PERKATAAN YANG BAIK ADALAH SEDEKAH
Oleh: Ustadz Nofa Miftahudin, S.Th.I | Qoid Sariyah Dakwah Jamaah Ansharu Syariah Malang
Terkesan sedekah itu identik dengan harta. Di dalam ajaran islam selain dengan harta, sedekah itu bisa dilakukan dengan banyak cara. Di antaranya dengan cara berkata dengan perkataan yang baik.
Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam Bersabda :
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“… Perkataan yang baik adalah sedekah …” (HR. Bukhari )
Allah Ta’ala memberi kemudahan sedekah dengan berbagai cara, selain sedekah dengan harta maka Allah Ta’ala membuka amal shalih yang memiliki keutamaan atau nilai dengan sedekah, Amal shalih itu adalah dengan berkata dengan perkataan yang baik.
Cara indah Allah Ta’ala menyuruh hambanya supaya menggunakan perkataan baik berupa memberi apresiasi pahala yang bernilai sedekah. Padahal mudah bagi Allah Ta’ala bila menyuruh langsung kepada poinnya. Namun kali ini Allah Ta’ala menyuruh hambanya berkata dengan perkataan yang baik berupa nilai perkataan baik bernilai sedekah.
Masing-masing amal shalih memiliki fadhilah (keutamaan) meskipun Allah Ta’ala tidak selalu menyampaikan keutamaan disetiap amal shalih tersebut. Tujuan dinampakkan keutamaan adalah sebagai motivasi untuk beramal shalih. Adapun hikmah tidak disampaikan semua keutamaan setiap amal shalih adalah supaya menguji ketaatan hamba dan menjaga keikhlasan dalam beramal hanya karena Allah Ta’ala.
Hadits ini pula memberikan pesan kepada kita, bahwa siapapun dari kaum muslimin-muslimat tetap dapat sedekah meskipun belum punya harta. Sehingga tidak ada kata untuk tidak sedekah. Bahkan ketika di hadapan saudaranya dengan wajah berseri-seri itu juga sedekah. Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam bersabda :
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“ ( HR. At Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Dari hadits di atas memiliki maksud bahwa sedekah itu mudah dan murah. Maka beruntunglah orang yang dimudahkan sedekah oleh Allah Ta’ala baik berupa amal shalih yang bernilai sedekah dan bersedekah dengan hartanya, ilmunya, tenaganya, waktunya, ide dst.
Begitu pula bukan berarti memahami hadits tersebut dengan mengatakan, “Bila cukup senyum dan berkata baik adalah sudah termasuk sedekah. Maka harta yang ada ini tidak perlu disedekahkan”. Ini adalah pemahaman yang kurang tepat, justru harusnya memiliki pemahaman bahwa bila dengan tersenyum dan berkata baik saja adalah sedekah, bagaimana bila seseorang dapat melakukan semuanya, baik amalan yang bernilai sedekah maupun bersedekah dengan harta itu sendiri. Malah mendapat pahala yang berlipat.
Sedangkan sifat kikir adalah sifat tercela dan mendapatkan do’a yang buruk dari Malaikat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا.
“Tidak satu hari pun dimana seorang hamba berada padanya kecuali dua Malaikat turun kepadanya. Salah satu di antara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang kikir.’” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Kembali kepada pembahasan perkataan yang baik, Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam mengingatkan pula kepada kita supaya berkata baik atau diam, dan itu sebagai bukti wujud keimanan kita kepada Allah Ta’ala dan Hari Akhir.
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari).
Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”.
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing hati, lisan dan tingkah laku kita. Sehingga hati, lisan dan perilaku dalam naungan ridha Allah Ta’ala.
Di era digital ini kita juga dipermudahkan untuk menyampaikan kalimat berupa tulisan maupun video. Sehingga dengan mudah kita menyusun kalimat tersebut dan dengan mudah pula kita menyampaikan. Maka hendaknya kita memaksimalkan kemudahan ini untuk menyebarkan kebaikan, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sekaligus kita menjaga diri dari perkataan maupun yang tercela maupun yang sia-sia.
Dalah perkara yang sia-sia, maka Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam menasehati kepada kita semua, bahwa tanda kesempurnaan islam seseorang karena meninggalkan yang sia-sia.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kita memohon kepada Allah Ta’ala semoga kita sentiasa diberi kepekaan dalam mendeteksi kebaikan beserta diberi kekuatan untuk mengamalkannya. Dan diberikan kepekaan pula dalam mendeteksi kebatilan atau hal yang sia-sia dan memohon kepada Allah Ta’ala supaya diberi kekuatan untuk menjauhinya. Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Shallallahu Allaihi Wasallam :
،اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا، وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ. ،وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.
‘’Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya.’‘ (HR Imam Ahmad).