Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
(Katib Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Banyuwangi)
Faktor-faktor yang menunjang upaya perbaikan di masyarakat adalah dengan apa yang telah diupayakan oleh para Nabi dan Rasul, juga oleh para shahabat yang mulia terutama para khulafa’ur-Rasyidiin, para tabi’in dan para orang sholih yang telah mengikuti mereka dengan baik. Karena, tidak akan baik kondisi umat yang akan datang kecuali dengan menjalankan apa yang telah diperbaiki orang-orang terdahulu dari umat ini. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Malik bin Anas, Imam negeri Madinah di zamannya.
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
Tidak akan bisa memperbaiki kondisi orang-orang yang datang kemudian dari umat ini kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi orang-orang pertamanya.
Kesholihan adalah faktor penting yang berpengaruh besar dalam upaya perbaikan. Baik bagi diri pelakunya, keluarganya, lingkungannya dan alam sekitarnya. Beruntunglah bila suatu daerah ditempati banyak orang sholeh karena dengan keberadaan mereka bak cahaya yang menerangi masyarakat, ada pembimbing yang mengarahkan ke jalan-jalan kebaikan dan mengontrol agar perilaku masyarakat tidak keluar dari batasan-batasan aturan Allah.
Keberadaan orang sholih adalah anugerah terindah bagi kehidupan. Tak layak mereka disia-siakan dan dinistakan. Tulisan berikut memotret bagaimana antisipasi bencana dan musibah yang dilakukan para orang sholih, serta bagaimana nilai-nilai keimanan menjadi landasan pencegahannya.
1. Menolak terjadinya bencana karena visi kemaslahatan
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari, bahwa hari itu adalah ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam menyampaikan dakwah kepada penduduk Thaif. Namun, beliau justru mengalami perlakuan kejam dan tidak menyenangkan dari penduduk di sana.
Peristiwa itu menjadikan Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam untuk menyampaikan bahwa Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk membantu beliau. Malaikat penjaga gunung menawarkan diri untuk melakukan apa pun yang dikehendaki Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam.
“Tuhanmu telah mengutusku, dan kami telah mendengar serta menyaksikan apa yang dilakukan orang-orang kepadamu. Perintahkanlah apa yang harus kulakukan. Apa pun katamu akan kulakukan. Apa kau ingin aku mengangkat dua gunung di Kota Makkah? Sehingga, orang-orang itu akan remuk karena terhimpit gunung itu?” tanya malaikat penjaga gunung.
“Tidak! aku lebih mengizinkan jika Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan keturunan dari orang-orang ini, generasi orang-orang setelah ini, menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya,” jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam.
Inilah bukti betapa mulianya akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam. Beliau yang berhak marah dan mendapat kesempatan membalas perlakuan keji penduduk Thaif justru menggunakan momentum itu mencegah bencana itu terjadi. Beliau memilih untuk mendoakan kebaikan agar penduduk Thaif kelak bisa menerima Islam dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Bermodal keyakinan datangnya pertolongan Allah
Peranan keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq sangat besar sekali dalam peristiwa Hijrah Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam. Pada saat pengejaran orang-orang Quraisy hingga naik ke Bukit dan mengamati gua Tsur, itulah momen yang sangat menegangkan. Ketika Abu Bakar melihat kaki-kaki mereka, beliau pun berbisik kepada Nabi:
“Wahai Rasulullah, sekiranya mereka melihat ke bawah telapak kakinya, pasti akan melihat kami”.
Nabi Menjawab: “Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira bahwa kita ini hanya berdua; ketahuilah, yang ketiganya adalah Allah yang melindungi kita”.
Di tengah kondisi yang berkecamuk dalam ketakutan dan munculnya keraguan akan kelanjutan perjalan hijrah, Nabi meneguhkan keyakinan sahabat seperjuangannya tentang dekatnya pertolongan Allah. Peristiwa itu diabadikan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
“Sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kami”. (QS. al-Taubah, 9:40).
3. Seruan Muhasabah agar meraih ridha Allah
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Ad-Da’a wad Dawa’a, mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Ibn Abi al-Dunya
“Bumi pernah berguncang pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam. Beliau meletakkan tangannya di atas bumi dan (sembari berbisik) bersabda, ‘Tenanglah! Belum tiba saatnya bagimu.’ Kemudian menoleh kepada para sahabat seraya memberi tahu, ‘Tuhan ingin agar kalian melakukan sesuatu yang membuat-Nya ridha. Karena itu, buatlah agar Dia ridha kepada kalian!’”
4. Seruan Taubat Nasuha
Bencana pernah mengguncang Madinah pada zaman kepemimpinan Umar. Sahabat bergelar al-Faruq itu menyeru kepada penduduk setempat,
“Wahai manusia, gempa ini tidak terjadi kecuali karena perbuatan kalian! Demi Zat Yang menggenggam jiwaku, jikalau ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal di sini bersama kalian.”
Sang Khalifah merasa bahwa Allah sedang mengingatkan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Tidak ada yang mampu terucap dari lisannya selain peringatan kepada sekalian umat Islam agar segera meninggalkan kebiasaan buruk dan bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Ibn Qayyim al Jawziyyah dalam kitabnya al Jawabul-Kafy, berkomentar, “Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian.’”
5. Berdoa, meminta ampun dan bersedekah
Gempa bumi pernah terjadi di era Umar bin Abdul Aziz tampil selaku khalifah Dinasti Umayyah. Beliau mengambil kebijakan yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan kakek buyutnya, Umar bin Khaththab. Ditetapkanlah seruan kepada penduduk agar serius bermunajat kepada Allah dan memohon ampunan-Nya. Pemimpin yang terkenal dengan zuhudnya itu juga mengirimkan surat kepada seluruh Wali negeri, yang isinya adalah sebagai berikut:
“Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini merupakan teguran dari Allah kepada seluruh hamba-Nya. Saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
6. Bertanggung jawab mencegah tersebarnya kesyirikan
Setelah Mesir ditaklukkan, Amirul Mu’miniin Umar bin Khathab menunjuk Amr bin Ash menjadi Gubernurnya. Kemudian para penduduk menemui sang Gubernur berkaitan dengan adanya tradisi memasuki bulan Ba’unah yang dilakukan rutin pada setiap malam ke-12 bulan itu.Tradisinya adalah menumbalkan seorang gadis perawan untuk ditenggelamkan di Sungai Nil agar sungai tak kekeringan.
Menanggapi itu, Amr bin Al-Ash menolak dan melarang tradisi menyimpang tersebut untuk dilakukan. Amr bin Al-Ashl pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin. Menanggapi hal itu, Khalifah Umar menulis surat balasan kepada Amr bin Ash untuk dilemparkan ke Sungai Nil. Amr bin Al-Ash pun membuka surat dari Al Faruq.
“Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Sungai Nil Mesir, amma ba’du. Jika memang engkau mengalir karena keinginanmu sendiri, maka tidak perlu kau mengalir. Akan tetapi jika engkau mengalir karena perintah Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa, sebab Dia-lah yang membuatmu mengalir maka kami memohon kepada Allah agar membuatmu mengalir”
Dilemparkanlah surat itu ke sungai tepat sehari sebelum hari penumbalan itu. Pada pagi harinya, Allah telah mengalirkan air setinggi 16 hasta (6–7 meter) hanya dalam satu malam. (Al Bidayah Wan Nihayah (VII7/100) Ibnu Katsir)
Kisah ini mengajarkan untuk melarang tersebarnya kesyirikan. Dan ini memang yang harus dilakukan, baik oleh seorang pemimpin maupun pribadi. Kesyirikan ini pula yang menjadi sebab alam sebagai makhluk Allah yang senantiasa mentauhidkan Nya murka, sebagaimana termaktub dalam firman Nya :
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91)
“Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), Karena mereka menganggap Allah yang maha pengasih mempunyai anak” (Qs: Maryam, 90-91).
Ayat ini menegaskan kepada kita betapa ucapan dan keyakinan bahwasanya Isa adalah anak Allah dapat membuat bumi luluh lantah layaknya hari kiamat. Hal ini -sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Katsir (ulama tafsir abad kedelapan hijriah), “dikarenakan gunung-gunung, langit, dan bumi merupakan makhluk yang mengesakan Allah azza wa jalla, maka ketika mendengar perkataan yang bermuatan syirik dari manusia mereka hampir saja hancur sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap Allah ta’ala” (tafsir surat maryam ayat 88-95).
Ke 6 faktor yang diulas di atas bukan hal yang mustahil diwujudkan di masa kini. Kita butuh hadirnya Tokoh yang menjadikan iman kembali kokoh dan figur pejabat yang menjaga amanah secara bermartabat. Kita perlu sosok pemimpin visioner dengan pendekatan penuh cinta, bukan sekedar yang sewenang-wenang punya kekuasaan. Masyarakat butuh keteladanan figur, bukan yang sibuk pencitraan dan menumpuk aset kekayaan. Butuh pemimpin yang takutnya kepada Allah kerap dinomor satukan, termasuk dalam penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana itu mencakup upaya pencegahan dan juga pemulihan pasca bencana secara materiil dan non materiil. Pencegahan dan pemulihan secara fisik dan jiwanya.
Sudah semestinya demikian, bahwa semua upaya perbaikan di masyarakat, termasuk dalam bencana alam harus berorientasi kepada upaya untuk mengajak kembali manusia agar mengingat tujuan ia diciptakan yakni beribadah kepada Allah yang diaplikasikan dengan landasan ketaqwaan, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikuti dan meneladani kiprah mereka.