Artikel

Not Valentine’s Day, but Love Story from Palestine

Budi Eko Prasetiya, SS
Amir Majmuah Jember Jamaah Ansharu Syariah

Ada 2 kata kunci dalam pembahasan tulisan ini : Valentine’s Day dan Palestina. Sebuah Komparasi untuk membuka wawasan generasi muda tentang begitu fairnya sejarah merekam tentang bagaimana cinta itu dibangun dan dijaga.

Cinta seperti apa dibalik Valentine’s Day ?

Bulan Februari sering diidentikkan oleh kaum muda di berbagai negara sebagai bulan kasih sayang. Nampak dengan semarak aksesoris warna pink, bunga dan cokelat. yang menjadi ikon selebrasi hari kasih sayang (Valentine’s Day) setiap 14 Februari.

Sejarah Valentine’s Day ada beragam versi. Namun sejarah yang sesungguhnya ternyata jauh dari simbol cinta dan kasih sayang. Asal-usul festival yang ramai akan permen dan lambang “dewa asmara” ini sebenarnya berawal dari sebuah festival berdarah dan mengerikan bernama Lupercalia.
Valentine adalah cabang dari Lupercalia

Melansir History, lupercalia adalah festival Pagan kuno yang diadakan tiap tahunnya di Roma pada 15 Februari.
Lebih brutal lagi, perjodohan dalam festival itu digelar dalam bentuk lotre dengan para pemuda mengambil nama-nama wanita dari sebuah wadah. Pria dan wanita muda itu akan dipasangkan selama festival berlangsung dan bahkan bisa jadi berlangsung lebih lama.

Festival Lupercal dimulai dengan mengorbankan satu atau lebih kambing jantan, representasi seksualitas dan seekor anjing. Ritual pengorbanan itu dilakukan oleh Luperci yang telanjang, sekelompok pendeta Romawi. Setelah itu, kening dua Luperci diolesi dengan darah binatang menggunakan pisau korban yang berdarah. Para wanita diduga menyambut cambukan itu untuk menerima ritual kesuburan.

Cinta dibalik Kisah Palestina

Membahas tentang Palestine tidak akan lepas dari sosok Shalahuddin Ayyubi. Sang Pembebas Palestine dari cengkeraman Pasukan Salib. Sosok yang telah jauh-jauh hari telah dipersiapkan dengan penuh cinta oleh Ayah-Ibunya dan juga para guru. Ada figur orang tua terbaik, yakni Najmuddin Ayyubi dan Guru terbaik yakni Nuruddin Zanki yang berperan besar dalam kegemilangan Shalahuddin.

Sang Guru, Nuruddin Zanki adalah pemimpin yang selalu optimis. Mewariskan keteladanan bagi penerusnya serta kecintaan yang luar biasa kepada Allah dan Jihad fi sabilillah. Di era kepemimpinannya, Nuruddin mengerahkan kemampuan terbaiknya lahir dan batin dalam membebaskan Al-Quds dari cengkraman tentara Salib, menghindari konflik dengan sesama umat Islam, menyatukan wilayah-wilayah Islam di Syiria sehingga menarik simpati publik secara luas.

Berbagai pertempuran dahsyat antara umat Islam yang dipimpinnya dengan pasukan Salib kerap terjadi. Berbagai serangan yang dilakukannya berhasil melemahkan pasukan Salib hingga terpecah belah. Walhasil, sekitar 50 kota dan benteng yang sebelumnya dikuasai pasukan Salib berhasil direbut. Pada 570 H/1174 M, kekuatan Islam telah terbentang dari Iraq ke Syria, Mesir, hingga Yaman.

Saat yang dinanti-nanti untuk merebut Baitul Maqdis pun kian dekat. Namun takdir Allah berkata lain. Nuruddin meninggal akibat penyakit sebelum menuai benih-benih perjuangan yang tersemai. Perjuangannya kemudian dilanjutkan sang murid, Shalahuddin Ayyubi.

Ada peran terbaik sang Orang Tua

Kemuliaan ilmu dan kegemilangan hidup Shalahuddin Ayyubi ternyata sudah terukir semenjak dirinya belum dilahirkan. Bahkan sebelum orang tuanya saling bertemu.

Dikutip dari Kitab Shalah Ad-Din Al-Ayubbi ; Bathal Hiththin wa Muharrir Al-Quds Min Ash-Shalibiyyin (532-589 H)_ yang ditulis oleh Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan, menyebutkan bahwa Ayahnya, Najmuddin Ayyub masih melajang hingga di usia paruh baya-nya. Pamannya, Asaduddin turut risau terkait status keponakannya tersebut.

Asaduddin pun bertanya, “Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?” Najmuddin pun menjawab, “Aku belum menemukan yang cocok!”, jawabnya singkat.

Asaduddin pun mencoba membantu, “Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?” ujarnya. “Dia adalah Puteri Malik Syah, anak seorang Sultan Muhammad bin Malik Syah yang merupakan Raja Bani Saljuk, atau juga pada putri Nidzamul Malik, seorang menteri agung Abbasiyah” tekan Asaduddin meyakinkan saudaranya tersebut.

Najmuddin menjawab, “Mereka juga tidak cocok denganku”.

Asaduddin pun bertanya, “lantas siapa yang cocok bagimu?”, seketika Najmuddin pun menjawab dengan lantang. Ini jawabnya,
“Aku menginginkan istri yang shalihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria yang mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”

Jawaban itu cukup mengejutkan Asaduddin. “Dimana kau mau mendapatkan perempuan yang seperti itu?”. Najmuddin menjawab, “Barang siapa ikhlas niat karena Allah akan Allah karuniakan pertolongan.”

Selang beberapa hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di masjid Tikrit dan berbincang-bincang disana. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai dan Syaikh tersebut berbicara dengan si gadis itu.

Tanpa sengaja Najmuddin mendengar Syaikh berkata pada gadis itu, “Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?” Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.”

Syaikh itu pun bertanya, “Siapa yang kau inginkan?”, Perempuan tersebut dengan tegas mengungkapkan: “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin”

Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah dengan gadis ini, ini yang aku inginkan. istri shalihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.” Perempuan tersebut menyetujuinya dan Syaikh pun melanjutkan hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan.

Selang peristiwa tersebut, Shallahuddin Al Ayyubi pun dilahirkan dari dua insan sholeh-sholehah ini yang bercita-cita membangun kejayaan Islam. Keinginan mulia yang kelak diwujudkan anaknya 49 tahun kemudian. Hingga kemudian 52 kota dan istana di dalam dan sekitar Yerusalem jatuh ke tangan Shalahuddin atas kuasa Allah.

Penaklukkan besar hasil didikan orang tua yang membangun dan menjaga cinta tidak atas dasar nafsu dan kesenangan duniawi semata, namun cinta yang menempatkan Allah dan syariat Nya lebih dari segalanya, bahkan melebihi dari kecintaan kepada diri mereka sendiri.

Saatnya kita bandingkan

Bagaimana awal dan akhir kesudahan sejarah Valentine’s Day memberi gambaran jelas tentang cinta yang seperti apa yang diraih dan diimpikan. Kebahagiaan kah atau justru kekacauan.

Shalahuddin Ayyubi lahir atas kemuliaan cinta Ayah-Ibu dan Gurunya. Ada kisah Cinta yang indah dan nyata, yang tak pernah sepadan dengan kisah cinta romantis yang manipulatif dan fiktif. Kisah cinta yang melahirkan berlimpah kisah heroik yang akan berakhir dengan kembalinya Al Quds kepangkuan kaum Muslimim bahkan hingga berakhirnya kehidupan

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button