Khutbah Jum'at

Khutbah Jumat Edisi 100: “Hidup Mulia Atau Mati Syahid”

Materi Khutbah Jumat Edisi 100 tanggal 3 Shafar 1438 H ini dikeluarkan oleh

Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:

 

 

Hidup Mulia Atau Mati Syahid

(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)

 

KHUTBAH PERTAMA

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

وَقَالَ النَّبِيُ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)

Jamaah Jum’at  hamba Allah yang  dirahmati Allah SWT.

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepadajunjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.

Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.

HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID

Ini adalah sebuah ungkapan yang cukup terkenal, beberapa pemuda kaum muslimin menempelkan sticker-sticker yang berisi kalimat ini di rumah dan kendaraan mereka, sebagian mereka menuliskan dalam motto hidupnya. Kalimat ini menggambarkan cita-cita yang tinggi, hidup dengan kemulian Islam atau kalaupun meninggal dunia, maka diwafatkan sebagai syuhada. Kalimat ini memang sepantasnya menjadi motto hidup kaum Muslimin, karena mereka adalah kaum yang seharusnya memiliki cita-cita yang tinggi. Allah ‘Azza wa Jalla menggantungkan kemulian Islam dengan berjihad di jalannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual beli dengan ‘Inah, memegangi ekor sapi, ridho dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan, tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian”(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Imam Al Albani).

Hadits ini menerangkan ketika kondisi kaum Muslimin hidup dengan tidak mengikuti syariat Islam, karena ekonominya menggunakan system ribawi, sibuk dengan dunia melebihi bekal untuk akhiratnya dan meninggalkan jihad, dimana itu adalah peluang untuk mati syahid, maka kehinaan akan ditimpakan kepada mereka. Sehingga motto “hidup mulia dan mati syahid” hanya sekedar isapan jempol saja.Na’am kita harus memiliki motto “hidup mulia atau mati syahid”.

Syahid secara bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da [arab: شهد] yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan jihad dalam rangka menegakkan kalimat Allah.

Mempersiapkan Diri untuk Mati Syahid

“Apabila tidak ingin berjihad dan bersedekah, maka kenapa kamu ingin masuk surga?”.

Kematian adalah ketentuan yang telah ditentukan bagi setiap makhluk. Mati syahid adalah bentuk kematian yang paling mulia yang telah dipilihkan Allah bagi siapa saja yang dikehendakinya. Setiap mukmin telah diperintahkan untuk bersiap-siap menghadapi kematian. Dan barangsiapa yang mengharapkan kematian syahid, maka ia harus lebih mempersiapkan diri dan lebih rajin menyambutnya agar Allah memilih untuknya.

Dan telah banyak firasat orang-orang tentang sahabat-sahabatnya, mereka memperkirakan bahwa sahabatnya itu akan mendapatkan kematian syahid, hal itu terlihat dari tanda-tanda kemuliaan yang Nampak pada diri mereka, di antara yang diperkirakan akan mendapat kematian syahid adalah, Thalhah r.a. yang telah dikabarkan oleh wahyu, “Ia adalah seorang syahid yang berjalan di atas muka bumi.” Dalam riwayat lain,  “Inilah orang yang telah ditentukan takdirnya sebab Kami mencintainya.”[1]

Bagaimana kita mempersiapkan diri dan bersiaga untuk kematian tersebut agar kita benar-benar termasuk ahlinya? Semoga Allah memberi kita rezeki kematian syahid dalam salah satu bentuknya.

Persiapan pertama untuk kematian syahid adalah taubat yang benar, dalam suatu hadits disebutkan,

“Allah tersenyum pada dua orang laki-laki yang mana salah satunya telah membunuh lainnya, namun keduanya masuk surga. Yang terbunuh itu sedang berjuang di jalan Allah kemudian ia terbunuh, adapun yang lainnya (si pembunuh), ia telah diampuni oleh Allah (karena bertaubat) lalu ia berjuang dan terbunuh juga.”[2]

Bukan suatu hal yang aneh apabila seseorang mendapatkan mati syahid, walau ia mempunyai latar belakang yang sesat namun setelah itu ia bertaubat. Telah banyak diriwayatkan contoh orang-orang yang baru masuk Islam dan sungguh-sungguh dalam berjihad. Sebagian sahabat ada yang pergi ke medan perang Uhud, padahal pada malam harinya mereka minum arak,

“Mereka telah minum arak hingga Shubuh pada hari Uhud kemudian mereka terbunuh mati syahid.”[3]

Karena hal itu terjadi sebelum diharamkannya arak- walaupun ada di antara mereka yang masih minum di Arab setelah diharamkannya, tapi hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk mencari mati syahid, dengan harapan agar dosa-dosa yang telah diperbuatnya dapat terhapus.Dan dalam persiapan menyongsong kematian di jalan Allah maka taubat itu harus diikuti oleh perbaikan dengan cara beramal. Karena Ibnu Umar r.a. telah berkata :

“Apabila sore tiba maka janganlah kalian menunggu pagi, dan apabila pagi tiba janganlah kalian menunggu sore. Dan gunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.”[4]

Ibnu Hajar berkata dalam menerangkan hadits ini, “Lakukanlah suatu perbuatan yang dapat memberimu manfaat setelah kematianmu, perbanyaklah waktu sehatmu dengan berbuat amal kebaikan karena penyakit akan datang dengan tiba-tiba sehingga kamu tidak bisa berbuat kebaikan, maka dikhawatirkan orang yang lupa akan hal itu akan menghadapi hari kiamat tanpa bekal kebaikan.”[5]Juga disebutkan dalam hadits lain yang menerangkan alasan larangan mengharap kematian, yang sabdanya:

“Janganlah kalian mengharapkan kematian dalam keadaan baik karena mungkin saja dia akan menambah kebaikannya, atau dalam kondisi penuh dosa karena mungkin saja dia memohon pada Allah untuk diangkat dosa-dosanya –isti’tab-.”[6]

Kata ‘diangkat dosa-dosanya’ berarti meminta ridha Allah dengan berhenti melakukan dosa dan memohon ampun. Diangkat dosa-dosanya (isti’tab) berarti minta dihilangkan, karena huruf hamzah (dalam kata isti’tab) adalah untuk menghilangkan atau minta dihilangkan dosanya.

Adapun penjelasan tentang petunjuk Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar ia mendapatkan husnul khatimah (akhir yang baik), dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,

“Apabila Allah menginginkan seorang hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah memberikannya, para sahabat bertanya, “Bagaimana Allah memberikannya?” Rasulullah menjawab, “Allah akan memudahkannya untuk melakukan amal kebaikan sebelum iamati.”[7] Bahwa sesungguhnya memperbanyak ingat mati dan hisab (hari perhitungan) akan memberikan motivasi untuk terus memperbaiki amal perbuatannya. Dan semoga Allah memberi kita dalam ketaatan-Nya dan memberi kita hidup yang husnul khatimah.

Ketulusan usaha seseorang untuk mendapatkan syahadah (mati syahid) tidak akan terbukti tanpa ada pengorbanan, karena berjihad harus dilakukan dengan jiwa dan harta, dan keduanya dapat dilakukan dengan mendermakan harta dan mengorbankan jiwa. Jika tidak siap untuk berkorban dan berderma, maka bagaimana ia akan mendapatkan surga? Basyir bin Khashashah telah datang kepada Rasulullah SAW.

Untuk membai’atnya, ia minta dibebaskan dari dua kewajiban yang merupakan syarat bai’atnya, maka ia berkata: “Saya tidak mampu dengan dua syarat itu; jihad dan sedekah. Mereka mengatakan, bahwa barangsiapa yang melarikan diri dari medan perang maka berarti ia telah membuat Allah marah, saya takut apabila pergi ke medan perang, diriku akan gemetaran karena takut mati.

Adapun masalah sedekah, demi Allah, saya tidak mempunyai apa-apa kecuali ghanimah (rampasan perang) dan pembagian hasil tanah yang digunakan untuk membiayai kehidupan keluarga dan kendaraannya.” Dia mengungkapkan alasannya tidak ingin ikut berperang karena ia takut melarikan diri, sedang alasannya tidak ingin bersedekah karena harta yang dimilikinya sedikit. Maka Rasulullah SAW. Memegang tangannya dan menggerakannya kemudian berkata, “Apabila engkau tidak ingin berjihad dan bersedekah, maka kenapa engkau mengharap masuk surga?” Kemudian sahabat tersebut berkata, “Saya membai’atnya dengan semua syaratnya.”[8] Masalah ini adalah masalah yang serius; tidak dapat ditawar-tawar dan tidak boleh ditinggalkan.

Dan tidaklah disebut pengorbanan jika tanpa ada keberanian, oleh karena itu orang yang mati untuk membela jiwanya, kehormatannya dan hartanya maka termasuk orang yang mati syahid sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari 2480).

Hal itu agar semangat dalam menolak kedzaliman, sehingga perlawanannya senantiasa hidup dan dikenang dalam ingatan manusia, namun apabila ia tidak diberi kematian syahid (dalam pembelaan) maka ia akan tetap mendapat pahala –dengan izin Allah-.

Maka bagaimana seseorang dapat menyandang gelar mujahid (pejuang) apabila ia tidak ingin berkorban? Padahal jihad itu adalah mengerahkan segenap kemampuan dan usaha yang maksimal dalam membela Islam. Hal itu diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

“Kehidupan manusia yang paling baik adalah bagi mereka; orang yang memegang tali kendali kuda di jalan Allah, ia menaiki di atas punggungnya, setiap mendengar panggilan atau teriakan ia menuju ke tempat tersebut dengan cepat untuk mencari kematian (syahid) atau tempat kematiannya.”[9]

Berkata Ibnu Duraid, “Bersungguh-sungguh berarti orang yang serius dalam menjalankan pekerjaannya.” Ibnu at-Tin berkata juga, “Bersungguh-sungguh berarti orang yang ingin melakukan pekerjaan yang berat.” Dan kesaksian Rasulullah SAW. yang menerangkan bahwa ia telah memperoleh pahala karena mati syahid, yaitu pahala sebagai usaha yang sungguh-sungguh walaupun menghadapi rintangan yang berat. Inilah kondisi orang-orang yang termotivasi untuk mendapatkan syahadah (mati syahid).

Pada contoh pada perang Uhud dimana Anas bin an-Nadhar yang tidak bisa ikut perang Badar, lalu ia berjanji kepada Allah untuk mengganti apa yang telah dilewatkannya, “Jika Allah memberiku kesempatan bersama Nabi SAW maka Allah akan memperlihatkan apa yang aku inginkan dengan sungguh-sungguh.”

Ia telah ikut perang Uhud dan ketika melihat orang-orang mundur, maka ia maju dengan pedangnya dan berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Di manakah engkau wahai Sa’ad? Sungguh aku telah mencium bau surga di perang Uhud ini, ia terus berperang hingga terbunuh. Tidak ada yang mengenalinya kecuali saudari perempuannya yaitu Basyamah atau anak-anaknya. Ia terluka sebanyak 80 lebih tusukan, pukulan pedang dan lemparan panah.”[10]

Dalam menggambarkan kondisinya pada perang Uhud, Sa’ad bin Mu’adz menceritakannya, “Aku tidak dapat melakukan apa yang telah dilakukannya. Hal itu menunjukkan akan keberanian Anas bin an-Nadhar yang luar biasa, namun Sa’ad bin Mu’adz yang tegar dan penuh dengan keberaniannya yang tinggi tetap tidak mampu melakukan apa yang dilakukan olehnya.”[11]

Oleh karena itu, maka janganlah engkau simpan waktu dan usahamu tanpa menolong agamamu dalam hal sekecil apapun. Agar engkau termasuk orang yang benar-benar berjuang di jalan-Nya, dan bersiaplah untuk mendapatkan derajat sebagai mati syahid.

مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).

Kematian bukan tujuan utama, mencari bentuk kematian bukan berarti tindakan bunuh diri dan mengharapkan mati syahid bukan berarti sikap putus asa. Juga tidaklah disebut seorang pengecut orang yang berlindung di dalam parit, tidak pula orang yang mengharapkan hidup adalah orang yang ingin menyempurnakan sebab, begitu juga orang yang pemberani bukan berarti orang yang tidak hati-hati akan bahaya.

Tetapi orang mukmin itu, semakin panjang umurnya maka ia semakin taat, musuhnya semakin tertumpas, dan orang kafirnya semakin ketakutan. Para sahabat pernah merasa aneh terhadap dua orang laki-laki yang masuk Islam secara bersamaan. Salah satunya lebih sungguh-sungguh dibandingkan dengan satunya. Lalu laki-laki yang sungguh-sungguh ini mati maka satu tahun kemudian yang satunya juga mati.

Thalhah bin Ubaidillah melihat, bahwa orang yang kedua masuk surga lebih dulu dibanding orang yang sungguh-sungguh. Rasulullah SAW bersabda, “Kenapa engkau merasa aneh?”, Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, salah satunya sangat sungguh-sungguh kemudian ia mati lebih dulu, tetapi kenapa yang satunya ini masuk surga lebih dulu dibanding yang sungguh-sungguh?” Rasulullah menjawab, “Bukankah ia hidup lebih lama satu tahun dibanding yang sungguh-sungguh?” Para sahabat menjawab, “Ya,” kemudian Rasulullah melanjutkan lagi, “Bukankah ia itu menemukan bulan Ramadhan dan berpuasa, juga melakukan shalat dan bersujud dalam tahun itu?” Para sahabat menjawab, “Ya,” kemudian Rasulullah melanjutkan lagi, “Jarak antara keduanya lebih jauh dibandingkan jarak antara bumi dan langit.”[12]

Bahwa orang yang sudah siap mati syahid berarti ia telah mempersiapkan dirinya untuk menerima apa saja yang akan terjadi. Dan untuk menguatkan dirinya (sabar) untuk tidak lari dari medan perang walaupun kesabarannya dapat merenggut nyawa. Bukhari meriwayatkan, bahwa Nafi ditanya tentang, “Atas apa para sahabat memba’iat RasulullahSAW? Apakah untuk kematian?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Rasulullah memerintahkan mereka untuk sabar.”[13]

Berikut ini ada riwayat shahih dari Bukhari, yaitu hadist yang diriwayatkan dari Salmah yang menetapkan bahwa bai’at itu untuk kematian. Maka, Ibnu Hajar menyambungkan dua riwayat tersebut dengan penjelasan yang sederhana.

Ia berkata, “Perkataan antara bai’at untuk mati dan bai’at untuk sabar tidak ada pertentangan karena yang dimaksud dengan bai’at adalah jangan lari walaupun sampai mati, dan itu bukan berarti harus mati. Itulah maksud yang ditolak oleh Nafi dan digantinya dengan perkataan ‘Tidak, tetapi Rasulullah memerintahkan mereka untuk sabar’, yang berarti tetap sabar dan tidak lari walau mengakibatkan ia mati ataupun tidak.”[14]

Makna ini diperkuat dengan riwayat, bahwa Abi Umamah r.a. telah memohon kepada Rasulullah tiga kali dalam waktu yang berbeda-beda, ia memohonnya untuk diberi kematian syahid, maka Rasulullah SAW hanya berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah mereka dan jadikanlah mereka orang yang menang.”[15] Pada dasarnya, nyawa orang Islam akan menambah kuantitas umat Islam, menguatkan keperkasaannya dan membuat orang-orang kafir takut tetapi walaupun begitu orang Islam siap untuk tegar dan siap untuk bersabar seberat apapun penderitaannya. Pendidikan mental untuk siap mati seperti ini menjadikannya sebagai rasa keberanian untuk mati syahid dalam membela kebenaran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadist:

“Jihad yang paling baik adalah kata-kata yang adil yang diucapkannya di depan penguasa yang dzalim.”[16]

Imam al Ghazali mengomentari maksud hadist tersebut, “Ketika orang-orang yang militan dalam agamanya mengetahui, bahwa perkataan yang paling baik adalah perkataan adil di hadapan penguasa yang dzalim, maka orang yang mengatakan hal itu ia akan mati –sebagaimana disebutkan dalam hadist– mereka mempersiapkan diri untuk menanggung mati dan bersabar atas penderitaan, serta mengorbankan diri untuk mendapatkan yang terbaik dari Allah.”[17] Tanpa tujuan seperti ini maka umat Islam bagaikan selaput lendir, sebagai konsekuensinya bahwa Allah (mencabut rasa takut –wahn– pada hati musuh-musuhmu dan menanamkan rasa takut pada hatimu). Ketika Rasulullah bertanya tentang makna takut – wahn-, beliau menjawab,  “Cinta dunia dan takut mati.”[18]

Rasa takutlah yang menjadikan umat ini terus berada dalam kehinaan dan rela dalam kerendahan. Bagaimana mungkin engkau ingin mendapatkan derajat kesyahidan sedangkan engkau tidak sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah? Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Aisyah r.a. tentang pahala orang yang bersabar atas penyakit tha’un (kusta), sabda Rasulullah.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

 

Wallahul muwaffiq.

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

 

KHUTBAH KEDUA

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ.اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ

اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ.اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

[1]  “Shahih Sunan Ibu Majah” dan al-Bani dalam “Muqadimah,” bab 11, ada dua hadits (hadits no. 102 dengan derajat shahih dan hadits no. 103 dengan derajat hasan).

[2]“Shahih Bukhori” kitab “Al-Jihad,” bab 28, hadits no. 2827 (“Fathu Al-Bari,” 6/ 39).

[3]“Shahih Bukhari” kitab “Al-Jihad,” bab 19, hadits no. 2815 (“Fathu Al-Bari,” 6/31).

[4] “Shahih Bukhari” kitab “Ar-Riqaq,” bab 3, hadits no. 6416 (“Fathu Al-Bari,” 11/235).

[5]  “Fathu Al-Bari,” 11/235 ketika menjelaskan hadits no. 6416.

[6] “Shahih Bukhari” kitab “At-Tamanna,” bab 6, hadits no. 7235 (“Fathu Al-Bari,” 13/220).

[7] “Musnad Ahmad,” 3/106. Imam Tirmidzi telah menshahihkan hadits tersebut dan Arnauth juga telah sepakat dengannya (“Jami’ Al- Ushul,” hadits no. 7588), dan “Shahih Jami’”, al-Bani, haditsno. 305).

[8]  “Musnad Ahmad,” 5/224. Dalam Usud Al-Ghabah (1/230) disebutkan riwayat lain, “Dengan apa engkau mau masuk surga.”

[9]  “Shahih Sunan Ibnu Majah,” al-Bani dalam kitab “Al-Fitan,” bab 13, hadits no. 3212/3977 (Shahih).

[10]  “Shahih Bukhari,” kitab “Al-Maghazi,” bab 17, hadits no. 4048.

[11]  “Fathu Al-Bari,” 7/355 dalam penjelasan hadits no. 4048.

[12]  “Shahih Sunan Ibnu Majah,” al-Bani dalam kitab “At-Ta’bir,” bab 10, hadits no. 3171/3925  (Shahih)

[13]  “Shahih Bukhari,” kitab “Al-Jihad,” bab 110, hadits no. 2958, juga hadits bai’at alal maut dengan no. 2960.

[14]  “Fathu Al-Bari,” 6/118 ketika penjelasan hadits no 2958.

[15]  “Musnad Ahmad,” 5/248. al-Haysamy berkata, “Para perawi hadits ini adalah shahih (“Bulugh Al-Mani,” 22/ 392).

[16]  “Shahih Sunan Abu Daud,” al-Bani dalam kitab “Al-Malahim,” bab 17, hadits no. 3650/ 4344 (Shahih).

[17]  “Ihya Ulumuddin,” 2/343.

[18] “Shahih Sunan Abu Daud,” al-Bani dalam kitab “Al-Malahim,” bab 5, hadits no. 361/4297 (Shahih).

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button