WAHAI AYAH – BUNDA PERHATIKANLAH!
Seorang anak berusia 2 tahun ingin naik mobil tetangga, tapi tidak diizinkan. Anak tersebut menangis hingga “klenger”. Apa yang seharusnya dilakukan oleh ibunya?
Seorang ibu (dan tentu juga ayah) harus memahami bahwa kasih sayang itu tidak selalu diwujudkan dengan menuruti semua keinginan anak.
Jika balita kita minta bermain dengan pisau tajam atau silet, maka kita harus tegas mencegahnya. Meski dia nangis sampai “klenger”, bahkan hingga pingsan sekalipun. Sebab itu membahayakan dia. Itulah hakikat rahmah (الرحمة) sejati. Sebab rahmah itu adalah kasih sayang yang diungkapkan untuk kemaslahatan yang disayangi, tanpa membedakan apakah ekspresinya membuat senang ataukah menyakiti.
Seorang ayah yang memaksa anaknya bangun pagi, bahkan memukulnya karena tidak salat, maka itu juga bentuk kasih sayang. Karena pembiasaan bangun pagi dan disiplin salat akan bermanfaat untuk urusan dunia maupun akhiratnya.
Demikian pula dalam hal anak ingin naik mobil tetangga. Ketegasan seorang ibu diperlukan supaya tidak membahayakan anak di masa depan, walaupun anak harus menangis.
Bahaya menuruti anak dalam kasus seperti ini adalah dia bisa belajar bahwa Semua keinginannya harus dituruti dan orang lain harus tunduk pada kehendaknya! Watak ini akan menjadi racun bagi jiwa anak di masa depan. Membuat dia menjadi trouble maker di mana-mana dan berpeluang menjadi sampah masyarakat. Tentu saja jangan memandang bahaya seperti ini lebih ringan daripada bahaya anak-anak bermain pisau. Dibandingkan dengan bahaya narkoba sekalipun, jangan menganggapnya lebih ringan!
Jangankan keinginan yang terkait hak orang lain, keinginan yang dalam kekuasaan kita sekalipun tidak benar jika orang tua selalu menuruti anaknya.
Contoh: Anak ingin main game di ponsel.
Kita punya kuasa untuk menurutinya. Tapi jika dibiarkan berjam-jam setiap hari, maka itu bisa berdampak buruk pada perkembangan jiwa dan kemampuan komunikasinya. Ada salah seorang karyawan di sebuah tempat yang mengeluhkan anaknya yang lambat berbicara dan tidak komunikatif jika diajak bicara atau dengan dengan sekitarnya.
Saat dibawa ke dokter anak, ketahuanlah bahwa penyebabnya adalah karena ibu memberinya ponsel berjam-jam setiap hari dengan alasan agar si ibu bisa melakukan banyak hal. Alhasil sang karyawan dimarahi habis-habisan oleh sang dokter anak dan direkomendasikan berhenti kerja demi sang anak.
Justru dengan keinginan anak naik mobil yang tidak terpenuhi itu kita harus mengajarkan dua pendidikan penting untuk anak (walaupun pendidikan ini tarafnya baru level pembiasaan, belum memberikan pemahaman):
Pertama: Tidak semua keinginan kita dalam hidup terpenuhi.
Manusia memang bebas punya keinginan apapun, tapi yang terjadi hanyalah yang dikehendaki Allah. Dari 10 keinginan kita, andai 1 saja yang terpenuhi, maka itu sudah bagus. Prinsip ini harus sejak dini ditanamkan agar anak bisa menerima ketentuan Allah dan bahwa segala sesuatu itu di bawah keputusan Allah, pengawasan dan takdirNya.
Kedua: Jangan pernah menuntut orang lain tunduk menuruti hawa nafsu kita.
Menuntut orang lain memahami kita akan membuat anak bermental cengeng dan manja. Tidak menjadi pribadi yang kuat. Jika ada masalah, yang harus kita ajarkan adalah bagaimana mencari solusi dan memecahkan masalah. Bukan menuntut orang lain memahami kita dan memenuhi hawa nafsu kita.
Semangat yang diajarkan adalah seperti semut. Saat kita membuat garis di depan semut untuk menghalangi jalannya, maka Si Semut akan mencari jalan alternatif. Jika jalan alternatif itu kita halangi, maka dia akan terus mencari cara. Semut tidak putus asa walaupun 1000 kali kita halangi.
Dia akan terus mencari jalan alternatif selama nyawanya masih di badan. Semut tidak memaki-maki kita dan tidak menyalahkan keadaan. Tapi dia lekas mencari solusi dan jalan keluar sesanggup dia. Ini adalah mental tangguh. Intinya, kita harus mengajarkan anak punya kemampuan self healing yakni bisa menyembuhkan diri sendiri. Bukan menggantungkan nasibnya kepada orang lain.
Si Ibu juga paling tidak bisa belajar 5 sifat dengan peristiwa semacam itu.
Satu: Qana’ah.
Tidak usah iri dengan nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain. Apalagi dengki. Apalagi sampai punya dendam lalu berkata dalam hati “Awas ya, nanti klo aku punya mobil. Kutunjukkan nanti! Huh!”
Tetangga punya mobil ya sudah, alhamdulillah ikut berbahagia. Semoga semakin menambah beliau bersyukur. Saat melihat diri tidak punya mobil, ya tidak usah kecil hati, sebab bisa jadi Allah hendak menyelamatkan dari keburukan. Siapa tahu punya mobil malah sombong, sok dan suka pamer sehingga dibenci Allah. Siapa tahu naik mobil lalu lewat tol, lalu malah kecelakaan dan tewas. Siapa tahu punya mobil lalu hisabnya berat di akhirat karena gagal menggunakan mobil untuk amal saleh.
Qona’ah bermakna menerima pemberian Allah kapadanya. Orang yang punya hati seperti ini adalah orang yang paling damai hatinya.
Dua: Iffah
Makna iffah adalah menjaga kehormatan. Tidak usah meminta-minta. Tidak usah mengharap orang lain. Tidak usah menuntut orang lain memenuhi keinginan kita. Tidak usah berfikir merepotkan orang lain untuk kepentingan kita. Malahan, milikilah sifat malu jika sampai merepotkan orang lain. Cukup berharap kepada Allah saja.
Orang punya watak seperti ini luar biasa terhormat.
Ia anti ngemis. Anti minta-minta. Anti ghasab. Anti pinjam yang sifatnya menjengkelkan pemilik barang. Anti memakai barang orang lain yang membuat orang tidak suka. Tidak suka jadi beban orang lain. Malahan ia selalu ingin meringankan beban orang lain.
Sifat iffah sangat disukai Alllah. Ada pujian khusus kepada orang-orang yang afif di Al-Qur’an. Ciri orang punya iffah itu: orang lain menyangka serba berkecukupan, padahal kekurangan.
Tiga; Ridha dengan takdir.
Harta luas atau sempit itu takdir Allah. Mampu beli mobil atau tidak juga atas ketentuan Allah. Setiap hamba harus bisa menerima bagian hidupnya. Orang yang diberi wadah satu gelas, jangan berharap diisi air satu galon. Yang wadahnya satu galon, jangan berharap diisi air satu tandon. Semua sudah ada ukurannya. Sesuai kemampuan kita.
Mereka yang disempitkan hartanya, sebenarnya Allah sayang kepadanya. Karena peluang orang miskin masuk surga jauh lebih besar daripada orang kaya. Sebab Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa mayoritas penduduk surga adalah orang miskin.
Empat: Zuhud
Sukses itu bukan orang yang bisa mendapatkan kenikmatan duniawi sebesar-besarnya. Jadi, punya mobil dan bisa menyenangkan anak dengan mobil misalnya, bukan tanda kesuksesan di sisi Allah. Semua harta kita adalah amanah. Diberikan kepada siapapapun yang dikehendakiNya. Sukses sejati adalah saat Allah rida kepada kita.
Ridha Allah yang seharusnya kita kejar. Bukan mobil.
Lima: ḥurmatu mālil mu’min (kehormatan harta mukmin)
Harta mukmin itu terhormat. Harus kita hargai. Kepemilikan harta itu syar’i, harus kita hormati.
Buktinya, jika ada orang mencuri harta orang lain, maka hukum Islam menindaknya dengan potong tangan. Ini menunjukkan harta mukmin itu terhormat. Haram bagi kita memilikinya atau memanfaatkannya tanpa izin pemiliknya.
Kalau sampai kita mencuri harta orang lain, maka itu kezaliman. Itu dosa.
Kalau kita sampai memanfaatkan harta orang lain tanpa izin, itu namanya ghasab dan itu juga dosa. Jenis kezaliman juga. Jadi, jangan sampai kita memakai mobil orang lain, tapi yang punya tidak suka. Ini minimal syubhat, bahkan bisa tergolong jenis kezaliman.
Kembali ke kasus anak kecil ingin naik mobil tetangga.
Jika memang kita harus bisa menerima anak tidak terpenuhi keinginannya, apa yang harus kita lakukan dengan tangisannya?
Biarkan anak menangis. Jangan dicegah. Tangisan itu baik untuk kesehatan jiwanya. Karena meluapkan kekecewaanya dan dia bisa menjadi lebih tenang dengan tangisannya. Jika sudah cukup, maka segera lakukan ilhā” (الالهاء), yakni mengalihkan perhatiannya.
Seperti cara para Sahabat saat melihat anak-anaknya menangis kelaparan saat dilatih puasa Ramadan. Mereka segera mengalihkan perhatian anak-anaknya dengan diajak bermain, diberi permainan dan lain-lain hingga lupa laparnya dan bisa puasa sampai maghrib.
Penyikapan sang ibu dengan sikap tetangga jangan dicampur adukkan. Karena amal masing-masing berbeda.
Pembahasan di atas adalah sikap ideal seorang ibu dan ayah secara umum.
Adapun tetangga, maka tentu saja akhlak yang indah jika berbuat baik kepada tetangganya. Hanya saja perbuatan baik itu harus ditegaskan mana yang wajib dan mana yang sunah. Memberi makan tetangga yang kelaparan dan nyaris tewas adalah wajib. Tapi mengirim hadiah atau masakan atau buah-buahan adalah sunah.
Posisi menyenangkan anak tetangga adalah kebaikan, tetapi bukan kewajiban. Jika tetangga menolak maka beliau tidak berdosa, tidak bisa dicela dan tidak bisa dituntut. Jadi keliru menyinyiri tetangga yang menolak sesuatu yang bukan kewajibannya. Kita yang harus tahu diri.