismail AS. Seorang anak yang lahir bermula dari permohonan sang ayah dengan tujuan baik, sehingga lahirlah Ismail AS sebagai sosok yang teruji kesabarannya sebagaimana bunyi permohonan sang ayah kepada RabbNya. Kuat dalam ingatan kita, bahwa kesabaran Ismail AS tercantum dalam firman Allah ﷻ ketika sang ayah menyampaikan perintah RabbNya untuk menyembelihnya ;
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Para hadirin yang berbahagia
Sungguh indah dan menyentuh hati kita semua, dimana kita melihat kekompakan ayah dan anak dalam berbakti kepada Rabbnya, beliau membuktikan ketaatan yang totalitas tanpa ada sedikit keraguan dan kekhawatiran. Bukti perjuangan sebuah keluarga yang harmonis dan kompak, antara satu dengan yang lain saling menguatkan, bukan melemahkan, saling memotivasi bukan gembosi.
Begitu berat dan besar baik ujian maupun kesabaran yang telah dibuktikan Nabi Ibrahim AS dan keluarganya khususnya keluarga yang Allah tetapkan mereka tinggal di tanah tandus dan gersang yaitu kota Makkah al-Mukarromah, yang sekarang menjadi tempat yang sangat diperebutkan semua ummat islam dari seluruh penjuru Negeri untuk bisa berkunjung dan beribadah disana.
Hadirin yang dirahmati Allah ﷻ.
Yang kedua, menjadikan qurban sebagai pembuktian ketauhidan sosial.
Penyembelihan Qurban yang dilakukan oleh kaum Muslimin tidak terlepas dari peristiwa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS.
Pernahkah kita semua merenungi sebagian dari hikmah pensyariatan penyembelihan qurban?.. diantaranya adalah sebagai pembuktian ketaatan terhadap perintah Allah untuk berani mengeluarkan atau mengorbankan dari sesuatu yang sangat dicintai. Nabi Ibrahim AS kala itu sangat mencintai anaknya, anak yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk menegakkan kalimat Tauhid, anak yang dijadikan kawan dalam berdakwah, namun Allah perintahkan untuk menyembelihnya.
Ketika syariat itu sampai kepada kita, bukanlah kita harus menyembelih anak kita, melainkan sesuatu yang sangat kita cintai, mungkin harta, waktu, ilmu atau tenaga. Ikhlas dan siapkah kita untuk mengorbankan sesuatu yang sangat kita cintai semisal waktu atau harta untuk berjuang dijalan Allah ﷻ.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran : 92).
Selanjutnya dari pengorbanan tersebut, mampu atau bisakah menjadi sesuatu yang abadi dan akan selalu dikenang sepanjang masa.
Selanjutnya perlu kita renungkan berbagai rangkaian peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya, dari penyembelihan kurban, pembangunan ka’bah, usaha siti hajar berlari-lari mencari air dari bukit safa ke bukit marwa, lempar jumroh dan ibadah-ibadah lainnya. Semua itu menjadi abadi dan menjadi rangkaian ibadah haji yang selalu diulang setiap tahun oleh kaum muslimin.
Meneladani hal ini, sudah seharusnya kita mulai memikirkan dan meningkatkan pengorbanan kita. Qurban dan ibadah-ibadah social lain seperti zakat, infak, sadaqah dan wakaf, merupakan pembuktian tauhid social kita yang berangkat dari pembenaran Tauhid Ilahiyah kepada Allah ﷻ. Perjuangan dan peran sosial kita yang berangkat dari ketauhidan kepada Allah sudah seharusnya kita upayakan menjadi amal yang selalu abadi dan bisa dirasakan oleh banyak orang dalam waktu yang lama.
Ketika kita tarik contoh lokal yang telah melakukan amal sosial dan menjadi amal abadi yang bisa terus dirasakan oleh kaum muslimin adalah seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Amal beliau menjadi amal jariyah melalui organisasi yang didirikannya. Beliau menyiapkan sebuah wadah untuk dakwah dan syiar Islam.
Tentu penyebutan kedua tokoh diatas bukan berarti menafikan tokoh-tokoh lainnya, namun paling tidak dari beliau berdua bisa menjadi contoh bagi kita, bahwa penting untuk memikirkan dan menyiapkan sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang banyak. Dari sini juga bukan berarti kita harus membuat wadah atau organisasi baru, namun perlunya menyiapkan usaha atau gerakan yang berfungsi untuk mencerdaskan ummat dan mampu menjadi wadah saling tolong-menolong sesama ummat manusia.
Terlepas kecil atau besar, sedikit atau banyak yang kita lakukan untuk kebermanfaatan ummat, namun jika menjadi amal abadi, InsyaAllah hal itu menjadi amal jariyah kita. Baik kita sebagai jama’ah atau pengurus suatu pergerakan dakwah Islam, sudah seharusnya memikirkan kebermanfaatan dan keberlangsungan amal social yang dilakukan. Keberlangsungan dari amal yang sudah pernah kita lakukan semata-mata adalah untuk membuat amal jariyah, bukan untuk berbangga dan minta dibangga-banggakan oleh anak keturunan kita atau orang lain.
Yang ketiga, menjadikan siti hajar sebagai teladan dan spirit dalam mendidik anak. Sungguh berat menjadi seorang ibu, apalagi ketika kita melihat beratnya ujian yang harus dijalani siti hajar. Namun dengan keyakinan yang tinggi, meskipun harus ditinggalkan suami dan harus mengurus anak seorang diri ditanah yang tandus dan gersang, beliau berhasil mengasuh Nabi Ismail AS menjadi sosok yang shaleh dan memiliki kesabaran yang sangat tinggi. Sehingga ketika Nabi Ibrahim As kembali dan dijumpailah anaknya yaitu Ismail AS telah tumbuh dewasa dan siap diajak untuk bersama-sama taat kepada Allah ﷻ, diantaranya adalah pembangunan Ka’bah, qurban dan lain sebagainya.
Keteladanan yang ada pada siti hajar layak untuk menjadi contoh bagi kita semua, bahwa seorang istri mempunyai peran penting dalam dakwah dan perjuangan Islam. Istri memiliki kekuatan untuk memberikan dorongan dan dukungan kepada suami untuk mengambil peran dalam dakwah dan ketaatan kepada Allah ﷻ , istri pula memiliki peran untuk mendidik anak agar menjadi anak yang mempunyai perhatian terhadap syiar Islam. Maka tidak sedikit lahirnya para hafidz Qur’an, ulama dan muballigh tidak terlepas dari peran seorang ibu. Satu contoh nyata adalah ibunda Imam Syafi’i, berkat didikannya lahir seorang ulama besar yang memiliki pengaruh besar terhadap syiar Islam salah satunya di Indonesia, yang mayoritas ummat Islam bermadzhab Syafi’i.
Suami yang hebat dan anak yang hebat utamanya yang memiliki peran dan kontribusi dalam gerakan dakwah islam tidak terlepas dari peran seorang perempuan yaitu Ibu. Wahai para istri, para ibu, tidakkah engkau semua iri dengan ibunda siti hajar juga ibunda imam syafi’i, yang telah berhasil mendampingi suami dan mengajarkan pada anak mereka untuk menekuni ajaran agama dan memberikan kontribusi untuk dakwah islam?.. ketahuilah, bahwa peran dalam rumahtangga khususnya istri menjadi wasilah atau asbab terhadap sebuah keberhasilan suami dan anak-anak.
Mengakhiri khutbah jumat yang berbahagia ini, dapat kita simpulkan poin-poin penting, yaitu perlunya persamaan visi antara suami dan istri untuk mewujudkan dan melahirkan keluarga yang bertauhid, satu keimanan dan satu perjuangan. Dua meningkatkan ibadah sosial, empati kepada sesama dan perhatian terhadap kesusahan orang lain dan menciptakan amal ibadah sosial yang menjadi amal abadi, amal yang bisa dirasakan oleh orang banyak yang tidak terbatas oleh waktu, dan terakhir menjadikan siti hajar sebagai teladan dan spirit dalam mendidik anak. Istri, ibu adalah sosok yang sangat berjasa dalam kehidupan manusia untuk meraih kesuksesan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.