Artikel

Jungkir Balik Para Pak Haji Menjaga Negeri

Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS

Perjalanan Haji bagi Ummat Islam dari Nusantara merupakan perjalanan panjang dan berat. Dulu, mereka harus menempuh perjalanan yang tidak mudah. Melewati laut, menerjang ombak dan badai selama berbulan-bulan, juga menghindari perompak, hingga menjelajah gurun.

Mereka yang kembali dengan selamat ke Nusantara dianggap punya anugerah kehormatan. Terhormat karena bisa beribadah langsung di Kabah yang merupakan kiblat umat Islam dan berkunjung ke negeri kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kondisi itulah yang menjadikan gelar haji bernilai terhormat bagi masyarakat Tanah Air.

Tak bisa dipungkiri, gelar haji pada awalnya adalah taktik dan strategi kolonial untuk membatasi pergerakan politis umat Islam. Dikutip dari Agus Sunyoto, penulis buku “Atlas Wali Songo”, menyatakan bahwa hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.

“Dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori Guru Thariqah, Haji, Ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi ‘biang kerok’ pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan”

Lanjut Agus, para kolonialis pun bingung karena setiap ada warga yang pulang dari Mekkah selalu terjadi pemberontakan. Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama Kiai Haji dari pesantren-pesantren itu. Untuk memudahkan pengawasan pada tahun 1916  penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “Haji”.

Secara politis, ibadah haji memiliki kekuatan yang bisa menjadi gerakan yang sangat diperhitungkan oleh kolonial. Belanda mengkhawatirkan orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci yang lebih mudah didengar dan dipatuhi.

Pada saat itu, Islam merupakan salah satu kekuatan anti-kolonialisme yang memperjuangkan kemerdekaan. Semangat inilah yang kerap digelorakan oleh para tokoh Islam, salah satunya setelah mereka kembali dari ibadah haji. Beberapa tokoh itu diantaranya adalah Muhammad Darwis seusai pulang ibadah haji mendirikan Muhammadiyah.  Kemudian, KH Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, dan Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam.

Ketika Penjajah berganti dari Belanda ke Jepang, semangat kemerdekaan masih gigih diperjuangkan oleh para Haji yang menjadi tokoh dan panutan masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari.

Kiai Haji Hasyim Asy’ari adalah ulama pejuang yang melahirkan dan menggerakkan banyak santri pejuang kemerdekaan. Beliau pun mengeluarkan fatwa-fatwa perlawanan terhadap para penjajah. Antara lain fatwa mengharamkan kaum Muslimin bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun dari Belanda. Beliau juga mengeluarkan fatwa wajibnya melawan Belanda dan merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, termasuk dengan perlawanan bersenjata.

Selain perlawanan dengan mengangkat senjata, Kiai Haji Hasyim Asy’ari juga mengistiqomahkan  riyadhoh ruhaniyah. Riyadhoh ini tetap ditempuh bahkan saat beliau dipenjara dan mengalami siksaan pedih dari tentara Jepang.

Beragam kekerasan di dalam penjara, tidak menyurutkan semangat Kiai Haji Hasyim Asy’ari menegakkan syariat dengan berkali-kali mengkhatamkan Al-Qur’an dan menghafal kitab hadits Al-Bukhari. Bahkan, beliau menolak tegas sikap menghadap matahari sebagai bukti tunduk patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.

Kisah keteguhan ini juga terpelihara oleh para “Pak Haji” yang berperan aktif menjadi pendiri bangsa dan ikut andil nyata merumuskan ideologi bangsa dengan memilih hidup sederhana jauh dari kemewahan.

1. Kiai Haji Agus Salim.

Di gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik. Anak keempat Salim, Adek, mengingatnya dulu ia harus membersihkan bola lampu setiap sore. (Kustiniyati Mochtar: 1984).

“Rumah kampung dengan meja kursi sangat sederhana,” tambah muridnya yang juga diplomat, Mohammad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah, mengenang. Pernah pula, kasur gulung, ruang makan, dapur, dan ruang tamu kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar.

Jangan tanya ada atau tidak uang belanja, atau sembako di dalam lemari. Nasi goreng kecap mentega menjadi favorit ketika keluarga ini sedang tak ada makanan.

2. Kiai Haji Wahid Hasyim.

Sosok bersahaja yang merupakan putera Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari pernah menjabat menteri di pemerintahan pertama negeri ini. Saat orang-orang bertanya ketika dirinya tak lagi menjabat sebagai menteri, ia menjawab:

“Tak usah kecewa! Saya toh bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang, tinggal pilih saja,” katanya mengundang gelak tawa orang-orang di sekitarnya. (Saifudin Zuhri : 2013).

Saifudin Zuhri mencatat, saat mereka menginap di suatu hotel, ia lupa menyiapkan sahur. Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian Saifuddin Zuhri ketika sore.

Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH Wahid Hasyim bersahur,” kenang Saifudin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren.

3. Kiai Haji Abdul Kahar Muzakkir.

KH Abdul Kahar Muzakkir, tokoh Muhammadiyah yang pernah juga menjadi anggota Dewan Konstituante bahkan hingga pengujung senjanya, masih tinggal di rumah warisan ayahnya, Haji Muzakkir.

Mitsuo Nakamura mencatat bahwa kendaraan Abdul Kahar Muzakkir hanyalah sebuah skuter bekas pemberian mahasiswanya, yang sering kali mogok. Sebagai alternatif, ia kadang menggenjot sepeda, naik becak atau andong menempuh perjalanan sepanjang lima atau enam kilometer dari rumahnya mengajar di UII atau ke kantor PB Muhammadiyah di Yogyakarta. (Mitsuo Nakamura: 1996).

Ironi memang, tapi itulah mereka, para pendiri bangsa ini. Pantas saja, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) – DPR kini – pertama, Kasman Singodimedjo melihat kondisi gurunya, Haji Agus Salim, dengan lirih berkata, “Leiden is lijden,” memimpin itu menderita!

Para “Pak Haji” ini berjibaku dan jungkir balik yang memilih “jalan becek dan sunyi,” berjalan kaki dengan tongkatnya dibanding gemerlap karpet merah dan mobil –mobil dan rumah mewah, gemerlap jantung kota lainnya.

Kesederhanaan tak membuat mereka berhenti berbuat. Kesungguhan mengalahkan keber-ada-an, dan sejarah telah mencatatnya.
Kita tentu rindu sosok seperti mereka, bukan tentang “melaratnya” mereka, tapi tentang ruang kesederhanaan, kepekaan nurani, yang masa kini mungkin semakin sulit kita ditemukan.

Sumber :
 1.https://www.google.com/amp/s/www.nu.or.id/amp/fragmen/jungkir-balik-perjuangan-santri-melawan-penjajah-dari-perlawanan-kultural-hizib-hingga-angkat-senjata-aYFAw

2. https://jurnalislam.com/sakralnya-gelar-haji-dalam-perjuangan-indonesia/

3. https://www.islampos.com/hidup-melarat-ala-perumus-pancasila-89577/

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button