HARI YANG BERAT
Ustadz Hamzah Baya, S.Pd.I, M.Pd | Qoid Sariyah Pendidikan dan Kaderisasi Markaziyah, Jamaah Ansharu Syariah
Menjalani kehidupan dunia dengan segala tipu dayanya, terkadang menjadikan kita lalai akan misi utama yang harus diemban. Manusia seakan lupa bahwa hidup di dunia tidaklah lama, sementara tahap pertanggungjawaban amal telah menanti dengan pasti. Allah telah mengingatkan kita:
إِنَّ هَؤُلاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلا
Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (Qs Al-Insan: 27)
Ya, peringatan Allah akan kepastian datangnya Yauman Tsaqila (hari yang berat), telah menjadikan para sahabat Rasul senantiasa menangis, bukan karena takut dosa mereka besar, namun karena khawatir amal-amalnya tidak diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Para sahabat yang sudah dijamin surga oleh Allah, mereka selalu menangis, dan takut, amal perbuatan mereka tidak diterima. Mereka takut, saat “Yauman Tsaqila” amal yang mereka harapkan bisa menolong mereka ternyata sia-sia. Boleh jadi, karena amal itu masih banyak dikotori dengan ketidak ikhlasan, riya’, sum’ah dan kesombongan.
Sesuatu yang sangat halus, dan begitu luar biasa lembutnya. Sehingga sahabat mulia ‘Umar Ibnu Khattab pun berandai, “Laitani kuntu mansiya” (Andai saja aku dulu bukan siapa-siapa, dilupakan) saat menjelang ajalnya tiba. Bahkan, Sahabat Abu Bakar pun sempat berandai-andai menjadi burung, “Ya thairu, ma an’amaka, laitani kuntu mitslaka.” (Wahai burung, alangkah enaknya dirimu. Andai saja aku dulu menjadi seperti kamu).Semuanya itu, karena mereka saking takutnya menghadapi “Yauman Tsaqila”.
Begitu panggilan Allah datang, mereka tinggalkan apa saja yang sedang mereka lakukan. Berusaha menyempurnakan amal dengan tidak menambah dosa selalu diupayakan. Mereka selalu ingat sabda Rasulullah:
لَوْتَعْلَمُوْنَ مَااَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
“Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka niscaya kamu akan sedikit bicara dan banyak menangis.” Kemudian para sahabat Rasulullah saw menutup wajah mereka dan menangis tersedu-sedu. (Mutafaq ‘alaih)
Mereka bekerja keras, hingga mereka sanggup berhaji dengan jalan kaki, dari Madinah ke Makkah, Makkah ke Madinah, tidak hanya sekali, bahkan lebih dari 20 kali. Mereka juga sanggup berperang meski terik panas, dan musim kemarau, kering kerontang, dengan bekal yang sangat minim, karena paceklik. Sebagaimana yang mereka lakukan bersama Nabi saat Perang Tabuk, dan peperangan lainnya. Semuanya itu untuk menjadi bekal menghadapi “Yauman Tsaqila”.
Maka, tercatat selama 10 tahun bersama Nabi, mereka pun lebih dari 79 kali berperang. Pun begitu, mereka malamnya selalu mujahadah, dan air mata mereka pun tumpah, karena takut amal mereka yang begitu luar biasa itu tidak diterima, dan tak cukup untuk menghadapi “Yauman Tsaqila”. Mungkin karena mereka paham hadits Nabi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibn al-Jauzi, “Andai saja Anak Adam sanggup mengerjakan amal perbuatan 100,000 Nabi, 100,000 orang Shiddiq dan 100,000 Syuhada’, mereka mengira itu bisa menyelamatkan mereka dari neraka, padahal tidak.” Allah Akbar.
Bagaimana dengan kita? Saat ini mungkin kita masih bisa berteduh dari terik panas matahari di dunia, namun nanti, dapatkah kita menghindar dari teriknya yauman tsaqila. Jika para sahabat yang pengorbanannya sungguh luar biasa, dan mereka selalu mendapat pujian dari Rasulullah saja takut menghadapinya, bukankah kita lebih patut untuk merasakan ketakutan itu? Oleh karenanya, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam menghadapinya.
Semoga kita mendapatkan ampunan dari Allah atas dosa-dosa dan kekhilafan kita. Semoga amal kita diterima oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dan dengannya Allah menempatkan kita bersama Nabi dan para sahabatnya di Jannah
Amin ya Rabbal al-Alamin..