Artikel

Ada Kemuliaan dibalik Beratnya Menjaga Ketaatan

Oleh : Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Katib Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Banyuwangi

Dzulqa’dah adalah termasuk Bulan Haram yang mengandung kemuliaan yang perlu kita gali hikmahnya. Diantara hikmah tersebut adalah adanya Perjanjian Hudaibiyah. Adapun hikmah dari kisah Perjanjian Hudaibiyah adalah sikap komitmen Rasulullah ﷺ. Padahal perjanjian itu secara sepintas merugikan kaum muslimin. Namun, Rasulullah ﷺ tetap melakukannya karena beliau ingin menunjukkan bahwa Islam dan pemeluknya adalah agama menjunjung komitmen.

Kisah ini dan kisah-kisah yang serupa perlu sering dibaca oleh kita yang hidup di zaman sekarang. Dibalik kemuliaan dalam ketaatan ada ujian yang Allah berikan agar kita punya kesungguhan dalam menjalankan pembuktiaan itu. Ketaatan kepada Rasulullah sebagai manusia pilihan Allah itu perlu pembuktian dan ada ujiannya.

Hudaibiyah adalah sebuah tempat yang sangat bersejarah, karena dari sanalah Fathu Makkah dimulai. Setelah sekian lama tidak bisa berkunjung ke Makkah, Nabi Muhammad dan para sahabat, merasakan kerinduan yang sangat mendalam untuk bisa kembali melihat Baitullah.

Pada tahun ke 6 setelah hijrah, tepat setahun setelah perang Ahzab, Rasulullah mengumumkan, bahwa beliau akan mengunjungi Makkah untuk melaksanakan umroh.

Pengumuman itu pun disambut dengan gegap gempita oleh para sahabat. tak kurang dari 1400 sahabat bersiap untuk mengambil bagian dalam rombongan tersebut.

Dengan bekal yang cukup dan membawa hewan-hewan Kurban, rombongan berangkat dari Madinah menuju Makkah. Tanpa perlengkapan senjata perang, karena tujuan ke Mekkah untuk berumroh, bukan untuk berperang.

Setibanya di Hudaibayah, Rasulullah beserta rombongan, dicegat oleh orang-orang Quraisy. Rombongan tidak diperbolehkan memasuki kota Makkah. Negosiasi dilakukan, agar mereka diperbolehkan memasuki Makkah.

Rasulullah pun mengutus beberapa delegasi untuk meyakinkan kaum Quraisy, bahwa kedatangan rombongan ke Mekkah, benar-benar untuk Umroh, sama sekali bukan untuk berperang. Salah satu delegasi yang di utus menemui orang-oang Quraisy adalah Sayyidina Utsman bin Affan.

Namun sayang, ditengah-tengah suasana yang memanas, justru beredar desas-desus ditangkap dan dibunuhnya Sayyidina Utsman oleh orang-orang Quraisy.

Umat Islam betul-betul tersulut emosinya oleh berita yang memang disebar agar terjadi peperangan antara kedua belah pihak.

Ketika suasana semakin memanas, Rasulullah mengumpulkan para sahabat, meminta mereka berbai’at dan berjanji untuk setia kepada Rasulullah. Di bawah sebuah pohon, para sahabat berkumpul, mengumpulkan tangannya bersama Baginda Nabi, mereka berbai’at dan bersumpah, bahwa mereka akan setia, siap jiwa raga, apapun yang terjadi bersama Rasulullah. Kemudian bai’at ini terkenal dengan sebutan Bai’atur Ridwan.

Di saat para sahabat melakukan Bai’at, tiba-tiba Sayyidina Utsman datang, mengabarkan bahwa akan datang delegasi dari kaum Quraisy, yang dipimpin oleh Suhail bin Amr untuk kembali melalukan negosiasi. Rupanya orang-orang Quraisy tetap tidak yakin akan maksud kedatangan Nabi Muhammad dan rombongan, karena melihat banyaknya jumlah sahabat yang ikut dalam rombongan tersebut.

Saat bernegosiasi, Rasulullah ditemani pembesar-pembesar sahabat, diantaranya Sayyidina Ali ibn Abi Thalib RA. Dalam negosiasi tersebut disepakati beberapa poin, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sulhu Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah).

Diantara poin yang disepakati diantaranya:

  1. Harus dilakukan genjatan senjata ( tidak boleh ada peperangan ) antara umat Islam dan orang Quraisy selama 10 tahun.
  2. Siapapun, baik individu atau suku, bebas melakukan hubungan atau melakukan persetujuan, baik dengan umat Islam ataupun dengan kaum Quraisy.
  3. Jika ada penduduk Makkah hijrah ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Madinah, sebaliknya apabila ada penduduk Madinah datang ke Makkah, maka tidak akan dikembalikan ke Madinah.
  4. Jika ada penduduk usia muda yang mengikuti Nabi Muhammad tanpa seizin ayah atau walinya, maka dia akan dikembalikan pada ayah atau walinya. Namun jika ada yang mengikuti Quraisy di Makkah maka dia tidak akan dikembalikan.
  5. Tahun ini (6 H), umat Islam harus kembali ke Madinah, tidak boleh meneruskan perjalanannya ke Makkah. Namun umat Islam boleh melakukan Umroh tahun depan.

Melihat poin-poin itu, para sahabat merasa sangat kecewa dan tak pantas diperlakukan seperti itu. Mereka tidak takut untuk berperang. Mereka sangat kecewa ketika baginda Nabi dengan suka rela menyepakati poin-poin tersebut.

Apalagi ketika lafadz Bismillahirrahmanirrahim dan Muhammad Rusulullah dipaksa untuk dihapus dari pembukaan dan penutupan naskah perjanjian Hudaibiyah, lalu diganti denga kata Bismika Allahumma dan Muhammad Ibn Abdillah.

Kejadian itu membuat para sahabat sangat marah. Ketika Baginda Nabi memerintahkan agar kedua lafad tersebu dihapus, tak ada satupun sahabat yang mau menghapusnya karena itu dianggap sebagai pelecehan terhadap aqidah yang mereka yakini. Akhirnya baginda Nabi sendirilah yang menghapus dan mengganti kedua lafadz tersebut, sesuai dengan pemintaan delegasi dari kaum Quraisy tersebut.

Namun di masa-masa tenang saat berlakunya perjanjian Hudaibiyah, justru berbondong-bondong manusia masuk Islam. Akhirnya, turunlah ayat “Inna fatahnaa laka fathan mubiina” (Sesungguhnya Kami telah memberikanmu kemenangan yang nyata) pada surat al Fath.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

نَزَلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ الْكَرِيمَةُ لَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقِعْدَةِ مِنْ سَنَةِ سِتٍّ مِنَ الْهِجْرَةِ، حِينَ صَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لِيَقْضِيَ عُمْرَتَهُ فِيهِ، وَحَالُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَالُوا إِلَى الْمُصَالَحَةِ وَالْمُهَادَنَةِ، وَأَنْ يَرْجِعَ عَامَهُ هَذَا ثُمَّ يَأْتِيَ مِنْ قَابِلٍ، فَأَجَابَهُمْ إِلَى ذَلِكَ عَلَى تَكَرُّهٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، مِنْهُمْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ….

Turunnya ayat ini, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali dari Hudaibiyah, Dzulqa’dah, 6 H. Saat itu kaum musyrikin menghalangi untuk masuk ke masjid al haram dalam rangka Umrah, mereka berunding, lalu mereka mengambil maslahat dan berdamai, tahun itu juga mereka pulang dan akan datang lagi tahun depan, sebagian sahabat nabi ada yang meresponnya dengan tidak suka, di antaranya Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu ….” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/325)

Perjuangan memang tidak selalu dengan konfrontasi senjata, ada kalanya dengan kecerdasan strategi dan berdiplomasi. Allah Ta’ala selalu punya cara untuk memenangkan pertarungan hidup hamba-hambaNya, maka yakinilah!

Tanpa disadari oleh pihak Kafir Quraisy, Perjanjian Hudaibiyah itu secara langsung menjadi pengakuan atas keberadaan pemerintahan Islam di Madinah. Sebab, Perjanjian terjadi antara dua negara yang sederajat dan berimbang. Mengakui adanya perjanjian berarti mengakui keberadaannya.

Usia perjanjian Hudaibiyah ternyata hanya 2 tahun dari yang seharusnya 10 tahun. Hal itu karena pihak Kafir Mekkah melanggar perjanjian, yang mengakibatkan masa damai usai dan berganti dengan perang lagi.

Waktu 2 tahun ini dimanfaatkan baik oleh pihak muslimin untuk menumbuhkan jumlah prajurit dan kemampuan kekuasan militer. Secara matematis, umat Islam punya kekuatan 10.000 pasukan, ditambah dengan banyaknya jagoan perang Mekah yang sudah masuk Islam. Puncaknya Khalid bin Walid sebagai panglima tertinggi pasukan Mekkah yang masuk Islam lalu jadi panglima tertinggi pasukan muslimin.

Otomatis, pihak kafir Mekkah sudah kalah di atas kertas. Keliru besar ketika mereka telah melanggar perjanjian. Sebab keadaan sudah terbalik. Mekkah sudah tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuatan muslimin. Maka peristiwa penaklukan kota Mekkah nyaris tanpa syarat dan tanpa perlawanan yang berarti. Bahkan pimpinan tertingginya, Abu Sufyan bin Harb, di malam sebelum peritiwa sudah menyerah kalah dan masuk Islam.

Disinilah parameter kesuksesan dakwah Nabi dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah di tahun ke-enam hijriyah ini. Sebuah perjanjian yang awalnya kurang ikhlas diterima para sahabat. Yang kesannya kalah, mengalah dan tak berdaya. Padahal di balik semua fenomena itu, Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam sudah punya rencana besar dan dahsyat, yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh para sahabat.

Dan akhirnya, Dari Perjanjian Hudaibiyah kita belajar berbaik sangka pada Allah dan Rasul-Nya dalam menjalani hidup, yang awalnya terlihat merugikan umat Muslim saat itu, malah menjadi bumerang bagi kaum kafir Quraisy di kemudian hari, hingga akhir cerita Penaklukan Kota Mekkah tanpa pertumpahan darah. Wallahu a’lam bish shawwab.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button