Tetap Taat Meski Dalam Kondisi Berat
Konsekuensi iman adalah taat dan patuh tanpa ragu apalagi membantah. Tidak perlu berfikir panjang ataupun mencari alasan-alasan sebab perintah itu datang dari Allah dan Rosulullah.

Oleh: Ustadz Masyhadi Akhyar, M.Pd.
Qoid Katibah Tarbiyah Jamaah Ansharu Syariah Jawa Timur
Kata taat sebenarnya tidak asing bagi seorang Mukmin, sudah sering terdengar di telinga tentang ungkapkan kata tersebut, mungkin melalui nasehat dari Kyai, Ustadz, Guru, saudara dan teman-teman-nya. Nasehat tentang taat memang selalu di ingatkan oleh para juru Dakwah Islam karena itu merupakan suatu yang penting sebagai konsekuensi keimanan yang harus dilakukan.
Setiap mukmin dalam menapaki perjalanan keimanannya tidak akan selalu mulus berjalan lancar begitu saja, terkadang akan menemui ditengah jalan atau dipersimpangan terdapat duri, semak belukar yang dapat menghalangi perjalanan iman-nya. Ujian keimanan untuk tetap taat dikondisi berat inilah yang akan benar-benar menjadi tantangan serta ujian seberapa sabar dan tulus iman-nya.
Konsekuensi iman adalah taat dan patuh tanpa ragu apalagi membantah. Tidak perlu berfikir panjang ataupun mencari alasan-alasan sebab perintah itu datang dari Allah dan Rosulullah.
Implementasi pelaksanaan ketaatan hendaknya dibarengi dengan kepercayaan yang hakiki terhadap posisinya yang berada dijalan kebenaran, sikap sabar terhadap berbagai cobaan yang menghadang atau ketidaknyamanan, dan optimisme bahwa akhir yang baik pasti berpihak kepada orang yang mentaati Allah dan RosulNya. Sebalinya Iman yang tidak dibarengi dengan ketidaktatan akan berakibat pada akhir yang buruk atau bahkan kekafiran jika bersamaan dengan penentangan.
Ketaatan Membawa Dampak Baik Pada Akhirnya
Perang Ahzab adalah salah satu peperangan yang sangat berat yang pernah dirasakan oleh para sahabat. Perang yang melibatkan kurang lebih 10.000 pasukan dari koalisi yang terdiri dari orang-orang Musyrikin Makkah, kaum Yahudi bani Nadhir serta suku Ghatafan, sebelumnya terjadi pemblokadean makanan, pakaian agar tidak masuk ke Kota Madinah, selain itu juga perang ini terjadi terjadi dibulan Syawal tahun ke 5 Hijriyah yang mana kaum Muslimin mempersiapkan perangnya menggali parit bersamaan dengan menjalani puasa di bulan Ramadhan.
Saking beratnya kaum Muslimin sampai merasakan ketakutan sebagaimana diceritakan dalam Surat Al-Ahzab 10-11.
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al-Ahzab: 10-11).
Kondisi yang demikian mencekam pada perang Ahzab, dimalam harinya udara sangat dingin, gelap gulita dan kelaparan dirasakan oleh para sahabat, Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kepada Hudzaifah untuk memata-matai serta menyusup ke barisan musuh. Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قُمْ يَا حُذَيْفَةُ اذْهَبْ فَأْتِنِي بِخَبَرِ الْقَوْمِ وَلَا تَذْعَرْهُمْ عَلَيَّ
Artinya: “Wahai Hudzaifah beerdirilah, pergilah dan carilah kabar mengenai musuh, jangan kamu mengagetkan mereka tentang diriku.” (Hadits Shohih Muslim, No. 3353).
Perintah Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam kepada Hudzaifah menjadikan dirinya menyadari untuk taat dan patuh terhadap titahnya meskipun dalam kondisi yang berat dirasakan. Dirinya tau tidak ada tawar menawar terhadap perintahnya, berkeluh kesah atau mencoba mencari seribu alasan yang dibuat buat untuk menghindari perintah tersebut.
Maka Hudzaifah pun berangkat serta tidak ada jawaban lain bagi seorang mukmin kecuali sami’na wa atha’na kami mendengar dan kami taat. Taatkala Hudzaifah berangkat memenuhi perintah Nabi, tiba-tiba dirinya merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya, tidak seperti yang lain merasakan kedinginan, kemudian Hudzaifah kembali dengan selamat.
Ketidaktaatan Membawa Dampak Buruk Pada Akhirnya.
Ketidaktaatan akan membawa hasil akhir yang buruk, teringat kembali tentang kisah perang Uhud, perang yang terjadi pula di bulan Syawal sekitar tahun ke 3 Hijriyah. Bisa dikatakan pada perang ini kaum Muslimin mengalami kekalahan. Bahkan beberapa sahabat gugur syahid seperti Mush’ab bin Umair, Hamzah bin Abdul Mutholib, Abdullah bin Jahsyi bahkan Rosulullah sendiri juga mendapatkan luka yang lumayan dari perang ini.
Kejadian tersebut bermula ketika pasukan pemanah yang diposisikan Rosulullah diatas bukit terlupakan atau lalai dari perintah Rosulullah untuk tetap berjaga di atas bukit meski pasukan mendapatkan kemenangan.
Singkat cerita ketika kaum Muslimin berhasil memukul mundur kaum musyrikin, sebagian pasukan pemanah akhirnya turun membantu mengumpulkan ghonimah. Melihat hal tersebut, kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Kholid bin Walid menyerang balik dari belakang bukit, sehingga kaum Muslimin kuwalahan menghadapinya dan harus menerima kekalahan. Kisah ini memberi penguatan kepada kita betapa pentingnya taat kepada Rosulullah atau pimpinan dalam sebuah misi yang dilakukan. Sikap taat harus terus ditanamkan dalam hati serta dilatih dalam amal perbuatan.
Jawaban Manusia Dalam Menjalankan Perintah
Bagi seorang mukmin yang terpatri dalam sanubarinya keimanan yang telah ia pilih, kesadaran terhadap konsekuensi iman membuat dirinya akan merespon segala perintah yang bersumber dari Allah dan RosulNya dengan semboyan sami’na wa atha’na kami mendengar dan kami taat.
Keimanan dalam hatinya melahirkan ruh keta’atan, kesabaran dan kepercayaan akan hasil yang baik bagi dirinnya. Mereka yakin dengan kesadaran penuh bahwa Allah Maha tahu, Allah Maha benar, dan Allah Maha bijak. Allah Subhanahu wata’ala sampai menceritakan sikap mereka dalam Surat An-Nur ayat 51:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung,”.
Bagi orang-orang munafiq mereka merespon seruan dari Allah dan Rosulnya dengan jawaban “Sami’na” akan tetapi “wahum laayasma’uun” mereka sebenarnya tidak sudi mendengar apalagi mengerjakan, mereka hanya seolah menampakan ketaatan namun sebenarnya tidak peduli, ibarat pepatah merekalah serigala berbulu domba. Allah ceritakan sikap mereka dalam surat Al-Anfal ayat 21:
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ قَالُوا۟ سَمِعْنَا وَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata “Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan,”.
Lain hanya dengan orang-orang ahli kitab, mereka berkata “sami’na wa’ashoina” kami mendengar dan kami membangkang. Mereka hakikatnya mendengar dan mengakui kebenaran perintah Allah Ta’ala namun justru terang-terangan mereka tidak mau menta’atinya atau mengikutinya karena sebab kedengkian atau hawa nafsu mereka, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 46:
مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَٱسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَٰعِنَا لَيًّۢا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِى ٱلدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَٱسْمَعْ وَٱنظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): “Dengarlah” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis,”.
Begitulah macam-macam jawaban manusia dalam merspon perintah dari Allah ataupun Rosulullah yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Hendaknya menjadikan kita tahu dan dapat memilih kelompok mana yang harus kita jadikan panutan. Semoga Allah ta’ala karuniakan kita untuk bisa memilih pilihan yang benar, kemudian istiqomah diatas pilihan tersebut, diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menjalaninya, diberikan ampunan dan akhir yang baik menjadi orang-orang yang menang dan bahagia. Wallahu ta’ala a’lam bishowab.
Refrensi: Diambil dari berbagai sumber di Internet