Artikel

Marak Street Fashion, Bukti Penurunan Kualitas Pemuda Hari Ini?

Oleh: Budi Eko Prasetiya, SS | Amir Jamaah Ansharu Syariah Majmu’ah Jember

Lagi viral. Citayam Fashion Week menjelma sebagai fenomena baru di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta. Fenomena Fashion Week di Citayam menular ke beberapa kota di Indonesia. Realita di negeri bersistem sekuler, dimana food, fun dan fashion rame digandrungi remaja yang mengidolakan kebebasan tanpa ikatan aturan agama.

Pemerintah harus serius memantau fenomena ini agar tidak mengganggu ketertiban lalu lintas dan kondusifitas masyarakat. Masyarakat yang sudah kondusif jangan sampai bergejolak resah dan mengadakan resistensi dengan adanya propaganda maksiat dating campaign dan kemunculan lelaki berdandan feminim seolah even ini representasi kaum LGBT.

Mengekspresikan diri bukan sesuatu yang dilarang, asalkan bukan ekspresi bebas tanpa batas yang kebablasan. Termasuk dalam urusan fashion. Jika tanpa rambu-rambu, yang terjadi adalah asal mix and match. Baju buka aurat dianggap trendy. Pakaian sobek bolong-bolong dibilang kekinian.

Bisa jadi, remaja hari ini menganggap itu tren keren karena mengadopsi budaya Barat yang mengabaikan nilai-nilai agama. Budaya yang menyibukkan remaja jadi generasi anti malu. Gak punya malu mengumbar kemaksiatan di depan publik berdalih atas nama kebebasan.

Generasi Islam adalah pilar kebangkitan yang di pundaknya memikul harapan kebangkitan umat, memiliki kemuliaan dan bermanfaat di lingkungan keluarga, masyarakat dan di kehidupan berbangsa-bernegara. Generasi muslim hari ini lebih butuh gerakan dan aksi nyata yang bisa mengubah pandangan mereka untuk terikat dengan Islam. Gerakan yang melahirkan generasi beraqidah kokoh yang tumbuh kesadaran menjaga sholat 5 waktu dan menjaga ketaqwaan dimana pun mereka berada.

Berkaitan fenomena ikut-ikutan trend ini perlu kiranya kita renungkan mendalam Surat Al-Baqarah Ayat 120

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُم بَعْدَ ٱلَّذِى جَآءَكَ مِنَ ٱلْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu,”.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziroo’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”  (Syarh Muslim, 16: 219).

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).

Sebagai seorang Muslim, yang kita perlukan hanyalah kembali ke perspektif dan aturan Islam. Termasuk bagaimana mengarahkan generasi muslim mengekspresikan potensinya. Dikutip dari Buku “Remaja antara Hijaz dan Amerika” yang disusun oleh ustadz Budi Ashari, Lc bahwa Pemuda adalah kekuatan. Kuat fisik, ilmu, posisi, semangat, tenaga, kemampuan, keputusan dan komitmen.

Generasi Muda dalam Perspektif Islam

Pemuda teladan itu ada dalam perspektif al Quran dan Sunnah. Pemuda itu adalah pemuda yang berani berkata tidak untuk maksiat sebagaimana yang Allah firmankan di QS Yusuf ayat 30.

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِى ٱلْمَدِينَةِ ٱمْرَأَتُ ٱلْعَزِيزِ تُرَٰوِدُ فَتَىٰهَا عَن نَّفْسِهِۦ ۖ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا ۖ إِنَّا لَنَرَىٰهَا فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Dan wanita-wanita di kota berkata: “Isteri Al Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata”.

Terjemahan kata فَتَىٰ yang berarti pelayan pada ayat diatas berarti usia muda. Ayat ini ingin menunjukkan bahwa usia muda dimana fisik sedang mencapai puncak idealnya merupakan potensi fitnah. Apalagi jika fisik itu berpadu dengan ketampanan seperti Nabi Yusuf yang dianugerahi Allah ketampanan separuh penduduk bumi.

Tidak ada yang salah dengan ketampanan Yusuf, karena itu adalah anugerah. Sehingga masyarakat saat itu tentunya menyalahkan penggoda yang merupakan istri penguasa. Ternyata Yusuf adalah pemuda yang mampu berkata, “Aku berlindung kepada Allah”.

وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ

“seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh,” HR Bukhari, Muslim.

Usia muda merupakan potensi sekaligus investasi terbaik. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al Hakim)

Mengisi dan memanfaatkan usia muda dijelaskan oleh Nabi dengan kata اِغْتَنِمْ
(Ightinam). Dari kata ini muncul kata “ghanimah” yang berarti harta rampasan perang. Hikmahnya agar kita memahami bahwa usia muda adalah harta mahal yang begitu berharga seperti ghanimah yang diraih dengan penuh perjuangan.

Sentuhan Nabi pada Pemuda Gamang

Dalam menyikapi pemuda gamang yang latah trend kita perlu belajar kepada Nabi dalam merangkul pemuda 16 tahun bernama Aus bin Mughirah al-Jumahi yang lebih dikenal dalam Sirah dengan Abu Mahdzuroh. Strategi mengikis parasit kebencian pemuda gamang pada masanya menjadi potensi kebaikan dan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.

Abu Mahdzurah, termasuk pemuda Quraisy yang paling merdu suaranya. Saat ia mengangkat suara mengumandangkan adzan dengan maksud ejekan, Rasulullah ﷺ mendengarnya. Nabi pun memanggilnya dan mengajaknya berdialog. Abu Mahdzurah menyangka inilah akhir riwayat hidupnya karena ulahnya itu.

Kebanggaan tak terlupakan pun tersirat di balik kalimat Abu Mahdzuroh, “Aku berdiri di hadapan Rasulullah. Rasulullah langsung yang mengajarkan adzan kepadaku.

Nabi pernah memberikan sekantong berisi perak kepada Abu Mahdzuroh. Lalu meletakkan tangannya di atas ubun-ubunnya dan mengusap wajahnya lalu dada dan pusarnya. Kemudian beliau berkata, “Semoga Allah memberkahimu”.

Abu Mahdzurah mengatakan, “Demi Allah, hatiku terasa dipenuhi keimanan dan keyakinan. Dan aku meyakini bahwa ia adalah utusan Allah.” (as-Suhaili dalam ar-Raudh al-Unfu Juz: 7 Hal: 239).

Setelah Abu Mahdzurah beriman, Rasulullah ﷺ mengajarinya adzan. Jadilah ia orang pertama yang mengumandakan adzan setelah Rasulullah meninggalkan Mekah menuju Madinah. Ia terus menjadi muadzin di Masjid al-Haram hingga akhir hayatnya.

Kecintaan dan kebanggaan itu hidup melintasi waktu dalam hidupnya. Seperti kisah Ibnu Muhairiz tentang Abu Mahdzuroh sepeninggal Rasulullah.

Ibnu Muhairiz berkata :
Aku melihat Abu Mahdzuroh sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki rambut panjang. Aku berkata: Wahai paman, tidakkah engkau potong rambutmu?
Beliau berkata, “Aku tidak akan memotong rambut yang pernah diusap oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan didoakan dengan keberkahan” (Al Isti’ab, Ibnu Abdil Barr)

Nabi mengurusi langsung anak-anak muda yang tak dikenal seperti Abu Mahdzuroh jelas merupakan teladan yang dahsyat. Saat peristiwa itu terjadi perbandingan usianya pun terpaut jauh. Nabi : 61 tahun dan Abu Nahdzuroh : 16 tahun. Adapun, Kenangan usapan dan doa itu hidup selama 60 tahun sampai Abu Mahdzuroh meninggal di Mekkah saat usia 79 tahun.

Saatnya kita untuk memperbarui perspektif dalam membimbing dan membersamai generasi islam untuk mengekspresikan potensinya. Nyalakan semangat iman dan munculkan semangat mereka untuk fastabiqul khoirot dengan pendampingan dan bekal ilmu yang utuh agar tidak mudah gamang ikut-ikutan trend. Generasi muslim adalah mereka dengan potensi besar yang harus dihidupkan kebaikannya agar niat dan semangat mereka berada dalam bingkai yang benar sesuai syariat. Wallahu ‘alam bish showwab.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button