Artikel

Hijab Perjuangan Hakiki Muslimah

Oleh Moch. Agus Surosyid, MT. NLSQ
Qoid Siyasah Wal Alaqot Jamaah Ansharu Syariah Jawa Timur

Benarkah negara-negara Barat menghargai kebebasan menjalankan agama termasuk urusan jilbab umat Islam?

Jika kita menengok 170an tahun yang lalu, gaya busana wanita barat atau eropa banyak diilhami oleh cara wanita Muslimah dalam berbusana.

Sejarah mencatat, Fanny Kemble, aktivis yang anti busana tertutup yang menurutnya itu mengekang kaum perempuan mulai mempopulerkan busana yang lebih terbuka.

Walaupun menurut gereja hal itu melanggar wilayah laki laki. Pemikiran model busana Kemble yang terbuka itu terbawa hingga ke Amerika Serikat. Disambutlah oleh Aktivis perempuan Amelia Bloomer.

Amelia Bloomer mengenakannya dan dimuat di Majalah The Lily pada 1851, dan di Amerika Serikat disebutlah dengan “gaun Bloomer” yang kemudian dengan cepat menjadi tren saat itu. Walaupun lagi lagi, Gereja menyebutnya dengan pakaian yang terlalu cabul.

Seiring waktu, gaun Bloomer menjadi biasa, dan justru evolusi fashion perempuan menjadikan penampilan mereka kian berani. Perubahan paling mencolok terjadi usai Perang Dunia Pertama, dengan munculnya apa yang dinamakan era Flapper. (dikutip dari Media Republika, Nashih Nashrullah, 2020).

Flapper adalah sebutan untuk perempuan muda Barat pada 1920- an yang mengenakan rok pendek, rambut dibiarkan menyembul dari penutup kepala, mendengarkan musik jazz, dan memamerkan kebencian mereka untuk apa yang kemudian di anggap perilaku yang dapat diterima.

Flapper dipandang sebagai budaya yang kurang ajar karena memakai make-up berlebihan, minum minuman keras, membincang soal seks secara santai, merokok, mengemudi mobil, dan sebaliknya mencemoohkan norma norma sosial dan seksual.

Budaya ini juga tumbuh subur di Eropa seiring ekspor budaya jazz Amerika ke benua itu. Jadi Awal busana terbuka dari Eropa hingga ke Amerika, disambutlah lalu dengan lebih terbuka dan kurang sopan dibawa ke Eropa kembali. Itu sedikit wawasan tentang busana bagi kaum perempuan.

Berlanjut ke seorang Model Busana Amerika, Halima Aden namanya. Dia membuka suara terhadap tindakan diskriminatif yang diterimanya selama menggeluti kariernya di bidang fashion. Wanita keturunan Somalia-Amerika itu mengungkapkan keputusannya tidak berpartisipasi dalam pekan mode dua tahunan di London, Paris, New York, dan Milan.

“Mereka bisa menelepon saya besok dan bahkan tidak dengan 10 juta dolar AS saya akan mengambil risiko mengorbankan hijab saya lagi,” kata model jebolan Miss Minnesota USA itu yang dikutip di Voice, Kamis (26/11). (dikutip dari ihram.co.id, 2020).

Dalam aliran postingan yang dibagikan melalui Instagram story, Aden menyoroti kampanye dan pemotretan tertentu di mana dia tidak senang dengan cara jilbabnya ditata atau diganti dengan item pakaian. Ia pun memutuskan berhenti dari peragaan busana.

Halima kini membubuhkan kalimat “deen over dunya” (agama nomor satu dibandingkan kenikmatan dunia) di profil Instagramnya.
Kejujurannya disambut baik oleh sesama model dan wanita Muslim lainnya, yang telah menyatakan solidaritas dan menggambarkan perjalanannya sebagai inspirasi.

Leomie Anderson membagikan salah satu postingan Aden bersama dengan keterangan, “Tolong semua orang pergi dan membaca cerita [Instagram Halima] dan pelajari lebih lanjut tentang perjalanannya sebagai model hijabi di industri dan betapa mudahnya sebagai minoritas untuk merasa Anda perlu berubah agar bisa diterima. Sangat penting bagi kami membagikan cerita kami untuk menginspirasi generasi mendatang menemukan suara mereka!”

Model Ugbad Abdi, Bella Hadid dan Gigi Hadid pun turut memberikan dukungannya untuk Aden. Aden yang lahir di kamp pengungsian di Kenya ini menjadi model pertama yang mengenakan hijab pada cover British Vogue saat tampil di depan majalah fashion 2018.
(dikutip dari voice-online.co.uk)

Dari berita tahun 2021 ini sebagai contoh perjuangan muslimah : sekitar 80 warga London, Ontario, Kanada hadir di acara ini untuk mendidik publik tentang jilbab dan perlunya melawan Islamofobia.

Acara yang dimulai pukul 17.00 waktu setempat ini menampilkan beberapa pembicara dari Muslim Association of Canada (MAC) dilanjutkan dengan jalan-jalan solidaritas mengelilingi Victoria Park dan mengheningkan cipta untuk korban keluarga Muslim yang terbunuh di London.

Acara ini bagian dari sejumlah pertemuan yang diadakan di seluruh negeri untuk mendorong pemerintah mengatasi masalah Islamofobia di Kanada. (dikutip dari tempo, Juni 2021).

Kita lihat juga bagaimana hijab di negeri tercinta Indonesia. Hijab di Indonesia sudah menjadi lebih populer sejak dua dekade belakangan ini. Sejarah mencatat bahwa budaya pemakaian hijab sebenarnya ada sejak abad ke-17. Tidak ada data yang pasti terkait dengan jumlah pemakai hijab di Indonesia secara menyeluruh.

Namun sebuah survei pada 2014 melaporkan ada sekitar 63,58% dari 626 responden perempuan muslim yang mengatakan bahwa mereka telah memakai dan akan memakai hijab dan hanya sekitar 4,31% dari mereka yang tidak akan memakai hijab. (sumber theconversation.com).

Berdasarkan catatan sejarah, hijab pertama kali dipakai oleh seorang muslimah bangsawan dari Makassar, Sulawesi Selatan pada abad 17.

Cara berhijabnya lalu ditiru oleh perempuan Jawa pada awal 1900-an setelah berdirinya organisasi perempuan muslim Aisyiyah, yaitu salah satu organisasi Islam terbesar yang sampai saat ini cukup berpengaruh di masyarakat melalui kegiatan pendidikan, ekonomi, sosial dan juga kesehatannya.

Selama Orde Baru, pemerintah sempat melarang pemakaian hijab di sekolah-sekolah. Pemerintahan di era Soeharto secara ketat mengendalikan isu agama di arena publik. Pemerintah beranggapan bahwa hijab adalah simbol politis yang berasal dari Mesir dan Iran yang situasi politiknya tidak sama dengan situasi budaya Indonesia. Pemerintah saat itu khawatir bahwa hijab akan dijadikan sebagai identitas politik yang akan mengganggu stabilititas pemerintah.

Setelah itu, pemakaian hijab semakin diterima di masyarakat. Tidak lama kemudian, hijab telah menjadi tren terbaru di kalangan para muslimah. Hal ini juga didukung oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, telah menyatakan bahwa hijab adalah pakaian ideal untuk muslimah. Pengakuan dari kedua organisasi inilah yang menjadikan semakin banyak orang yang menerima hijab sebagai pakaian ideal bagi muslimah di Indonesia.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button