ArtikelNews

Stigmatisasi Buruk Ajaran Jihad pada Kurikulum Madrasah

Oleh:
Ustadz Surip Hidayat, S.pd.I |Staf Sariyah Dakwah Markazy – Jama’ah Ansharusy Syari’ah

Rencana penghapusan konten jihad pada materi ujian di madrasah, jelas tidak sesuai dengan HAM, dan undang-undang yang menjamin kebebasan penduduk dalam meyakini dan menjalankan ajaran agamanya berdasarkan kepercayaan dan keyakinannya. Hal ini sangat melukai umat Islam, terasa tidak adil, dan tidak sesuai dengan ketuhanan yang Maha Esa.

Dilihat dari aspek historis,
fatwa tentang jihad pertama kali dikeluarkan oleh Syekh Abdul Samad Al Palembangi pada akhir abad ke 18. Beliau termasuk pengikut ajaran tasawuf Imam al Gazali, dan juga pendiri Tariqat Sammaniyah di Nusantara.


Berdasarkan fatwa dari beliau lah, Pangeran Diponegoro angkat senjata melawan Belanda, begitu pula para ulama Aceh pada akhir abad ke 19. Dan masih banyak lagi sejarah perjuangan umat Islam yang dipimpin para ulama untuk mewujudkan kemerdekaan bagi NKRI. Ini menandakan peran umat Islam sangat besar bagi kemerdekaan Indonesia, dengan semangat jihad mengorbankan harta dan nyawa mereka.


Indonesia tidak akan ada, tanpa perjuangan jihad umat Islam. Jadi, kenapa ajaran jihad justru akan ditarik, ditiadakan, dan dihapuskan dari kurikulum madrasah.

Memberlakukan aturan SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, Mts, dan MI untuk memberantas radikalisme, bukanlah cara yang tepat. Materi jihad tidaklah tepat untuk distigmatisasikan sebagai ajaran radikal, karena jihad menjadi sebab turunnya rahmat Allah yang berupa kemerdekaan Indonesia.

Islam adalah agama mayoritas, yang mengajak dan mendorong umatnya untuk menyebarkan perdamaian, karena ini adalah perintah Allah SWT, begitu pula jihad.

Banyak orang membicarakan jihad, tetapi sering kali tidak tepat dalam memahaminya. Mereka tidak mengetahui hakikat, dimensi, dan tujuan jihad. Akhirnya kebenaran syari’at menjadi hilang oleh pendapat-pendapat yang salah, sehingga banyak orang beranggapan buruk terhadap agama, umat, peradaban, tradisi klasik, dan warisan sejarah Islam.

Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan usaha, kemampuan dan tenaga. Jihad secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Namun kata jihad lebih banyak digunakan dalam arti peperangan untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Padahal, didalam Al-Quran dan Sunnah, jihad memiliki makna yang lebih luas dari sekedar peperangan. Jihad berbeda dengan perang.

Esensi dan aplikasi makna jihad bisa berbeda, seiring dengan tujuan, motif, akhlak, dan batasannya. Sedangkan perang, adalah makna yang berkaitan dengan dunia. Perang akan selalu ada sejak zaman jahiliyah, umat yang sekarang, dan sepanjang masa. Biasanya, tujuan perang adalah hegemoni, penindasan dan perampasan kekayaan. Sedangkan jihad, harus dimaksudkan untuk meninggikan kalimat Allah.

Kalimat Allah disini berarti kebenaran, keadilan, serta merealisasikan kemuliaan, keamanan, dan kebebasan manusia, sehingga seseorang tidak menjadi sesembahan bagi sesamanya. Saat peperangan disifati sebagai sebuah syari’at dalam Islam, ia akan bermakna jihad. Sedangkan peperangan adalah tahap terakhir dari jihad, yaitu berperang dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh.

Makna terakhir inilah, yang lebih banyak dipahami oleh mayoritas manusia. Peperangan tidak disebut sesuai dengan syariat, kecuali jika dilakukan di jalan Allah SWT. Peperangan ini adalah peperangan yang dilakukan oleh orang-orang beriman, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran, “Orang-orang yang beriman berperang dijalan Allah…..”. ( QS An-Nisa 4 : 76 ).

Syeikh Al-Syarbini berkata dalam bukunya Mughni Al-Muhtaj, “Bahwa kewajiban jihad adalah kewajiban cara, bukan tujuan. Dan yang dimaksud peperangan adalah hidayah. Adapun membunuh kafir bukanlah tujuan jihad. Bahkan jika hidayah bisa disampaikan dengan dalil tanpa adanya jihad, itu lebih baik”. Hukum atau ketetapan jihad tidak bisa diubah dan dihapuskan, tetapi langkah-langkah untuk merealisasikan jihad masih bisa dikompromikan. Dalam situasi damai, jihad dalam arti perang tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.

Jihad baru berlaku apabila umat Islam sudah diserang oleh musuh di negerinya sendiri. Islam tidak boleh mengawali perang sebelum musuh memulainya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam memperlakukan musuh-musuhnya. Jika orang mengamati sejarah Nabi, ia akan tahu bahwa beliau tidak pernah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Nabi Saw. hanya memerangi orang yang memerangi beliau. Nabi Saw. tidak pernah memerangi orang yang berdamai dan tidak memerangi beliau, selama ia berdamai dan tidak melanggar janji. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT. “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus terhadap mereka”. (QS Al-Taubah [9]: 7).

Syariat Islam tentang jihad, adalah syariat yang adil, penuh kasih sayang, dan nilai-nilai kebaikan. Peperangan didalam Islam dibingkai dengan prinsip-prinsip akhlak dalam setiap dimensi. Syariat islam tidak memerintahkan untuk membunuh kecuali kepada orang yang ikut berperang saja. Wanita, anak kecil, orangtua, pendeta didalam gereja, petani dan pedagang tidak boleh dibunuh. Islam tidak menghunuskan pedang kecuali kepada orang-orang yang menyatakan perang. Umat Islam selalu membuka tangan, bagi siapa saja yang ingin melakukan perdamaian, sekalipun setelah peperangan terjadi sebagaimana diterangkan dalam hukum-hukum perang didalam Islam.

Adalah kesalahpahaman dan kekeliruan besar, menganggap ajaran jihad dalam Islam akan menimbulkan paham radikal, intoleran, permusuhan, dan sebagainya. Jangan posisikan ajaran Islam sebagai ancaman, dan sesuatu yang digambarkan menakutkan. Mari pelajari dan pahami lebih mendalam bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Back to top button