Refleksi Hari Santri : Rekonstruksi Heroisme dan Bakti Santri Bagi Negeri
Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Katib Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Banyuwangi
Hari Santri adalah hari yang secara sejarah penuh gairah, tercurahnya air mata, tertumpahnya darah dan terkurasnya harta demi kemuliaan perjuangan. Hari kemenangan bagi rakyat yang di setiap selnya mengalir darah merah-putih dan di setiap hentakan nafasnya terhembus kalimat Laa Ilaaha Illa Allahu Muhammadur Rasulullah.
Jika pada tahun 1453, kaum Muslimin merayakan kemenangan Sultan al-Fatih bersama para Jenissari-nya, dan pada tahun 1187, pada perang Hittin, Kaum Muslimin merayakan kemenangan Salahuddin al-Ayyubi Bersama para prajurit berzirahnya, maka pada tanggal 22 Oktober ini, Indonesia merayakan kemenangannya bersama para kaum bersarungnya.
Santri dan pesantren adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari dakwah Wali Songo dalam Islamisasi Nusantara, lalu dakwah para pahlawan layaknya Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro yang mengajak umat untuk berjihad melawan kezaliman serdadu penjajah asing, hingga akhirnya mereka dapat ditumpaskan dalam perang hingga titik darah penghabisan.
Melalui surat keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional untuk mengenang heroisme santri berperang mempertahankan negara melawan Inggris. Kedatangan Inggris ini ternyata diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang kembali ke Indonesia dengan alasan ingin melucuti senjata pasukan Jepang, namun ternyata hendak merebut kembali wilayah Indonesia.
Perlawanan ini berdampak signifikan terhadap semangat juang melawan penjajah, apalagi setelah direstui para Kiai se Jawa dan Madura untuk melakukan perang suci yang dikenal dengan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Dari Resolusi jihad inilah lahir peristiwa heroik 10 Nopember 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Relevansi dari Resolusi Jihad tertuang pada firman Allah surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَاِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu ke kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang zalim.”
Mungkinkah heroisme para santri jaman dahulu dapat lahir kembali di kondisi dan situasi negara saat ini?
Saat ini, kondisi Indonesia sudah berbeda dengan tahun 1945. Tidak ada penjajahan fisik seperti yang dilakukan tentara sekutu dan Belanda, namun bentuk penjajahan saat ini berupa perang pemikiran dan pendangkalan aqidah yang tersistem. Hal itu bukan sebuah alasan santri berdiam diri tanpa menyikapi gejolak yang ada, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Mari kita mengernyitkan dahi atas menurunnya integritas dan krisis keteladanan pejabat negara, meningkatnya kriminalitas pelajar, pelanggaran hukum yang justru melibatkan aparat penegak hukum, dan kasus penistaan agama yang tak kunjung tuntas dan semakin berkembang atas nama kebebasan berekspresi. Sederet masalah tersebut berpotensi mengancam kondusifitas dan stabilitas negeri, maka spirit resolusi jihad perlu dilahirkan kembali.
Negeri mayoritas muslim ini perlu menghadirkan kembali sosok santri yang kapasitasnya berkualitas dan totalitas dalam kapasitasnya, seperti sosok Bung Tomo dan Jenderal Santri Panglima Besar Jenderal Sudirman. Banyak pahlawan nasional yang lahir dari kalangan pesantren seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah, serta para ulama lainnya.
Dari para ulama inilah kita dapat belajar dan mewarisi dua hal penting, yakni konsistensi dakwah dan jihad sebagai wujud konsep rahmatan lil ‘alamin serta kecintaan yang besar terhadap tanah air. Resolusi Jihad saat ini perlu direorientasikan kepada cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur.
Selamat hari santri, andilmu menjaga negeri terpatri dalam bingkai suci. Jiwa ragamu menjadi saksi. Kalam Ilahi menjadi bakti yang kau junjung tinggi dengan pengabdian hidup dan mati.