Inspirasi Ujian Akhir Sekolah dari Dialog Hatim Al Ashom dengan Gurunya
Oleh : Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Katib Jamaah Ansharu Syariah mudiriyah Banyuwangi
Bulan-bulan ini para peserta didik pada semua jenjang di berbagai lembaga pendidikan mengikuti Ujian Akhir, baik untuk kenaikan kelas maupun kelulusan dari sekolah. Ujian kelulusan merupakan ujian penentuan pengetahuan dan kemampuan setelah sekian lama peserta didik tersebut belajar, di Indonesia ujian ini dikenal dengan nama UN.
Setelah sekian lama diadakan, ada beberapa pihak yang ingin agar UN dievaluasi dan bahkan dihentikan karena berbagai alasan. UN mendorong guru untuk mengajar sekadar untuk tujuan lulus ujian (teaching to the test). UN juga kurang bisa menggambarkan perkembangan kemampuan siswa selama di sekolah. Yang tidak kalah penting, UN hanya dilakukan dalam beberapa hari tapi sangat menentukan masa depan siswa.
Inilah alasan pentingnya untuk mengevaluasi pendidikan di negeri yang dihuni oleh mayoritas penganut Islam ini secara berkesinambungan. Pendidikan di Indonesia adalah bagian penting dari upaya mewujudkan tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu semua komponen bangsa yang terkait harus berperan aktif mewujudkan tujuan pendidikan yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003, “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri . . .”
Untuk menjawab peliknya dinamika dunia pendidikan kita, patut kiranya kita merenungkan Dialog Inspiratif seorang murid yang telah puluh tahun menimba ilmu kepada seorang Guru. Kisah ini terdapat pada Kitab Ayyuhal Walad yang disusun oleh Hujjatul Islam Imam al Ghazali rahimahullahu.
Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim al-A’sham, “Berapa lama kamu telah belajar kepadaku?”
Hatim menjawab: “Sudah selama 33 tahun.” Syaqiq bertanya lagi, “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?” Hatim menjawab, “Ada delapan perkara.”
Syaqiq berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!”
Hatim menjawab, “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong.” Syaqiq kemudian berkata lagi, “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari.”
Murid (Hatim) menjawab:
Pertama, “Ketika aku memperhatikan makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing mempunyai kekasih, dan ia ingin selalu bersama kekasihnya bahkan hingga ke dalam kuburnya, tetapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya. Ia pun merasa kecewa karena kekasihnya tidak lagi dapat bersama masuk ke dalam kuburnya dan berpisah dengannya. Karena itu aku ingin menjadikan amal kebaikan yang menjadi kekasihku, sebab jika aku masuk kubur, maka semua amal kebaikan akan ikut bersamaku.”
Kedua, “Saya memperhatikan (merenungkan) firman Allah:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠)فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (٤١)
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (Qs. An-Nazi’at: 40-41).
Maka saya berusaha keras untuk meneguhkan diri dalam menundukkan hawa nafsu, hingga nafsu saya mampu tegar atau tenang (tidak goyah) diatas ketaatan kepada Allah.”
Ketiga, “Saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (Qs. An-Nahl: 96).
Oleh karena itu, apabila setiap aku memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, segera saja aku serahkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersama-Nya dan tidak hilang (agar kekal di sisi Allah).”
Keempat, “Saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan hartanya, pangkatnya (kedudukannya) dan nasabnya (keturunannya). Kemudian aku memperhatikan firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Qs. Al-Hujurat: 13).
Maka aku berbuat dalam koridor takwa (aku kerjakan konsekuensi takwa), hingga menjadikan aku di sisi Allah, sebagai orang yang mulia.”
Kelima, “Saya memperhatikan manusia dan (saya tahu) mereka saling mencela dan mengumpat antara satu dan lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati (dengki). Maka saya kemudian memperhatikan firman Allah:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (Qs. Az-Zukhruf: 32).
Maka saya kemudian meninggalkan sifat iri hati dan menghindar dari banyak orang, karena saya tahu bahwa pembagian rejeki itu benar-benar dari Allah, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.”
Keenam, “Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, ternyata mereka suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain, akupun kembali kepada firman Allah:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu).” (Qs. Fathir: 6).
Maka aku tinggalkan permusuhan diantara manusia, karena itu setan kupandang sebagai musuhku satu-satunya dan akupun sangat berhati-hati kepadanya, karena Allah menyatakan setan adalah musuhku.”
Ketujuh, “Saya memperhatikan manusia, maka saya melihat masing-masing diantara mereka memasrahkan jiwanya dan menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rezeki. Bahkan ada diantara mereka yang berani melihat kepada firman Allah:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (Qs. Hud: 11).
Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari makhluk melata, sehingga Allah pasti akan menanggung rezekinya. Maka saya menyibukkan diri dengan apa yang menjadi hak Allah dan saya tinggalkan hak saya atas Allah. (Saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku).
Kedelapan, “Saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing dari mereka menyerahkan diri (bertawakkal) kepada sesama makhluk (orang ataupun barang). Ada yang menyandarkan hidupnya kepada sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, sebagian lain karena kesehatan badannya dan simpanannya/tabungannya. Maka saya melihat kepada firman Allah:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya.” (Ath-Thalaaq: 3).
Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.
Mendengar pernyataan-pernyataan Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi mendo’akannya, “Semoga Allah memberi berkah kepadamu…!”
Kedudukan seorang guru dalam Islam sangatlah tinggi derajatnya. Ia memiliki keutamaan yang besar dalam Islam, sebab para guru sejatinya penolong agama.
Seorang guru yang shalih adalah pendidik generasi, pencetak orang-orang hebat, dan pewaris para Nabi. Sebab dari jasa merekalah lahir orang-orang hebat yang dapat membawa perubahan.
Jelaslah, apabila suatu bangsa ingin menjadi bangsa yang maju dan jaya, maka yang seharusnya diperhatikan adalah menjunjung tinggi martabat ilmu, ulama dan para guru. Yaitu dengan memuliakan, menghormati dan menghargai jasa mereka.