Artikel

Menyempurnakan Keteladanan Orang Tua dengan Dialog Keimanan

Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS |
Amir Jamaah Ansharu Syariah Majmu’ah Jember

Spirit ibadah di bulan Dzulhijjah salah satunya terinspirasi dari dialog keluarga Nabi Ibrahim.
Al-Qur’an mengabadikan dialog orang tua dan anak sebagai faktor penting melahirkan generasi yang hebat. Terlebih dialog yang dilakukan oleh Ayah. Pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim bukan mendadak dan kebetulan, akan tetapi melalui proses tarbiyah yang istiqomah.

Dialog Ayah dengan Anak dalam Al Qur’an terdapat pada 14 tempat dalam Al Qur’an yang berisi dialog ayah dengan anak. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

1. QS. Al Baqarah 130 – 133 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan ayahnya dan dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

2. QS. Al An’am : 74 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan ayahnya.

3. QS. Hud : 42 – 43 memuat kisah dialog Nabi Hud As dengan anaknya.

4. QS. Yusuf : 4 – 5 memuat kisah dialog Nabi Yusuf As dengan ayahnya.

5. QS. Yusuf : 11 – 14 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

6. QS. Yusuf : 16 – 18 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

7. QS. Yusuf : 63 – 67 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

8. QS. Yusuf : 81 – 87 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

9. QS. Yusuf : 94 – 98 memuat kisah dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

10. QS. Yusuf : 99 – 100 memuat kisah dialog Nabi Yusuf As dengan ayahnya.

11. QS. Maryam : 41 – 48 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan ayahnya.

12. QS. Al-Qashash : 26 memuat kisah dialog Syaikh Madyan dengan anak perempuannya.

13. QS. Luqman : 13 – 19 memuat kisah dialog Luqman dengan anaknya.

14. QS. Ash-Shaffat : 102 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan anaknya, Ismail.

Dialog Ibu dengan Anaknya hanya ditemukan di dua tempat saja, yaitu pada dua surat berikut :

1. QS. Maryam : 23 – 26 memuat kisah dialog Maryam dengan janinnya.

2. QS. Al-Qashash : 11 memuat kisah dialog Ibu Musa dengan anak perempuannya.

Adapun dialog kedua orang tua dengan anaknya, dijumpai dalam 1 tempat saja, yaitu dalam QS. Al-Ahqaf : 17 yang memuat kisah dialog kedua orang tua dengan anaknya tanpa disebut namanya

Dari dialog keluarga Nabi Ibrahim memberi pelajaran betapa pentingnya peran kesabaran dalam menjalankan perintah Allah, urgensi istri sholihah yang mendukung ketaatan suami dan keluarganya, serta anak sholih yang sabar menerima ketentuan Allah.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,”QS Ash Shaffat 102.

Al-Qur’an mengabadikan beberapa dialog iman antara ayah bersama anaknya. Dialog fundamental yang mengajarkan betapa pentingnya tauhid sebagai pondasi keluarga muslim. Di antaranya adalah Nabi Ya’qub dalam surat Al- Baqarah 132-133.

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبْرَٰهِۦمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ ٱلْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى قَالُوا۟ نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata):

“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.

Termasuk dalam pendidikan anak perempuan sekalipun. Tidak serta merta melemparkan tanggung jawab kepada ibu. Contohnya adalah bagaimana Nabi Zakaria yang terlibat dalam mendidik dan membesarkan Maryam.

Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak tertulis dalam tinta emas sejarah peradaban Islam. Di antaranya adalah bagaimana sosok Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H) rahimahullah, yang senantiasa memantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) di tengah kesibukannya sebagai hakim. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadis Amat as-Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.

Demikian pula dengan Asad bin al-Furat, panglima perang yang menaklukkan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Nama lain yang tercatat dalam sejarah adalah Syaikh al-Qurra, Abu Dawud Sulayman bin Abi Qasim al-Andalusi (496H) dan Imam ‘Ala al-din al-Samarqandi (539H) Rahimahumullah.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana interaksi itu terjaga ketika sang Ayah tidak bisa membersamai karena ada amanah perjuangan agama, Jihad fi sabilillah. Hal ini sebagaimana dialami Dr Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989) seorang ulama mujahid dari Palestina. Dalam surat wasiat kepada anak-anaknya beliau berpesan.

“Sungguh kalian hanya mendapatkan sedikit saja dari waktuku, juga hanya sedikit pendidikan dariku. Ya ! aku sibuk dan tidak sempat mengurus kalian. Tapi apakah yang harus aku perbuat, sedangkan bencana yang menimpa kaum muslimin seakan membuat wanita yang menyusui tak ingat akan nasib bayi yang disusuinya. Dan malapetaka yang menyiksa umat Islam begitu dahsyat seolah-olah jambul anak-anak berubah menjadi uban uban karenanya.”

“Tak rela aku tinggal besama kalian sepanjang waktu sedangkan derita dan kaum muslimin merobek-robek setiap orang yang memiliki hati nurani atau masih tersisa akalnya.”

“Aku wasiatkan kepada kalian, berpeganglah dengan aqidah kaum salaf, yaitu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama`ah, dan jauhilah sifat berlebih-lebihan. Aku wasiatkan kepada kalian, untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur`an. Jagalah juga lidah kalian.”

“Sambunglah hubungan kekerabatan kita dan berbuat baiklah kepada keluarga dan tunaikanlah hak persahabatan kita kepada orang yang bersahabat dengan kita.”

Melihat contoh-contoh di atas masihkah sebagian ayah beranggapan bahwa mendidik anak-anak adalah sepenuhnya tanggung jawab ibu saja?

Sehingga tidak ada lagi kewajiban bagi seorang ayah, yang hanya mengabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah untuk bekerja, atau nongkrong santai bersama-rekan-rekannya. Bahkan, sebagian ayah berlalu seperti orang bisu, tidak ada waktu untuk berdialog, bercanda dan bermain dengan anak-anaknya. Wallahul musta’an.

Hikmah dari banyaknya kisah ayah dan anak dalam Al-Qur’an, adalah bahwa sosok ibu tanpa diberi tahu pun sudah pandai berkomunikasi dengan anak. Sedangkan laki-laki cenderung lebih sedikit bicara, sehingga Allah perlu mengingatkannya melalui kisah-kisah dalam Al-Qur’an.

Supaya fungsi ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah, melainkan pendidik utama anak. Jika ibu adalah madrasah pertama anak, maka ayah adalah kepala madrasahnya. Semoga kita dimudahkan untuk meneladani para ayah hebat peradaban Islam.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button