Artikel
Trending

Pentingnya Disiplin Menurut Islam

Oleh: Abu Hamasah | Katib Jamaah Ansharu Syari’ah Mudiriyah Jember – Jawa Timur

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Definisi disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya). Kata disiplin juga kerap dikaitkan sebagai kunci kesuksesan dalam hidup.

Perlu difahami bahwa dalam hidup ini ada norma dan yang mengatur perilaku manusia. Ada kaidah bahwa setiap usaha  yang dilakukan dengan disiplin akan mendapat banyak hasil dan kebahagiaan.

Sebagai seorang muslim, Agama kita yang mulia ini juga memperhatikan perihal urgensi kedisiplinan. Bahkan menempatkan kedisiplinan sebagai syarat kesempurnaan iman seseorang.

Mari sejenak kita telaah bagaimana teladan sahabat Rasulullah dalam menerapkan kedisiplinan.

Dikisahkan bahwa Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu pernah satu kali ketinggalan sholat di masjid, karena beliau sedang melihat kebunnya yang begitu luas. Pada saat pulang, beliau mendapati bahwa jamaah masjid sudah bubar meninggalkan masjid. Umar bin Al khathtab radhiallahu ‘anhu merasa sangat menyesal dan menghukum dirinya dengan cara mewakafkan kebun yang membuatnya lupa dengan solat berjamaah kepada fakir miskin.

Lalu, bagaimana dengan kita? Sudah berapa banyak kita meninggalkan sholat berjamaah atau bahkan meninggalkan sholat? Sejauh mana kita mendisiplinkan diri supaya jera dan tidak mengulanginya lagi?

Apabila kita pahami dengan seksama, menjadi seorang muslim berarti berkomitmen dalam amal sholih. Sejak berikrar dua kalimat syahadat, maka sejak itulah seorang muslim mulai mendisiplinkan ketaatannya melalui bukti amal sholih.

Berkomitmen membekali diri dengan ilmu dan amal termasuk bagian penting mempersiapkan diri untuk menegakkan agama Allah di atas bumi ini. Hal ini tidak bisa dianggap sebagai pengisi waktu luang melainkan harus disikapi sebagai sebuah jalan hidup dan prioritas utama dalam gerak dan langkah kita, detik demi detik, hari demi hari, hingga maut menjemput kita.

Mari kita renungkan firman Allah ta’ala :

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَإِذَا كَانُوا۟ مَعَهُۥ عَلَىٰٓ أَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوا۟ حَتَّىٰ يَسْتَـْٔذِنُوهُ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَـْٔذِنُونَكَ أُو۟لَٰئِكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۚ فَإِذَا ٱسْتَـْٔذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لِّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمُ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan (kehadiran seluruh kaum muslimin tanpa kecuali), mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nuur 62)

 

Dalam ayat di atas jelas sekali Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk meminta izin kepada Rasulullah Saw manakala mereka tidak bisa datang atau udzur tidak bisa memenuhi kewajiban menghadiri pertemuan dengan Rasulullah.

Pertemuan yang dimaksud di sini adalah semua urusan yang memerlukan kehadiran kaum muslimin tanpa kecuali. Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir dan Imam Ath Thabari menjelaskan makna “sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan” bukan hanya peperangan, pertemuan atau musyawarah saja tetapi termasuk juga sholat Jum’at, Sholat Ied, bahkan sholat Jamaah lima waktu. (lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 6 hal 88, Tafsir Ath Thobari juz 19 hal 228)

Betapa pentingnya izin dari Rasulullah dan para pemimpin sepeninggal beliau Shalallahu alaihi wasallam sehingga Allah menjadikan hal ini sebagai salah satu syarat kesempurnaan iman seseorang.

Syaikh Abdurrahman As Sa’dy menjelaskan dalam tafsirnya:

“Ini merupakan nasehat dari Allah SWT kepada hamba-hamba Nya yang beriman manakala mereka diperintahkan untuk hadir dalam urusan yang memerlukan kehadiran mereka secara keseluruhan mengingat pentingnya masalah tersebut seperti urusan jihad, musyawarah dan sebagainya, yang mana keikutsertaan dan kehadiran mereka amat sangat diperlukan, maka seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan RasulNya tidak akan mangkir atau tidak ikut hadir karena alasan-alasan tertentu. Tidak pantas bagi mereka untuk pulang meninggalkan pertemuan itu tanpa izin dari Rasulullah Saw atau para pemimpin dan para amir yang ditunjuk oleh kaum muslimin sepeninggal beliau Saw.

Allah SWT juga menjadikan permintaan izin sebelum meninggalkan pertemuan atau tidak hadir dalam pertemuan tersebut sebagai salah satu di antara syarat sempurnanya iman seseorang serta memuji orang-orang yang senantiasa meminta izin kepada Rasulullah dan para pemimpin setelah beliau Shalallahu alaihi wasallam.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَـْٔذِنُونَكَ أُو۟لَٰئِكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya”

Akan tetapi tidak semua permintaan izin bisa dipenuhi kecuali dengan dua syarat yaitu :

  1. Urusan yang dijadikan alasan untuk meminta izin haruslah benar-benar urusan yang penting dan tidak bisa diwakilkan atau dikerjakan orang lain sehingga ia dengan sangat terpaksa tidak hadir atau meninggalkan pertemuan lebih dahulu sebelum selesai.
  2. Pemberian izin kepada seseorang lebih mendatangkan mashlahah atau kebaikan bagi keseluruhan kaum muslimin dan tidak mendatangkan madharat atau bahaya.

Kemudian setelah izin diberikan, Rasulullah (dan para pemimpin sepeninggal beliau Shalallahu alaihi wasallam) diperintahkan Allah untuk memintakan ampunan bagi orang yang meminta izin tadi, karena bisa jadi udzur atau keperluan yang dijadikan alasan meminta izin hanyalah alasan yang dibuat-buat atau keperluan yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Dalam realita kehidupan kaum muslimin saat ini, masih ada kejadian yang bertolak belakang dengan ayat di atas. Ada yang terlambat pada acara yang disepakati waktunya, atau tanpa pemberitahuan sama sekali. Seolah-olah hal ini lumrah bukan merupakan perbuatan dosa. Yang miris lagi, apabila yang mangkir dari kegiatan tersebut justru mereka yang diberi amanah sebagai penanggung jawab atau orang yang seharusnya memberikan contoh dan keteladanan.

Bila direnungkan lagi, jika seseorang telah menjadi seorang muslim yang baik maka semestinya telah tertanam dalam dirinya bahwa ia bukan lagi manusia sebagaimana kebanyakan orang. Seharusnya ia telah mulai menanamkan dalam diri dan keluarganya bahwa kehidupan mereka adalah kehidupan yang berdasarkan komitmen dalam amal sholih sebagaimana kehidupan mujahid yang amalannya disebut sebagai puncak amal dalam Islam yang tidak ada amalan lain yang bisa menandinginya

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” beliau menjawab, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”

Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama,  “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”  Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang.”  (Muttafaq ‘Alaih)

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyemangati para sahabatnya untuk memiliki andil dalam jihad fi sabilillah sesuai kemampuan dan kapasitasnya. Sehingga setiap umat Islam tidak tertinggal dari pahala yang besar itu.

Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَأَنْفُسِكُمْ, وَأَلْسِنَتِكُمْ

“Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu.”  (HR. Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim)

Marilah kita hiasi kehidupan kita dengan spirit jihad fi sabiillah yang menjadi puncak amalan dalam Islam. Mari kita tata dan perbaiki kembali semangat dalam beramal sholih dengan lebih disiplin, lebih ikhlas dan istiqomah. Karena kedisiplinan adalah modal untuk meraih kesuksesan. Maka sebagai muslim yang baik, modal sukses kita adalah disiplin dalam beramal sholih serta totalitas dalam menjaga keistiqomahannya.

Wallahu ‘alam.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button