Pemindahan Kiblat, Ujian Keimanan di Bulan Sya’ban
Oleh: ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Katib Jamaah Ansharu Syariah mudiriyah Banyuwangi
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi di Bulan Syaban. Salah satunya pemindahan kiblat ke Ka’bah di Mekah dari semula menghadap Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqsa di Palestina, yang peristiwa tersebut terjadi di pertengahan Bulan Syaban. Sebelum Ka’bah, Rasulullah sempat menjadikan Baitul Maqdis sebagai arah kiblat. Fenomena Rasulullah menghadap Baitul Maqdis ini terjadi tatkala beliau menetap di Mekkah dan satu tahun lebih di Madinah.
Rasulullah begitu mencintai Ka’bah. Ketika shalat beliau mencari sebuah sisi di sekitar Ka’bah yang satu arah dengan Baitul Maqdis. Beliau shalat menghadap ke Ka’bah di antara rukun Yamani dan Hajar Aswad. Dari sudut ini memungkinkannya menghadap Ka’bah sekaligus Baitul Maqdis. Hal ini bisa dilakukan Rasul, karena Ka’bah berada satu jalur di depan Al Aqsa.
Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tidak bisa lagi berkiblat ke arah Ka’bah. Sebab, saat beliau menghadap Baitul Maqdis dari Madinah, maka posisi Ka’bah berada di belakang punggung beliau. Sehingga tidak lagi memungkinkan untuk menghadap Ka’bah sekaligus Baitul Maqdis secara bersamaan seperti yang biasa beliau lakukan di Makkah.
Kemudian Rasulullah berdoa agar Ka’bah dijadikan arah kiblat muslimin. Doa Rasulullah diijabah oleh Allah Swt dengan turunnya surat Al Baqarah ayat 144.
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”.
Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari dengan mengutip riwayat dari Ibnu Abbas, pada saat Nabi hijrah, mayoritas penduduk Madinah dihuni oleh umat Yahudi. Mereka menghadap ke Baitul Maqdis dan Allah memerintahkan Rasul untuk menghadap ke arah yang sama.
Hal tersebut membuat umat Yahudi senang dan bangga. Pada dasarnya, Rasulullah amat menyukai Ka’bah sebab inilah kiblat leluhur beliau, Nabi Ibrahim. Rasulullah pun menengadah ke langit seraya berdoa. Lalu turunlah ayat pengalihan Ka’bah tersebut.
Sementara dari riwayat Mujahid, keinginan Rasul untuk memindahkan kiblat, didasari oleh perkataan Yahudi, mereka mengatakan “Muhammad berpaling dari ajaran kita tetapi mengikuti kiblat kita”. Setelah itu, turunlah perintah pengalihan kiblat
Ada tiga hikmah dialihkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-wasith.
Pertama, ahlul kitab mengetahui kebenaran bahwa kiblat Nabi mereka berada di Ka’bah. Atas landasan ini, Nabi Muhammad yang menghadap Baitul Maqdis menjadi bahan cercaan dan hujatan. Di sisi lain, kaum musyrik berpandangan bahwa seorang utusan dari keturunan Nabi Ibrahim diutus untuk menyempurnakan ajaran Nabi Ibrahim.
Mereka pun mengolok, bahwa tidak masuk akal rasanya, jika keturunan Nabi Ibrahim tidak menghadap ke arah kiblat Ibrahim. Dengan berpindahnya arah kiblat, Allah telah mematahkan argumen-argumen kelompok penentang Rasulullah ini.
Kedua, kesempurnaan nikmat Allah terhadap bangsa Arab dan umat Islam. Sesungguhnya Nabi Muhammad berasal dari bangsa Arab, Al Qur’an pun diturunkan dalam bahasa Arab. Bangsa Arab akan senang tatkala Ka’bah dijadikan kiblat, sebab di sanalah tanah air serta kebanggaan mereka berada.
Ketiga, mempersiapkan umat Islam yang lebih kokoh. Seorang muslim sejati tentunya akan taat terhadap segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kendati hinaan dan ejekan deras dialamatkan kepada umat Islam, namun mereka tidak terpengaruh dan tetap taat kepada perintah Rasul. Hal ini menjadi bukti bahwa keimanan mereka terhadap Allah dan utusannya hari demi hari kian bertambah kokoh.