Khutbah Jum'at
Trending

Mitigasi Bencana Dalam Perspektif Islam

Materi Khutbah Jum'at Edisi 263

(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Markaziyah Jamaah Ansharu Syariah)

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ.

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

وَقَالَ النَّبِيُ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن).

Jamaah Jum’at  hamba Allah yang  dirahmati Allah SWT.

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.

Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.

Ma’asyirol Muslimin Rahimani Wa Rahimukumullah

Indonesia dalam beberapa hari terakhir tampaknya tak habis-habis dilanda bencana. Gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga jatuhnya pesawat membuat duka di hati kita semakin mendalam.

Bencana adalah fenomena yang sering kali terjadi dalam kehidupan ini. Bencana alam bisa terjadi semata-mata karena hukum alam dan bisa juga karena perilaku manusia yang merusak alam.

Di luar fenomena alam, bencana terjadi juga sebagai fenonema sosial sebagai akibat konflik atau perang yang menyebabkan penderitaan manusia termasuk mereka yang tidak terlibat dalam kekerasan itu; mereka adalah korban dari perbuatan orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kita harus berhati-hati terhadap bencana yang tidak hanya menimpa mereka yang berbuat kesalahan. Allah berfirman:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”(QS. Al-Anfal: 25)

Kewaspadaan terhadap bencana alam dan sosial sesungguhnya telah diisyaratkan dalam al-Qur’an dalam dialog antara Allah dan Malaikat menjelang penciptaan Adam. Ketika itu, Malaikat merasa keberatan akan lahirnya makhluk manusia karena akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi (ataj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfik al-dima’).

Penggalian nilai-nilai Islam tentang kebencanaan sangat urgen untuk menggugah kesadaran orang-orang terhadap bencana, musibah dan wabah penyakit. Kesadaran itu akan terwujud dalam upaya untuk memahami bencana sebagai fenomena alam maupun sosial sehingga bisa mengurangi tingkat bencana itu sendiri, mengantisipasinya dan melakukan apa yang terbaik ketika bencana itu terjadi.

Dalam hal-hal seperti itulah, agama memainkan peran yang penting karena sifat ajaran Islam yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Menurut pendapat para pemikir hukum Islam, prinsip-prinsip dasar atau maksud dari setiap ketetapan hukum Islam adalah, di antaranya, menjaga keselamatan jiwa dan harta manusia. Karena itu, bisa dikatakan bahwa mencegah timbulnya bencana (syadzdz al-dzari’ah) dan mengurangi akibat bencana, serta menjaga keselamatan jiwa dan harta adalah wajib menurut syariat Islam.

Dalam Al-Qur’an ada beberapa kata yang digunakan untuk menyebut bencana itu. Masing-masing kata memiliki konteksnya yang khas. Kata-kata itu, di antaranya, musibah (bencana yang menimpa manusia),bala’ (bencana yang menjadi ujian),fitnah (bencana sosial), dan lain-lain.

Berbagai macam bencana itu harus disikapi secara benar agar memberikan manfaat bagi manusia. Jika disikapi secara salah, maka bencana akan menimbulkan ataupun memperparah kerusakan baik ruhani maupun jasmani.

Dari penghayatan atau tadabbur terhadap ayat-ayat al-Qur’an, tampak bahwa bencana itu menjadi ujian bagi manusia untuk mengetahui apakah kualitas manusia yang mengalami bencana itu menjadi lebih baik atau sebaliknya (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala. QS. Al-Mulk:2). Bencana itu bisa juga menjadi peringatan bagi manusia agar meningkatkan kualitas hidup dan sikapnya untuk menghindari keadaan yang lebih buruk dan segera kembali ke jalan kebajikan.

Di samping itu, bencana juga bisa menjadi hukuman (’adzab) bagi orang-orang yang telah melakukan penyimpangan atau kerusakan (fasad) di muka bumi. Kisah-kisah tentang kehancuran Kaum ’Ad dan Tsamud menggambarkan bencana yang mereka alami sebagai siksaan Allah di dunia. Di atas itu semua, al-Qur’an mendorong agar manusia yang mengalami maupun yang menyaksikan bencana itu untuk mengambil hikmah bagi perbaikan kehidupan individual maupun kolektif umat manusia selanjutnya. Menilai apakah sebuah bencana merupakan ujian, peringatan atau ’adzab adalah hak Allah, dan kewajiban manusia adalah mengambil hikmah di baliknya.

Menghadapi kemungkinan munculnya bencana alam maupun bencana sosial, Al-Qur’an mengharuskan manusia untuk terus waspada atau mengantisipasi karena bencana itu bisa muncul secara tiba-tiba. Dalam al-Qur’an, Allah menyatakan agar manusia tidak lengah karena bisa jadi bencana itu muncul di waktu malam ketika manusia sedang tidur (bayatan wahum naimun) atau pagi hari ketika manusia sedang bermain (dluhan wahum yal’abun). Selanjutnya Allah mengatakan bahwa mereka yang lengah adalah orang-orang yang rugi. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’rof: 99)

Dalam rangka kewaspadaan itu, maka langkah-langkah mitigasi harus dilakukan. Mitigasi artinya segala upaya untuk mengurangi resiko bencana. Mengurangi kemungkinan bencana sosial, maka kita diharuskan untuk membangunan kehidupan yang tangguh. Ajaran-ajaran Islam tentang ukhuwwah (persaudaraan), tasamuh (toleransi), ta’awun (saling menolong), itsar (mengedepankan kebutuhan orang lain), ’afw (memaafkan), tawashi bil haqq wa al-shabar (saling menasehati dengan kebenaran dan keasabaran), ’adl (menegakkan keadilan), dan lain-lain. Dengan sikap-sikap seperti itulah maka kemungkinan timbulnya konflik-konflik sosial bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Sebagai upaya mitigasi terbahap bencana alam, Allah mengharuskan manusia untuk menjaga kelestarian alam. Dalam al-Qur’an, Allah melarang manusia untuk merusak alam atau lingkungan (innallah la yuhibb al-mufsidin) dan menegaskan bahwa bencana alam bisa terjadi akibat ulah manusia (zhohara al-fasad fi al-barr wa al-bahr bima kasabat aydinnas).

Dalam rangka membangun sikap positif terhadap alam, Allah secara jelas melarang manusia berperilaku rakus atau thama’, berfoya-foya atau berlebih-lebihan dalam mengeksploitasi alam (israf). Allah juga melarang manusia untuk tabdzir (boros), egoistik dan hanya berfikir untuk kepentingan jangka pendek serta melupakan nasib manusia yang akan datang. Perilaku negatif itu semua akan membawa malapetaka atau bencana.

Di samping prinsip-prinsip untuk mitigasi itu, Allah mengajarkan prinsip-prinsip yang mendorong manusia untuk merespons bencana dengan baik. Dalam area itu, Islam mengharuskan manusia untuk menjaga keselamatan baik diri sendiri maupun orang lain (ifsya’ al-salam). Lebih dari itu, menyelamatkan diri sendiri dari bahaya adalah sebuah kewajiban (wa la tulqu bi aydikum ila al-tahlukah); dan demikian juga menyelamatkan jiwa orang lain. Jika tidak melakukan itu, maka seseorang yang sesungguhnya mampu melakukannya berarti termasuk orang yang melakukan pembunuhan secara tidak langsung.

Menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiyar (usaha) yang wajib dilakukan. Umar bin Khaththab dikisahkan menghindari suatu daerah yang sedang dilanda wabah penyakit/Pembatasan sosial bersekala besar atau karantina wilayah. Ketika ditanya apakah perbuatan seperti itu tidak berarti menghindar dari taqdir karena terkena penyakit adalah sebuah takdir yang jika Allah telah menetapkannya, maka manusia tidak akan bisa menghindar.

Maka ’Umar menjawab bahwa ia menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain. Kisah ini menggambarkan bahwa fatalisme (pasrah) dalam situasi bencana adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh Islam. Allah melarang orang-orang yang beriman untuk putus asa ketika ditimpa bencana dan mengharuskan bersikap positif (husn al-dhann) terhadap pertolongan Allah (wa la tai’asu min rauhillah). Dalam semangat yang sama walaupun dalam konteks yang berbeda,

Nabi Muhammad mengharuskan umatnya untuk memenuhi hak-hak keselamatan diri, misalnya larangan-Nya terhadap puasa wisal (puasa bersambung, tanpa buka) dan menyatakan bahwa badan dan mata manusia punya hak istirahat agar tetap dalam keadaan sehat. Dalam makna yang lebih luas, ini berarti kewajiban untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Tanggung Jawab Penguasa untuk Tanggap Darurat Bencana

Penguasa sudah selayaknya mengambil peran sentral dalam upaya menghindarkan masyarakat dari dampak bencana alam atau meminimalisirnya. Sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal. Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan yang diceritakan dalam At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Dia segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka.

Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.

Adanya potensi bencana alam pada suatu tempat adalah ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun ada ikhtiar yang dapat dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan upaya-upaya tersebut sudah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah dan para sahabat ridwanullah alaihim. Sehingga potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan Negara yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah. jika penguasa lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir. Wallahu a’lam bish shawab..

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ. اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ.

اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ. اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Download Berkas Khutbah Jum’at Edisi 263
pdf

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button