Khutbah Jum'at

Khutbah Jumat Edisi 191: “Pengaruh Kepemimpinan Islam Dalam Kehidupan”

Mteri Khutbah Jumat Edisi 191 tanggal 18 Muharram 1440 H ini dikeluarkan oleh

Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:

 

 

Pengaruh Kepemimpinan Islam Dalam Kehidupan

(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)

 

KHUTBAH PERTAMA

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

وَقَالَ النَّبِيُ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)

Jamaah Jum’at  hamba Allah yang  dirahmati Allah SWT.

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.

MA’ASYIROL MUSLIMIN RAHIMANI WA RAHIMUKUMULLAH!!!

Keberkahan di dalam penegakkan hukum Islam oleh pemimpin Islam.

Sesungguhnya menegakkan agama Allah Ta’ala di bumi berarti perbaikan, keberkahan, dan keberuntungan di dalam kehidupan orang yang beriman baik di dunia dan begitu juga di akhirat. Tidak ada pemisahan antara agama islam dan dunia, dan antara dunia dan akhirat, sebab Islam adalah satu-satunya jalan hidup yang benar untuk di dunia dan di akhirat. Islam adalah petunjuk yang benar yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dan hal ini wajib diyakini, dibenarkan dengan keimanan yang sebenarnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ سدد خطاكم قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وآله وسلم -: «حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِى الأَرْضِ خَيْرٌ لأَهْلِ الأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا». (رواه ابن ماجه، وحسنه الألباني).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullaah – صلى الله عليه وآله وسلم –bersabda: (satu hukum huddud yang diterapkan di bumi lebih baik bagi penduduk bumi daripada turun hujan selama 40 hari pada waktu pagi). HR. Ibnu Majah dihasankan oleh syekh Albaniy.

Sesungguhnya keamanan dan ketenangan dan kebahagiaan di dunia sebelum kehidupan akhirat tidak akan terjadi kecuali dengan tegaknya syari’at Allah Ta’ala di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Yang Allah Ta’ala ciptakan untuk ibadah, tunduk kepada-Nya semata. Dan jika tidak ditegakkan maka manusia akan celaka, tidak terarah hidupnya, tersesat, dan hancur. Dan kita bisa mengambil pelajaran yang demikian dari Negara-negara adi daya yang dianggap modern, maju, berkembang, ada berapa persen kriminalitas, dan  kejahatan di dalamnya baik berupa pembunuhan, pencurian, korupsi, kejahatan seksual pada anak dan dewasa, perzinahan, dll.

Kondisi krisis moral tersebut yang berdampak negatif  kepada aspek politik, ekonomi, budaya, dll, solusi dan perubahan atas hal tersebut sudah pasti akan hanya  bisa diperbaiki, diarahkan, dan dipimpin oleh syari’at Alloh atau hukum Allah, dimana Allah Ta’ala yang menciptakan manusia dan alam semesta ini.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96)

Allah Ta’ala berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa (melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya), pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan (kebaikan yang sangat banyak) dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).

Pengaruh Kepemimpinan Islam Dalam Kehidupan

Periode Khulafa’ Ar-Rasyidin contoh peradaban yang baik. Kita belum pernah mendengar suatu periode sejarah yang lebih sempurna, indah, dan cerah segala seginya daripada periode Khalifah Ar-Rasyidin, yaitu khalifah Abu Bakar As-Shidiq, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum.

Pada periode tersebut, semua kekuatan rohani, akhlak, ilmu, dan sarana fisik saling membantu dan menunjang dalam menumbuhkan manusia sempurna serta mewujudkan peradaban yang baik. Kekuasaan dan pemerintahan kaum muslimin ketika itu termasuk di antara kekuasaan dan pemerintahan raksasa di dunia. kekuatan politik, fisik, dan materialnya mengungguli negara dan bangsa lain. Budi pekerti yang ideal menguasai masyarakat, dan akhlak yang utama menjadi ciri-ciri khas dalam kehidupan kaum muslimin dan juga dalam sistem kekuasaan. Budi pekerti luhur dan keutamaan lainnya berkembang bersama-sama dengan perkembangan perdagangan dan produksi pertukangan. Peningkatan akhlak dan rohani mengiringi perluasan daerah-daerah Islam dan menciptakan peradaban baru.

Tindak pidana dan kriminalitas (kejahatan) relatif sedikit dibanding dengan luasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin dan banyaknya jumlah penduduk, sekalipun banyak alasan untuk berbuat kejahatan. Hubungan antar inidividu, individu dan masyarakat, dan masyarakat dan individu sangat baik.

Sungguh periode tersebut merupakan periode kesempurnaan. Tidak ada manusia yang memimpikan adanya kehidupan masyarakat yang lebih tinggi daripada kehidupan periode itu, dan tidak ada orang yang dapat menbayangkan terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan lebih cemerlang daripada kehidupan dalam periode itu. Semua itu hanya dimungkinkan oleh perilaku tokoh dan pemimpin yang memegang kendali kekuasan, dan orang-orang yang mengawasi tumbuhnya peradaban.

Faktor-faktor lainnya yang memungkinkan terwujdnya masyarakat ideal seperti itu ialah kekuatan akidah mereka, pendidikan akhlak yang mereka terima, dan langkah-langkah serta kebijaksanaan mereka dalam menjalankan pemerintahan. Mereka selalu menghayati agama dan berbudi luhur di mana saja berada. Mereka juga bersih, jujur, khusyu dan tawadhu, baik penguasa rakyat, petugas keamanan, atau pun prajurit. Tidak mungkin pemimpin Islam membela dan bersama penista agama dan pelaku LGBT atas penyimpangan mereka.

Kaum perintis di kalangan sahabat Nabi SAW. memang benar-benar diciptakan agar umat manusia dapat menikmati kebahagiaan hidup di bawah naungan dan pemerintahan mereka. Diciptakan untuk memberi pimpinan yang benar dan tepat, bertujuan lurus, dan berjalan lurus. Mereka benari-benar diciptakan untuk mewujudkan kesejahteraam, agar pada zaman itu dunia dapat menjadi tenang dan tentram, bumi menjadi gemah ripah, dan kehidupan yang indah dapat dialami oleh seluruh umat manusia.

Mereka benar-benar bekerja unutuk kepentingan semua itu dan dengan ketat menjaga kemaslahatan umat. Mereka tidak melihat kehidupan semua itu dan dengan ketat menjaga kemaslahatan umat. Mereka tidak melihat kehidupan ini sebagai sangkar besi atau belenggu yang mencekik leher sehingga perlu ditanggalkan dan dihancurkan. Juga tidak mereka pandang sebagai kesempatan untuk berfoya-foya menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang harus dicari dan dikejar. Di samping itu, mereka tidak memandang kehidupan dunia ini sebagai siksaan dan hukuman yang harus dihindari, atau sebagai meja yang penuh dengan makanan lezat yang harus diperebutkan dengan lahap untuk membuncitkan perut. Segala jenis kenikmatan dan kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak dipandang sebagai harta karun yang harus diperebutkan secara mati-matian. Bangsa-bangsa yang lemah bukanlah mangsa yang harus diterkam secara berlomba-lomba. Kehidupan dunia ini mereka pandang sebagai nikmat karunia Ilahi, penangkal kebajikan, dan sarana untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Di dunia mereka tekun mendekatkan diri ke hadirat Allah dan berusaha mencapai tingkat kesempurnaan manusiawi yang telah disuratkan bagi mereka. Kehidupan dunia mereka pandang sebagai kesempurnaan satu-satunya untuk beramal dan berjuang, sesuai dengan makna firman Allah ‘Azza wa Jalla,

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1) الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2)

“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2).

Dunia ini dipandang sebagai kerajaan Allah yang diamanatkan kepada mereka atas dasar pengertian berikut:

  1. Dilihat dari sudut asal kejadiannya, manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai khalifah(Pemimpin) di permukaan bumi-Nya, sesuai firman-Nya:  “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)
  2. Dilihat dari sudut kenyataan, manusia telah berserah diri kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan tunduk pada hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu, Allah mengamanatkan segala urusan di muka bumi kepada manusia dan memerintahkan untuk menjaga baik-baik penghuninya. Allah SWT berfirman: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55).

“Manusia diizinkan menimati kekayaan di bumi tanpa berlebih-lebihan dan pemborosan. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah SWT:  “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al- Baqarah: 29). Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan manusia-manusia beriman sebagai pengasuh dan penuntun umat dan bangsa-bangsa di dunia, bertugas mengamati tingkah, perilaku, akhlak, dan keinginan mereka, memberi petunjuk kepada yang sesat, mengangkat orang yang terjerumus, memperbaiki orang yang rusak, meluruskan orang yang bengkok, membetulkan mental yang bobrok, membela si lemah dari kezaliman si kuat, membela orang yang teraniaya (mazlum) dari kejahatan orang yang zalim, menegakkan keadilan di muka bumi, dan meratakan keamanan di segenap penjuru. Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali-Imron: 110).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[1] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135).

Seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Jerman mengungkapkan sifat-sifat seorang muslim secara cermat. Ia mengatakan, “Tidak seperti agama Nasrani, Islam tidak melihat dunia dengan kacamata hitam, bahkan ia mengajar kita agar tidak meremehkan dalam menilai kehidupan di muka bumi, dan tidak melebih-lebihkan nilainya seperti yang dilakukan oleh peradaban barat sekarang ini. Agama Nasrani mencela dan tidak menyukai kehidupan di permukaan bumi, tetapi orang-orang barat zaman sekarang yang menganut agama Nasrani berlainan sekali dengan jiwa dan semangat agama yang dipeluknya.[2] Mereka mengincar kehidupan dengan sedemikian rakusnya, seperti rakusnya orang-orang yang sedang lapar menghadapi makanan. Ia menelannya begitu saja tanpa melihat makan yang ditelannya. Sebaliknya agama Islam melihat kehidupan dengan tenang dan hormat. Islam tidak menyembah-nyembah kehidupan, tetapi hanya memandangnya sebagai tahap yang harus kita lalui dalam perjalanan menuju kehidupan yang harus ditempuh, tidak benarlah kalau manusia meremehkannya atau memberi penilaian terlalu kecil terhadap kehidupan di muka bumi. Dalam perjalanan hidup, tidak bisa tidak, kita harus melewati kehidupan di dunia ini, dan hal itu telah ditentukan lebih dahulu oleh Allah SWT. Kehidupan manusia sungguh besar sekali nilainya, tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa kehidupan itu tiada lain hanya sekadar perantara atau sarana.

Islam tidak dapat membenarkan teori materialisme yang dapat mengatakan “kerajaan hanyalah dunia ini”. Tidak pula dapat membenarkan teori agama Nasrani yang mencemohkan kehidupan dengan mengatakan, “Dunia ini bukan kerajaanku”. Jalan Islam adalah jalan tengah antara dua pemikiran tersebut. Al-Qur’an membimbing kita untuk berdoa,: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah: 201).  Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim.

Oleh karena itu, menghargai dunia ini dan seisinya tidak menjadi batu penghalang yang merintangi kegiatan spiritual yang segar. Peningkatan kebutuhan tetap memerlukan materi sekalipun hal itu bukan merupakan tujuan. Kegiatan yang kita lakukan harus bertujuan menciptakan keadaan dan situasi individual serta sosial, atau memeliharanya bila hal itu sudah ada, yang dapat membantu peningkatan kegiatan moral di kalangan manusia, sesuai dengan prinsip tersebut di atas. Islam membimbing manusia untuk memiliki rasa tanggung jawab moral atas perbuatan yang dilakukan, baik yang besar maupun yang kecil.

Setiap muslim wajib memandang dirinya sebagai pribadi yang bertanggung jawab atas keadaan lingkungannya (sekitarnya) dan atas kejadian yang ada di sekelilingnya. Ia diperintahkan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan dalam segala bentuknya, dan pada setiap saat. Mengenai hal itu, Al-Qur’an Al-Karim telah menegaskan, : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali-Imron: 110).

Itulah dorongan moral bagi gerakan perjuangan Islam dan perluasan daerah Islam pada masa lampau, serta dorongan bagi kepemimpinan Islam yang memiliki kekuasaan menegakkan hukum Islam. Pemerintahan Islam bukan atas dorongan menginginkan kekuasaan. Dan sama sekali bukan untuk memperoleh kepentingan ekonomi bagi suatu bangsa. Juga bukan karena ambisi hendak memperoleh kehidupan yang enak dan menyenangkan atas risiko yang lain. Kepemimpinan Islam tidak mempunyai tujuan, kecuali membangun dunia yang lebih baik, yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan segi kerohaniannya, juga keutamaannya. Menurut ajaran Islam, pengetahuan keutamaan mengharuskan orang untuk mempraktekkan pengetahuannya dalam perbuatannya. 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ

Wallahul muwaffiq.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

 

KHUTBAH KEDUA

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ.اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ

اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ.اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

[1]Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.

[2]Muhammad Asad Leopold Weis, Islam at The Cross Roads, hlm. 29.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button