Tidak Silau dengan Kekuasaan

Oleh: Ustadz Budi Eko Prasetiya, SS
Katib Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Tapal Kuda
Para tokoh muslim yang kita bahas dalam tulisan ini adalah sosok berkualitas dengan totalitas prinsip keislaman yang pantas diteladani oleh generasi muda muslim dan setiap kaum muslimin. Ada sosok pemimpin zuhud seperti Khulafa ar Rasyidin ke 5, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu anhu. Bahkan, ada dari kalangan Ulama Nusantara yang lahir dari rahim 2 Ormas Islam besar, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang kiprah mereka tertulis indah dalam sejarah negeri ini.
Malik bin Dinar pernah berkata, “Ketika orang-orang mengaku, ‘saya zuhud,’ maka tidak akan ada yang lebih zuhud kecuali Umar bin Abdul Aziz.”
Ibnu Abdul Hakam pernah berkata, “Begitu Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia menjadi sosok yang sangat zuhud, meninggalkan kemewahan dunia, makan pun hanya dengan lauk seadanya.”
Saat hendak istirahat datang seorang utusan bernama Abdullah ke rumah Umar bin Abdul Aziz. Umar kemudian menyalakan lilin untuk menerangi seisi ruangan, dan bertanya kepada Abdullah tentang kondisi terkini rakyatnya.
Abdullah menjawab semua pertanyaan Umar. Sampai ketika pertanyaan habis, Abdullah menanyakan perihal kabar keluarga Sang Khalifah. “Wahai Amirul Mu’minin, bagaimana kondisi kesehatanmu dan keluargamu sendiri?” Seketika Umar meniup lilin yang sedari tadi menerangi ruangan, kemudian menggantinya dengan lilin kecil yang redup dan hanya mampu menerangi wajahnya.
Selesai Umar menjawab semua pertanyaan, Abdullah bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, aku belum mengerti mengapa saat membahas urusan rakyat kau menyalakan lilin yang terang, tapi begitu membahas urusan personal kau ganti dengan lilin kecil yang redup?”
“Wahai Abdullah, lilin yang terang tadi adalah harta Allah dan umat Muslim. Lilin ini hanya layak dinyalakan untuk kepentingan umum, bukan pribadi. Sebab itu, aku matikan lilin tadi dan diganti dengan lilin milik pribadi,” terang Umar. (Qashashul ‘Arab Mausu’atu Qashasi wa Nawadiril ‘Arab, [2013], juz II, halaman 205).
Dari ulama Nusantara pun kita punya kisah teladan yang terjadi sebelum dan setelah kemerdekaan. Sejak kedatangan tahun 1942, penjajah Nippon (Jepang) langsung mengarahkan perhatiannya kepada umat Islam. Mereka tahu bahwa kekuatan umat Islam digerakkan melalui pondok pesantren oleh para Kiai merupakan ancaman bagi mereka.
Untuk menekan pergerakan kiai-kiai pesantren terhadap penjajah, Jepang yang mengaku sebagai “Saudara Tua bangsa Indonesia” tidak mau langsung represif. Mereka melakukan pendekatan melalui program “Latihan Ulama” di Jakarta pada Juli 1943.
Melalui Program “Latihan ulama” ini ditanamkan doktrin Ksatria Muda Jepang yang membawa kejayaan dalam perang Asia Timur Raya. Sebagai bentuk kompensasinya, para ulama diberikan fasilitas melebihi para pejabat Jepang. Dinaikkan kereta api ekspres kelas satu, menginap di Hotel kelas 1 di Jakarta, diantar-jemput dengan kendaraan perwira tinggi Nippon dan beragam fasilitas istimewa lainnya.
Para ulama faham bahwa “ada udang dibalik batu” dibalik program ini. Hal ini tidak menjadikan mereka manja dan lupa terhadap niat perjuangan untuk Islam dan rakyat Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah.
KH Wahid Hasyim yang merupakan putra pendiri Nahdlatul Ulama pernah mengatakan kepada KH Saifuddin Zuhri, “Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam pernah mengatakan, ‘Al-Harbu Khid’ah,’ bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat.” (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)
Pernyataan tersebut disampaikan ketika mendiskusikan strategi perjuangan menghadapi penjajah Jepang dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah Kedu, KH Saifuddin Zuhri.
‘Al-Harbu Khid’ah’ diungkapkan oleh Kiai Wahid karena bangsa Indonesia saat itu dalam kondisi perjuangan melawan penjajah. Kondisi ini diperhatikan betul oleh para kiai pesantren untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kolonialisme, termasuk tipu muslihat Jepang melalui program “Latihan Ulama“.
Teladan berikutnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih masyhur dikenal dengan Buya Hamka adalah Ulama yang memiliki intelektualitas dan produktifitas dalam karya sastra. Beliau juga dikenal dengan kepribadiannya yang tegas tanpa kompromi bila itu berkaitan dengan prinsip-prinsip pokok dalam agama.
Hal ini terlihat ketika beliau menolak tegas konsep Nasakom yang diusung oleh Presiden RI pertama yang merupakan teman karibnya, Ir Soekarno. Konsekuensi ketegasan prinsipnya ini berbuah hukuman penjara dan retaknya persahabatan di antara mereka. Meski berkonflik panjang, Namun jelang wafatnya Ir Soekarno menyampaikan pesan khusus agar Buya Hamka bersedia mennyolatkan jenazahnya ketika meninggal.
Pada era Presiden Soeharto, Buya Hamka pernah menerima permintaan untuk menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat di tahun 1975. Beliau memandang, MUI merupakan media perjuangan untuk memperjuangkan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Di sini terlihat kembali ‘realisme’ politik Buya Hamka di tengah kekuasaan Presiden Soeharto yang tengah menanjak dan tidak jarang dianggap merugikan Islam dan kaum Muslimin Indonesia.
Sebagai ulama yang berintegritas, Buya Hamka menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya sebagai Ketua MUI Pusat. Buya Hamka memandang posisi itu sebagai ‘bika yang terbakar dari atas dan dari bawah’, Beliau memilih untuk menjadi ‘bika’ daripada menjadi ulama yang telah ‘dibeli’ kekuasaan.
Dalam suasana dilematis, Buya Hamka tidak bisa bertahan lama sebagai Ketua Umum MUI. ‘Fatwa Natal’ yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam ‘Natal bersama’ tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antar-umat beragama.
Buya Hamka menolak dengan tegas intervensi pemerintah Orde Baru yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara untuk mencabut fatwa tersebut.
Menyikapi intervensi itu, Buya Hamka memilih mundur dari MUI Pusat daripada mengorbankan prinsipnya. Selanjutnya Hamka berkonsentrasi penuh dalam bidang dakwah dan pendidikan sampai wafat pada 24 Juli, 1981.
Demikianlah beberapa kisah yang bisa menjadi panduan kepada kita menyikapi ketika fasilitas itu hadir dengan begitu mudah di depan mata. Dari mereka kita bisa belajar bagaimana bersikap dan tidak aji mumpung dengan fasilitas.
Hidup enak bisa jadi impian bagi setiap orang apalagi setelah lama mengalami masa sempit akibat konsekuensi perjuangan. Namun mereka memilih tetap memilih kehati-hatian dan kesederhanaan. Keputusan mulia yang akan dijadikan teladan para generasi sepanjang zaman.