Khutbah Jumat Edisi 071: “Bagaimana Memperbaharui Iman”
Materi Khutbah Jumat Edisi 071 tanggal 7 Rajab 1437 H ini dikeluarkan oleh
Sariyah Da’wah Jama’ah Ansharusy Syari’ah dapat download di:
Bagaimana Memperbaharui Iman
(Dikeluarkan Oleh Sariyah Dakwah Jama’ah Ansharusy Syari’ah)
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَلاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ، قَدْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِهِ حَقَّ جِهَادِهِ
اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. وَقَالَ: وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
وَقَالَ النَّبِيُ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بَخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، حديث حسن)
Jamaah Jum’at hamba Alloh yang dirahmati Alloh SWT.
Segala puji bagi Alloh SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepadajunjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.
Khotib berwasiat kepada diri sendiri khususnya dan jama’ah sekalian marilah kita bertaqwa kepada Alloh dengan sebenar-benarnya taqwa, semoga kita akan menjadi orang yang istiqamah sampai akhir hayat kita.
Bagaimana cara kita memperbaharui iman?
Jawaban tuntas dari petanyaan ini tentunya bukan pada lembaran-lembaran dan risalah tipis ini. Namun secara sekilas kita dapat membahas sebagiannya. Yah, sekedar menunjukkannya …. siapa tahu dapat mencukupi untuk sementara waktu…
Manusia yang mendapat taufiq adalah mereka yang memahami substansinya, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain.
Urusan memperbaharui iman adalah adalah urusan yang mudah bagi mereka yang dimudahkan oleh Alloh dan serius mempersiapkan hati, jiwa, dan ruhnya untuk itu.
Ada banyak wasilah yang dapat membantu seorang hamba di dalam memperbaharui imannya. Di antaranya; berziarah kubur dan mengunjungi orang-orang yang shalih lagi bertakwa: para ulama terpercaya, para mujahid, dan para mukhlishin. Juga, membaca shirah as-salafusshalih, shirah para ahli ibadah, ahli zuhud, para mujahid, para penyeru kebenaran, orang-orang yang sabar, dan orang-orang yang pandai bersyukur. Juga membicarakan shirah mereka bersama dengan beberapa ikhwan, merenungi catatan sejarah, mengupayakan peningkatan intensitas ibadah daripada yang sudah-sudah, melaksanakan ‘umrah di bulan Ramadhan bagi yang mampu, menyendiri selama beberapa saat setiap hari untuk merenung, dan memperbanyak bacaan al-Qur`an, doa, qiyamullail, serta sedekah.
Berikut ini adalah sedikit pendetailan dari beberapa wasilah tersebut.
- Membaca shirah as-salafus shalih
Membaca perjalanan hidup orang-orang yang zuhud akan mentarbiyah hati supaya zuhud. Membaca perjalanan hidup para mujahid dan para syuhada` akan menjadikan hati tergantung pada langit, seakan-akan hidup bersama mereka, terilhami oleh mereka, dan berandai-andai menjadi salah seorang dari mereka. Bahkan dengan membacanya seseorang dapat merasakan bahwa dirinya tengah berbaris bersama mereka dan seakan-akan senantiasa berperang dan berkeliling di medan peperangan…
Betapa perjalanan hidup Khalid bin Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Jarah, ‘Ikrimah, Miqdad, dan Mutsanna bin Haritsah, betapa perjalanan hidup mereka telah menghidupkan sekian hati yang mengenal mereka. Betapa itu telah mengobarkan semangat sekian kaum untuk menggapai syahadah di jalan Alloh. Betapa juga telah menggelorakan jiwa untuk mencurahkan segala potensi yang ada, menyirami pohon Islam nan agung ini dengan darah para syuhada`.
Karena itulah dahulu para sahabat mengajarkan perang-perang Rasulullah SAW kepada anak-anak mereka sebagaimana mereka mengajarkan satu ayat dari al-Qur`an.
Sebenarnyalah, shirah seorang lelaki ~hanya seorang~ seperti Khalid bin Walid akan mampu menghidupkan hati seluruh ummat, membangkitkan himmahnya, dan menguatkan ‘azamnya. Karena itulah sebagian lembaga sekuler menyarankan untuk tidak mengajarkan kitab ‘Abqariyatu Khaalid’ (Kejeniusan Khalid) yang sudah sekian lama menjadi kurikulum tetap di sekolah-sekolah menengah. Menurut mereka kitab ini membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi para pelajar seusia mereka. Padahal sebenarnya buku ini jauh dari ‘memadai’ bagi siapa pun yang ingin mengkaji sirah Khalid bin Walid secara komprehensif. Itupun telah membawa pengaruh yang dahsyat ~Wazi’uddien nyaris mati karenanya~ bagi ummat.
Shirah Khalid bin Walid dan orang-orang yang semisal dengannya menjadikan seorang muslim memandang rendah terhadap dunia, daya tariknya, dan kelezatannya yang fana. Ia akan menjadikan seorang muslim mencintai kematian. Ia akan menjadikannya melangkah di alam buana sementara semangatnya melambung ke angkasa. Ia juga akan memandang kerdil terhadap dirinya sendiri yang senantiasa memikirkan dan selalu tergantung kepada materi dan kenikmatan sesaat. Betapa shirah manusia seperti mereka telah mengikis faktor-faktor kegentaran dan sebab-sebab ketakutan serta tipu daya setan dari dalam hati. Alangkah banyak hati yang telah diantarkannya ke ‘istana’ tawakkal yang benar kepada Alloh.
Membaca shirah ahli zuhud dan orang-orang shalih akan menumbuhkan ‘pohon’ zuhud terhadap dunia di dalam hati. Terus membacanya berarti menyirami pohon itu hingga akhirnya akan tumbuh besar dan menghasilkan buah setiap saat, dengan izin Rabb-nya.
Shirah ahli ibadah akan mendidik diri untuk mencintai shalat malam, shiyam sunnah, dzikir, doa, khusyu’, dan tangis.
Sebelum saya akhiri pembicaraan tentang masalah ini saya ingin mengingatkan adanya dua hal penting:
Pertama, hendaknya shirah yang dibaca bukan shirah mereka yang hidup sampai zaman tertentu, tetapi hendaklah dimulai dari zaman sahabat sampai zaman kita hidup ini.
Kedua, membaca shirah ini hanya akan berbuah seperti yang diharapkan manakala hati orang yang membacanya saat itu benar-benar kosong dari berbagai kesibukan dan halangan. Ia mesti hidup dengan perasaan, hati, dan seluruh bagian tubuhnya bersama sirah mereka yang semerbak itu. Orang yang membaca shirah ini mesti membebaskan diri dari berbagai halangan dan pautan yang menghalanginya dari menyelami lautan nikmatnya.
Jika misalnya untuk memberikan pelajaran yang disarikan dari perjalanan hidup mereka ~khususnya pelajaran keimanan~ disyaratkan yang membacanya haruslah seorang aktivis teladan, yang telah dikaruniai ilmu yang melimpah tentang Alloh dan perintah-Nya, juga telah dikenal ketakwaan, keshalihan, dan perjuangannya di jalan Alloh, ditambah lagi pemahamannya yang mendalam berkenaan dengan shirah dan tarikh Islam, jika kita dapat memenuhi semua syarat itu, sungguh kita telah melakukan kebaikan yang banyak. Namun pada kenyataannya, syarat-syarat ini tidak ada dalam diri kebanyakan aktivis. Sedikit sekali yang memenuhinya. Kendati jumlah mereka sedikit, peran mereka dalam meningkatkan keimanan sangatlah besar.
- Khalwah
Salah satu sarana untuk memperbaharui keimanan, hendaknya seorang aktivis menyediakan waktu khusus di luar waktu qiyamullail, dzikir, dan tilawahnya, untuk menyendiri. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa seorang yang berakal itu membagi waktunya menjadi empat: salah satunya waktu yang ia isi untuk menyendiri, merenungi diri.
Bagi para aktivis Islam waktu untuk menyendiri ini sangatlah penting. Di saat itu ia dapat menyendiri bersama Rabbnya, Penolongnya, dan Khaliqnya, ia dapat semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada-Nya, ia dapat sungguh-sungguh bersama Dzat yang paling dicintainya, dan di saat itu ia dapat merasakan manisnya bermunajat kepada-Nya.
Selain itu, dengan khalwah ini seorang aktivis bisa mengintrospeksi diri dan menghitung-hitung semua yang telah dikerjakannya tanpa ada gangguan dari orang yang memujinya. Di saat itu ia dapat mengintrospeksi diri sambil menghayati ‘ubudiyyahnya di hadapan Penolong dan Khaliq-nya. Di saat itu pula ia berkesempatan untuk mengingat dosa-dosa, kemaksiatan, keteledoran, dan kealpaan dirinya, khususnya kemaksiatan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang-orang yang selama ini memujinya, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Di saat khalwah inilah ia bisa mencucurkan air mata penyesalan dan taubat nashuha, menangis karena takut, malu, cinta, dan khusyu’ kepada Alloh yang Mahasuci. Semoga saja air mata yang mengalir itu adalah air mata kejujuran yang manfaatnya jauh lebih besar daripada amal yang selama ini dibanggakannya.
Sangat mungkin Anda akan menjumpai seorang aktivis yang telah bertahun-tahun beriltizam namun tak setetes pun air mata membasahi pipinya karena takut dan malu kepada Alloh. Siapa saja yang keadaannya demikian, hendaknya ia mencatat bahwa faedah yang dibawanya dalam dien hampir-hampir tak bisa disebut. Siapa saja yang keadaannya demikian mestinya menyadari bahwa ia tidak termasuk ke dalam salah satu kategori manusia yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW akan mendapatkan naungan dari Alloh di bawah ‘Arsy pada hari tiada naungan selain naungan-Nya. Beliau bersabda,
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan laki-laki yang mengingat Alloh dalam kesendiriannya lalu air matanya mengalir.”[1]
Perhatikan kata ‘khaliyan’ yang berarti ‘dalam kesendirian’ pada hadits di atas. Benar, orang itu berada dalam sunyi, jauh dari sum’ah dan riya`. Ia ditemani oleh kemurnian dan keikhlasannya kepada Alloh ‘azza wa jalla.
Pada saat khalwah ini ia dapat mengingat-ingat nikmat yang telah dianugerahkan oleh Alloh kepadanya, kepada saudara-saudaranya, dan kepada jamaahnya. Ia dapat pula merenungkan ikram dari Allah untuknya; yang terbesarnya adalah nikmat hidayah.
Di saat itu ia akan mengulang-ulang firman Alloh
وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللهُ
“… dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi Kami petunjuk…” (QS. Al-A’raf : 43)
Ia juga dapat memikirkan bagaimana ummat merespons dan menjawab seruannya bukan karena kefasihannya, retorikanya, kekuatan logikanya, atau kemampuan hujjahnya, melainkan karena taufiq dari Alloh, kemurahan-Nya, dan anugerah-Nya secara mutlak.
Demikian seterusnya, ia akan menghitung semua nikmat dalam khalwah itu. Lalu ia tidak lupa untuk mengingat bahwa Alloh telah mencegah musuh darinya dan dari saudara-saudaranya. Jumlah mereka banyak dan kekuatan mereka besar. Ia juga mengingat bahwa Alloh sajalah yang membalikkan tipu daya mereka berbalik kepada diri mereka sendiri, dan bukan karena jihad, perencanaan, persiapan, serangan, atau pengaturan yang dilakukan. Semuanya adalah anugerah dari Alloh, fadllullah. Sekiranya bukan karena anugerah-Nya, semua yang dikerjakannya pasti akan mengakibatkan tindakan biadab musuh terhadapnya dan saudara-saudaranya serta menjadi faktor utama kehancurannya. Hanya Alloh yang menyelamatkan (QS. Al-Anfal : 43). Ia juga memikirkan betapa semua nikmat ini mesti disyukurinya dengan sangat. Lalu, mana kesyukuran itu? Sudahkah ia bersyukur?!
Pada saat khalwah itu, ia dapat mengingat-ingat cobaan dan musibah yang menimpanya dan juga saudara-saudaranya, kalau-kalau faktor penyebabnya adalah dosa-dosanya, apalagi jika ia menduduki posisi qiyadah dan jajarannya. Kemudian hatinya terus mengumandangkan firman Alloh
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“… Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”… ”(QS. Ali ‘Imran : 165)
Dan selanjutnya ia bertekad untuk bertaubat dari dosa-dosa itu, menambal lubang, dan memperbaiki aib diri. Atau bertekad untuk yang semisal dengan itu, jika kemaksiatan dilakukan oleh saudaranya. “Turunnya bala` itu hanyalah karena dosa, dan baru diangkat karena taubat.” Demikian menurut penuturan sebagian salaf.
Dalam khalwah itu ia akan membiasakan diri untuk memperhatikan faktor-faktor turunnya bala` dengan seksama menurut kaca mata syariat, bukan kaca mata dunia.
Masih banyak hal lain yang tidak bisa saya sebutkan dalam lembaran-lembaran ini. Namun saya yakin, keluasan pemahaman dan kemampuan akal Anda semua akan menuntun Anda dalam mengetahui semuanya, semua yang belum sempat saya sebutkan di sini.
- Melakukan aktivitas penumbuh tawadhu’
Salah satu sarana untuk memperbaharui keimanan, pada waktu tertentu hendaknya seorang aktivis melakukan suatu aktivitas yang dapat mendidiknya untuk bersikap tawadlu’ dan menghilangkan faktor ‘ujub dari diri. Terlebih pada saat seorang aktivis merasa mulai dijangkiti penyakit ‘ujub ini atau diingatkan oleh salah seorang ustadz atau syekh bahwa ia mulai dijangkitinya. Tentu saja ini dengan catatan, aktivitas yang akan dilakukannya itu tidak melalaikannya dari tugas utamanya dalam dien. Di antara aktivitas itu misalnya: mengambilkan dan memakaikan alas kaki seorang buta yang pulang dari masjid lalu menuntunnya sampai ke rumahnya, ikut membersihkan, mengepel, dan menyapu masjid, terjun langsung membantu anak-anak yatim atau orang-orang sakit dengan memenuhi kebutuhan mereka, atau berangkat sendiri untuk berbelanja kebutuhan salah seorang anak aktivis yang tertangkap musuh.. ini baru sebagian contoh.. dan semua ini akan mendatangkan manfaat yang banyak. Lembaran-lembaran ini tak cukup untuk menyebutkannya.
‘Umar bin Khathab ~siapa yang tidak kenal dia~ pernah memanggul kantung air di atas punggungnya untuk memenuhi kebutuhan air di rumah sebagian kaum muslimin. Saat ditanya ia menjawab, “Aku tengah diliputi sikap ‘ujub dan karenanya aku ingin mendidik diriku sendiri.”
Ia juga mengobati Unta yang kurapan.
Ia juga sering berlomba dengan Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengunjungi salah satu janda Rasulullah SAW untuk memasak atau menyapu di sana, bahkan membuat adonan roti untuk mereka! Hanya saja, Abu Bakar selalu mendahuluinya.
Dalam masalah ini banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan. Namun, sekali lagi dengan syarat tidak melupakan dan melalaikan diri dari tugas utama dalam dien.
- Mengunjungi orang-orang shalih
Salah satu faktor pembaharu iman yang memiliki pengaruh besar dalam hal ini adalah mengunjungi orang-orang shalih, para mujahid, dan orang-orang yang sudah lebih dulu aktif dalam amal islami. Jika perjumpaan dengan mereka saja bisa menjadi bekal di jalan iman, lalu bagaimana dengan bermajlis bersama mereka, bersahabat dengan mereka, mendengarkan mereka, belajar dari mereka, membaca shirah mereka yang harum semerbak, dan sirah kawan-kawan mereka, para mujahid dan orang-orang shalih?! Bagaimana pula dengan kezuhudan mereka, kecintaan mereka kepada akherat, kecintaan mereka kepada kematian di jalan Alloh, dan pengorbanan mereka untuk dakwah, amar makruf dan jihad?!
Kunjungan seperti ini ibaratnya menjadi charge bagi baterei iman seorang aktivis yang hampir habis. ‘Umar bin Khathab pernah berkata, “Jika bukan karena tiga perkara aku tidak senang menetap di dunia ini; ~kemudian beliau menyebutkan salah satu dari ketiganya~ berkumpul dengan kaum yang memilih kalimat yang baik seperti kalian memilih korma yang baik.”
Kiranya perumpamaan terbaik untuk itu adalah kepergian Musa untuk menemui Khidlir dan belajar darinya, kendati Musa memiliki kedudukan yang begitu tinggi, kendati ia lebih afdlal daripada Khidlir. Musa telah berkata,
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (٦٦)
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi : 66)
Ada juga murid-murid Mu’adz bin Jabal, orang-orang yang sangat mencintainya, yang selalu berada di sekelilingnya, belajar darinya, mereka menangis sedih mengkhawatirkan perpisahan dengannya ketika Mu’adz sakit keras menjelang kematian. Yang demikian ini karena mereka merasa akan kehilangan sebuah majelis imani yang agung. Majelis di mana Mu’adz bin Jabal memperbaharui iman mereka, mengajarkan hikmah, mengajarkan ilmu tentang Alloh dan mengajarkan ilmu tentang perintah-Nya kepada mereka. Yazid bin ‘Umairah mengisahkan, “Ketika Mu’adz bin Jabal menderita sakit keras menjelang ajal, hal mana terkadang ia pingsan dan terkadang tersadar, sampai suatu saat ia pingsan cukup lama dan kami pun mengira saat kematiannya telah tiba, aku menangis di hadapannya tatkala tiba-tiba ia tersadar. Ia bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku pun menjawab, “Demi Alloh, aku tidak menangis karena dunia yang aku dapatkan darimu. Pun bukan karena kedudukanku di hadapanmu. Tetapi aku menangis karena akan hilangnya ilmu dan hikmah yang aku dengar darimu.” Mu’adz berkata lagi, “Jangan menangis! Sesungguhnya ilmu dan iman itu pada tempatnya; barangsiapa mencarinya niscaya akan mendapatkannya. Carilah ia sebagaimana Ibrahim mencarinya! Sesungguhnya ia telah memintanya kepada Alloh, tanpa disadarinya.” Kemudian Mu’adz membaca ayat
إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
Sesungguhnya aku pergi kepada Rabbku yang akan memberi petunjuk kepadaku”[2]
Mungkin juga para aktivis menziarahi orang tua dari para syuhada`, kerabat mereka, dan sahabat karib mereka untuk mendengarkan kisah hidup mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan Rabb mereka, manusia dan keluarga mereka.
Abu Bakar ash-Shiddiq dan ‘Umar bin Khathab pernah mengunjungi Ummu Aiman, sang pengasuh Rasulullah, sebagaimana beliau pun pernah mengunjunginya untuk mengingat hari-hari bersama Rasul. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, katanya, “Abu Bakar ~setelah Rasulullah wafat~ berkata kepada ‘Umar, ‘Mari kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasul pernah mengunjunginya.’ Sesampainya di sana Ummu Aiman menangis. Lalu keduanya bertanya, ‘Apa yang membuat Anda menangis? Sesungguhnya yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?’ Ummu Aiman menjawab, ‘Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, tetapi saya menangis karena wahyu dari langit telah terputus.’ Abu Bakar dan ‘Umar tersentak oleh ucapan Ummu Aiman dan mereka pun menangis bersama-sama.”[3]
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
Wallahul muwaffiq.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
جَمَاعَةَ الْجُمُعَةِ، أَرْشَدَكُمُ اللهُ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ.اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.اَللَّهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَجَنَّتَكَ وَنَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ.اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ
اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَمَزِّقْ جَمْعَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ.اَللَّهُمَّ عَذِّبْهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا وَحَسِّبْهُمْ حِسَابًا ثَقِيْلاً.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 2/143, Muslim 7/120, Malik dalam al-Muwatha` 1733, at-Tirmidziy 2391, dan Ahmad 2/439 dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan selain naungan-Nya; imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam peribadatan kepada Rabbnya, laki-laki yang hatinya senantiasa berpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karenanya, laki-laki yang dirayu oleh wanita yang punya kedudukan dan cantik lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’, laki-laki yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu air matanya mengalir.”
[2] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/ 466 dan berkata, “Shahih sesuai dengan syarat Muslim, namun ia dan al-Bukhariy tidak meriwayatkannya.”
[3] Diriwayatkan oleh oleh Muslim 16/9, Ibnu Majah 1635 dari Anas bin Malik ra.