Artikel

Sowan ke Guru

Oleh: Ustadz Nofa Miftahudin, S.Th.I
Qismu Dakwah Jamaah Ansharu Syariah Mudiriyah Malang

Nuansa ‘Idul Fitri adalah simbul kemenangan kaum Muslimin. Menang dari menundukkan hawa nafsu untuk menuju kepada ketaatan kepada Allaah Ta’ala. Dimana sebulan penuh menahan makan, minum, berhubungan suami-istri dan meninggalkan hal-hal yang mengakibatkan batalnya puasa maupun pahala puasa itu sendiri mulai subuh sampai maghrib.

Selain itu juga di Indonesia ‘Idul Fitri sebagai ajang silaturahim. Silaturahim anak ke orang tua, menantu ke mertua, karyawan ke majikan, silaturahim ke sesama teman, bawahan ke atasan dst.

Tidak diragukan lagi keutamaan silaturahim yang sudah kita ketahui bersama dan bahkan sudah kita rasakan bersama. Di antaranya adalah dilapangkan rizki dan dipanjangkan usianya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam :

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571)

Masing-masing daerah memiliki budaya silaturahim yang berbeda-beda. Ada yang semarak silaturahim pada hari ‘Idul Fitri saja bahkan ada yang semarak lebih dari satu pekan.

Barangkali ada momentum yang sebagian dari kita terlewatkan. Yaitu Sowan Ke Guru. Kata sowan bila dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sowan berarti menghadap (kepada orang yang dianggap harus dihormati, seperti raja, guru, atasan, orang tua); berkunjung. Bisa dikatakan sowan adalah silaturahim.

Sowan Ke Guru memang tidak harus menunggu pada ‘Idul Fitri. Tidak pula harus menunggu ketika ada masalah. Tetapi bisa sewaktu-waktu. Budaya Sowan Ke Guru, Ustadz, Kyai harus dilatih dan dibiasakan masing-masing kita.

Karena Guru adalah yang sangat berjasa pada kehidupan kita. Masing-masing dari tentu memiliki guru. Baik guru TPQ, TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Dengan Sowan Ke Guru ini merupakan salah satu bagian untuk menggapai keberkahan ilmu. Dengan sowan ke Guru, kita mendapatkan keberkahan silaturahim, kita mendapatkan doa dari Beliau, mendapatkan nasehat, motivasi yang mana semua itu tidak kita dapatkan kecuali dengan sowan.

Maka tidak berlaku bagi kalimat “Bekas” disandingkan dengan Guru, Ustadz, Kyai dll. Karena tidak layak bila kita mengatakan ke Guru, Ustadz, Kyai kita dengan menyandingkan kalimat Bekas. Misal Beliau itu Bekas Ustadz saya di Pondok dll.

Di zaman serba teknologi ini nampaknya budaya sowan mulai terkikis. Kadang ada sebagian menganggap bahwa silaturahim hanya diwakili dengan sapaan untaian kata-kata yang dramatis, puitis dan romantis.

Padahal seharusnya dengan teknologi ini memudahkan kita untuk bisa silaturahim via offline bukan sekedar online. Karena sowan online tidak bisa menandingi sowan offline. Dapat dilihat dari nilai pengorbanan, perjuangan dll tentu lebih besar keberkahannya sowan secara offline.

Barangkali ada juga keengganan kita untuk sowan ke Guru karena merasa masa lalu banyak salah kepada Guru sehingga malu sowan, merasa ekonomi masih belum mapan sehingga malu sowan, malu sowan karena tidak bawa apa-apa, gengsi sowan karena merasa pernah tersakiti oleh Guru tersebut, malu sowan karena tidak tau mau ngomong apa dan masih banyak alasan untuk enggan sowan ke Guru. Untuk menjawab berbagai alasan semua ini sebenarnya perkara yang mudah. Penulis kiranya tidak perlu memberi jawaban atas berbagai alasan yang disampaikan.

Yang terpenting paksalah untuk sowan ke Guru. Karena dengan sowan ke Guru in shaa Allaah menjadikan Guru kita bahagia, menjadikan Guru kita ridha. Maka ketika Guru ridha dengan kita disertai dengan doa yang tulus. Boleh jadi itu adalah sebab dimudahkan berbagai urusan kita.

Kita tentunya menyaksikan dan mendengarkan kisah nyata seorang murid yang rajin sowan Guru. Dari beraneka ragam permasalahan yang dimiliki Alhamdulillah atas izin Allaah terselesaikan ketika di antaranya menjaga komunikasi baik dengan Guru.

Semoga kita tidak seperti kacang yang lupa dengan kulit, tidak pula seperti peribahasa habis manis Sepah dibuang. Melupakan jasa Guru yang mendidik kita semua. Na’uudzubillaah min dzaalik.

Namun sebaliknya semoga kita menjadi sosok murid yang berusaha membalas jasa Guru dengan Sowan dan doa ketika masih hidup maupun telah tiada.

Lihat lebih banyak

Artikel terkait

Check Also
Close
Back to top button