Artikel

Tipikal Anak dalam Al-Qur’an, Ketenangan Hati atau Ujian Kehidupan?

Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Amir Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Tapal Kuda

Setiap orang tua pasti menginginkan kebahagian dan bangga melihat kesuksesan anak-anaknya.

Kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anak adalah sesuatu yang wajar dan lumrah. Namun, yang tidak lumrah manakala hal ini diwujudkan dengan menghalalkan berbagai cara dan melanggar aturan Allah Sang Pemilik Alam Semesta.

Kita ambil contoh, sang orang tua yang memiliki bisnis dengan aset dan omset besar wajar menginginkan anak-anaknya meneruskan apa yang dirintis dan membesarkan bisnis tersebut.

Mereka pun menyiapkan anak-anaknya untuk belajar mengelola dan membesarkan bisnis itu. Dibekalilah sang anak dengan ilmu, dilatih keterampilan dan dibekali mindset agar tangguh ketika menerima estafet bisnis tersebut.

Demikian pula para orang tua dengan beragam latar belakang keilmuan dan profesi. Mereka pun ingin anak-anaknya menjadi penerusnya. Tentu ini dengan persiapan yang matang dan tidak aji mumpung serta numpang nama besar orang tua semata.

Mari kita memotret bagaimana kedudukan anak dalam Islam dan bagaimana Aturan Islam membingkai dengan indah cara orang tua memberikan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.

Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa bagi para orang tua. Anak juga amanah dan perhiasan bagi mereka, sekaligus kebanggaan di kemudian hari. Namun di samping itu, anak juga bisa menjadi fitnah atau ujian, bahkan menjadi musuh bagi para orang tuanya.

Kapankah seorang anak bisa menjadi musuh, ujian, perhiasan, dan menjadi penyejuk hati? Al-Qur’an telah mejelaskan berbagai tipikal anak kepada kita semua.

Pertama, anak sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Tipikal ini menjadi yang terbaik dan tertinggi dari seorang anak. Hal itu sebagaimana terungkap dalam doa Al-Qur’an berikut ini.

رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan [25]: 74).

Para ulama tafsir menyebutkan, maksud  qurrata a’yun dalam ayat di atas adalah anak-anak yang saleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama.

Tak heran jika anak yang memiliki perangai ini menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi kebanggaan dan pembela bagi para orang tua di dunia dan akhirat. Namun, tipikal anak ini tidak lahir begitu saja. Dibutuhkan perjuangan keras dari orang tua untuk mengasuh, membina, dan mendidiknya.

Kedua, anak sebagai perhiasan dunia. Hal itu sebagaimana yang diungkap ayat berikut: 

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).

Namun, kecintaan yang berlebihan membuat para orang tua terlena dan seringkali mengabaikan hal-hal yang membahayakan sang anak itu sendiri. Mereka lupa, jika perlakuan yang diberikannya justru akan merusak masa depan anak kesayangannya. Karena itu, dalam ayat lain, Allah mengingatkan agar kekayaan dan keturunan tidak sampai melalaikan para hamba-Nya.

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi, (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).

Ketiga, anak sebagai fitnah atau ujian, sebagaimana yang diungkap dalam ayat: 

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

 “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun [64]: 15).

Mungkin ini pula yang dimaksud anak sebagai amanah atau titipan yang diharus dijaga dengan sebaik-baiknya, dipenuhi hak-haknya, disayang, dirawat, dididik agar memiliki masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tuanya. Ingatlah Allah memiliki balasan yang besar bagi mereka yang menjaga amanat ini.

Keempat, anak menjadi musuh. Hal itu diungkap dalam ayat berikut.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْواجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun [64]: 14).

Maksud sebagai musuh di sini adalah menjadi pihak yang menghalang-halangi jalan Allah, merintangi jalan ketaatan kepada-Nya. Maka hati-hatilah agar tidak dijerumuskan oleh mereka. Ini pula yang terjadi pada sejumlah sahabat yang ingin berhijrah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dihalang-halangi oleh anak-istri mereka.

Lihat: Tafsir at-Thabari, Terbitan Muassasah ar-Risalah, 1420 H, Cet. Pertama, jilid 23, hal. 423).

Namun, mufasir lain mengemukakan, maksud sebagai musuh di sini adalah musuh seperti yang terjadi pada hari Kiamat, dimana antara orang tua dan anak, antara seseorang dengan kerabatnya tidak hanya dipisahkan, tetapi juga bermusuhan, bahkan saling gugat dan menyudutkan, akibat hak masing-masing tidak dipenuhi, kezaliman di antara mereka sewaktu di dunia, dan seterusnya. Hal itu berdasarkan ayat lain yang menyatakan,

“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tidak bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 3).

Demikian empat tipikal anak yang disebutkan Al-Qur’an. Semoga kita senantiasa dikaruniai keturunan yang saleh dan mampu memberi pertolongan kelak di akhirat.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button